Darurat Sampah Tangsel: Gagal Kelola, Runtuhnya Layanan Dasar

kumparan.com
2 jam lalu
Cover Berita

Kota Tangerang Selatan—yang selama ini dibanggakan sebagai salah satu pusat pertumbuhan urban di Banten—kini berada dalam satu realitas yang memalukan, yaitu darurat sampah. Di bawah flyover Ciputat, di sepanjang jalan menuju Serpong, hingga sekitar fasilitas kesehatan dan permukiman padat, gunungan sampah tak terangkut telah mengganggu kenyamanan dan kesehatan warga.

Penyebabnya jelas: Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang tengah ditutup sementara untuk penataan dan perbaikan, sehingga distribusi pengangkutan sampah terganggu. Namun, dampaknya jauh lebih luas yaitu pada layanan dasar rusak, kepercayaan publik tergerus, dan tata kelola lingkungan kota dipertanyakan.

Permasalahan ini bukan sekadar estetika kota. Tangerang Selatan menghasilkan antara 900-1.000 ton sampah per hari, tergantung musim dan mobilitas masyarakat; sebuah angka yang menjadi tantangan berat bagi sistem pengelolaan yang sudah ketat tekanannya, bahkan sebelum krisis ini.

Ketika satu simpul penting seperti TPA Cipeucang tulang punggung pengelolaan sampah kota tidak beroperasi normal, efeknya segera tampak: tumpukan sampah menjalar ke ruang publik dan pelayanan dasar runtuh.

Warga melaporkan bau menyengat di malam hari dan sepanjang jalur transportasi utama, meski pemkot menutup tumpukan dengan terpal serta melakukan penyemprotan cairan pengurang bau yang ramah lingkungan sebagai langkah sementara.

Kegagalan Tata Kelola dan Solusi Sementara yang Tak Memadai

Penanganan darurat yang dilakukan pemerintah kota menutup sampah dengan terpal dan menyemprot antibau menunjukkan respons cepat terhadap gejolak publik, sekaligus menyiapkan keterbatasan solusi.

Penutupan terpal dan penyemprotan bertujuan mereduksi bau dan menjaga kenyamanan warga di sekitar lokasi, tetapi banyak warga tetap mengeluhkan aroma tidak sedap yang kembali muncul, terutama saat angin kencang atau pada malam hari.

Langkah teknis semacam ini adalah pernapasan jangka pendek, bukan pengobatan akar masalah. Ketergantungan pada satu titik akhir (single point of failure)—seperti TPA Cipeucang—membuat sistem rentan terhadap guncangan. Ketika simpul itu terganggu, seluruh jaringan pengelolaan limbah kota ikut runtuh.

Ini memperlihatkan kurangnya redundansi infrastruktur dan kelemahan dalam perencanaan kontingensi. Penyemprotan ramah lingkungan dan penutupan dengan terpal harus dipandang sebagai damage control, bukan end game atas persoalan serius yang menuntut intervensi struktural.

Kekecewaan warga tidak berhenti pada bau atau sampah di trotoar. Bahkan, Ketua DPRD Tangerang Selatan meminta maaf secara publik atas ketidaknyamanan yang dialami warga dan mendorong pemerintah kota untuk segera mengambil langkah konkret karena masalah ini sudah mengganggu kenyamanan publik secara luas.

DPRD juga mencatat bahwa kapasitas TPA Cipeucang tidak lagi memadai untuk volume sampah harian yang dihasilkan Kota Tangsel. Kritik ini memaksa kita melihat persoalan sampah bukan sebagai gangguan musiman, melainkan sebagai kegagalan tata kelola yang sistemik.

Fundamental persoalan ini bukan hanya teknis; ia adalah soal relasi antara sistem pemerintahan kota dengan publiknya, antara perencanaan jangka panjang dan reaksi darurat. Ketika satu simpul sistem runtuh—baik karena kebutuhan penataan maupun karena kendala kapasitas—seharusnya ada jaringan sistem yang lebih resilien yang langsung bisa diaktifkan.

Tidak adanya rencana cadangan yang siap pakai menunjukkan bahwa strategi pengelolaan limbah selama ini bersifat reaktif, bukannya preventif dan adaptif.

Antara Kinerja Publik dan Kepercayaan Warga

Kejengkelan publik yang tersebar luas mencerminkan lebih dari sekadar bau atau pemandangan tak sedap. Ini adalah ungkapan kekecewaan terhadap tidak hadirnya layanan dasar yang efektif.

Ketika setiap pagi warga melihat tumpukan sampah di sepanjang jalan utama dan di depan fasilitas pelayanan publik, mereka merasa negara kecil yang seharusnya hadir justru tidak menunjukkan wajahnya. Ketidakhadiran ini berpotensi menumbuhkan narasi bahwa pelayanan publik bersifat eksklusif bagi citra kota atau kawasan tertentu, bukan sebagai fungsi universal bagi warga yang membayar pajak.

Menganggap darurat sampah sebagai masalah teknis semata adalah kekeliruan fatal. Ini adalah soal politik tata kota, akuntabilitas fiskal, dan keadilan lingkungan. Pemerintah Tangsel tidak boleh kembali kepada rutinitas janji proyek ambisius yang molor atau solusi sementara yang hanya cocok untuk headline media sosial.

Keputusan-keputusan investasi besar harus ditempatkan pada perencanaan berbasis risiko dan konsultasi publik yang bermakna, bukan sekadar seremoni peluncuran anggaran atau pengerjaan proyek, tanpa transparansi timeline yang dapat dipertanggungjawabkan.

Rekomendasi Kebijakan untuk Keluar dari Siklus Darurat

Darurat sampah Tangsel harus menjadi momentum reformasi struktural dalam pengelolaan limbah kota. Beberapa kebijakan yang perlu segera dijalankan.

Pertama, pembentukan sistem redundan dan diversifikasi fasilitas pengelolaan. Operasionalkan fasilitas pengolahan alternatif selain TPA utama. Pembukaan dan pemanfaatan lahan untuk Material Recovery Facility (MRF). Pengembangan sanitary landfill sekunder harus dipercepat agar tidak bergantung pada satu titik akhir saja.

Kedua, audit dan transparansi proyek pengelolaan sampah. Semua kontrak, tahapan pembangunan MRF dan fasilitas pengolahan lainnya—termasuk proses pengolahan sampah menjadi energi listrik (waste-to-energy)—harus dipublikasikan dan diaudit oleh pihak independen dengan kriteria kinerja yang jelas.

Ketiga, pengurangan sampah di hulu konkret. Terapkan kewajiban pemilahan sampah di rumah tangga, didukung dengan insentif fiskal bagi komunitas atau kelurahan yang mampu menurunkan timbulan sampah. Dorong perkembangan bank sampah dan TPS3R sebagai unit dasar pengolahan.

Kemudian, Extended Producer Responsibility (EPR). Implementasikan regulasi yang mewajibkan produsen bertanggung jawab atas pengelolaan limbah pascakonsumsi, khususnya produk plastik dan kemasan mengurangi beban sistem kota terhadap sampah yang sukar diolah.

Terakhir, skema pembayaran layanan berdasarkan kinerja. Alihkan sistem pembayaran layanan pengangkutan dari tarif tetap ke mekanisme berbasis output (performance-based payment), yang menghitung efektivitas pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan.

Tangsel punya kapasitas sumber daya dan keuangan untuk melakukan transformasi ini, tetapi yang kurang adalah keberanian politik untuk memutus rantai solusi instan dan memilih rute reformasi struktural. Darurat sampah harus menjadi titik balik bagi Tangerang Selatan; tidak hanya untuk menutup lubang di flyover dan trotoar dengan terpal, tetapi juga untuk membangun sistem pengelolaan sampah kota yang tangguh, adil, dan berkelanjutan.

Jika tidak, kota-kota satelit seperti Tangsel akan terus mengulangi siklus darurat yang sama dan publik tidak lagi mudah menerima narasi setengah hati sebagai jawaban yang memadai.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
SEA Games 2025: Indonesia Tembus Target 80 Emas dari Kemenpora
• 22 jam lalutvrinews.com
thumb
Wamentrans Serukan Transmigrasi Berbasis Budaya dan Keadilan Sosial
• 9 jam laluliputan6.com
thumb
BWF World Tour Finals: Jonatan Christie Ditekuk Anders Antonsen 2 Gim Langsung
• 20 jam lalukumparan.com
thumb
Meski Kecewa dengan Pernyataan Saksi, Aditya Zoni Yakin Ada Titik Terang untuk Ammar Zoni
• 2 jam lalucumicumi.com
thumb
3 OTT KPK Dalam Sehari: Banten, Bekasi dan Hulu Sungai Utara
• 19 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.