FAJAR, MAKASSAR — Sebanyak 400 desa di Sulawesi Selatan terancam tidak dapat mencairkan dana desa (DD) tahap II. Program pemerintah desa terancam gagal bayar.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Sulawesi Selatan (Sulsel) Muh Saleh membeberkan sebanyak 400 dari 2.266 desa di Sulsel terancam tidak cair dana desa tahap keduanya. Hal tersebut akibat munculnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 tentang Perubahan atas PMK Nomor 108 Tahun 2024 tentang Pengalokasian Dana Desa Setiap Desa, Penggunaan, dan Penyaluran Dana Desa Tahun Anggaran 2025.
DIketahui, dana desa Sulsel berada di angka RP2,02 triliun. Nominal dana desa di setiap daerah berbeda-beda, dengan kisaran sekitar Rp1 miliar per desa. Tertawannya dana desa untuk 400 desa berpotensi menyebabkan sekitar Rp400 miliar uang tidak tersalurkan ke Sulsel.
“Kalau laporan ke kami itu ada sekitar 400 desa yang tidak cair DD tahap dua. Saya tidak tahu angkanya, karena bervariasi setiap desa,” ujar Saleh saat diwawancarai pada Rabu, 17 Desember.
Pada 8 Desember lalu, para kepala desa melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Kementerian Keuangan menuntut pencabutan PMK 81 tahun 2025. Keputusan tersebut menurut para kepala desa sangat mendadak. Pengetatan pencairan danda desa yang memblokir DD non-earmark berpotensi menyebabkan gagal bayar program desa yang sudah berjalan. Termasuk juga honor/insentif bagi pekerja, guru, kader Posyandu, dan operasional Kantor Desa.
Dalam PMK tersebut, poin utama yang memicu protes kades antara lain pembekuan Dana Desa Non-Earmark Tahap II. Dana dianggap hangus jika persyaratan tidak lengkap sampai batas waktu tertentu (disebutkan 17 September 2025 dalam pasal 29B) yang dianggap sangat terlambat dan tiba-tiba. Bagi kepala desa, ini dianggap beban tambahan administratif, kelembagaan, dan di saat-saat krusial akhir tahun.
Sejatinya, kehadiran PMK ini untuk menghindarkan felksibilitas pencairan dana lembaga yang selama ini tidak disertai dengan akuntabilitas sehingga menjadi corong penyalahgunaan dana desa. Pemerintah menilai ada ketidaksesuaian antara alokasi dan penyaluran danda desa pada tahap pertama. Dana cair lebih cepat, tetapi penggunaannya tidak sesuai dengan tujuan awal.
Dalam praktiknya, yang menjadi probelmatik pada peristiwa tuntutan dana desa adalah bahwa kepala desa menekankan hak untuk mengakses dana dengan cepat, tetapi justru tidak siap menghadapi tuntutan administrasi baru yang lebih transparan dalam PMK.
PMK 81/2025 memangkas penyaluran dana desa bagi pemerintah desa yang tidak mampu memenuhi akuntabilitas penggunaannya. Selain ancaman tertahannya Dana Desa, pencairan diwajibkan menyertakan syarat pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih ke dalam APBDes. Sejumlah desa dianggap belum membentuk kelembagaan yang mendukung pemberdayaan ekonomi lokal dan percepatan prioritas nasional.
Semula syarat pencairan dana desa hanya meliputi laporan realisasi penyerapan, capaian keluaran Dana Desa tahun anggaran sebelumnya, serta laporan realisasi penyerapan dan capaian keluaran DD tahap I dengan realisasi penyerapan minimal 60 persen dan rata-rata capaian keluaran minimal 40 persen.
Namun, PMK No 81/2025 menanbah persyaratan dengan kewajiban melampirkan akta pendirian badan hukum koperasi desa/kelurahan Merah Putih atau bukti penyampaian dokumen pembentukan koperasi ke notaris, lalu surat pernyataan komitmen dukungan APBDes untuk pembentukan koperasi desa/kelurahan Merah Putih.
“Kalau dengan berdasar ke PMK kemarin itu memang desa pasti akan tidak bisa lagi mencairkan alokasi anggarannya karena di PMK itu sudah jelas bahwa harus mencairkan sebelum 17 September. Nah inilah yang menjadi tuntutan kepala desa semua, melalui asosiasinya, elemen, melakukan tuntutan, salah satu tuntutan kemarin mendatangi istana,” tukas Saleh.
Pemerintah kemudian menerbitkan Surat Edaran Bersama (SEB) yang ditandatangani tiga menteri, yakni Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Menteri Keuangan, dan Menteri Dalam Negeri terkait penyaluran dana desa.
“Surat edaran bersama ini sudah memberi ruang kepada pemerintah desa untuk kalau bisa melengkapi persaratann yang dibutuhkan, bisa dicairkan di tanggal 19 Desember,” kata Saleh.
Jika pemerintah desa tidak bisa menyelesaikan syarat pencairan dana desa hingga tanggal 19 Desember, maka dana itu akan menjadi Silpa pada APBD tahun 2025 dan akan bergeser ke APBD 2026. Sehingga menurut Saleh, semua program desa yang terancam gagal bayar akan tetap terakomodasi.
“Kepala Desa ya sudah mengetahui semua dan berupaya agar bisa cair 19 Desember. Tapi kan sudah bilang kemarin, ini kan tidak menutup kalau memang tidak bisa mencairkan 19 Desember ini, masih ada ruang terbuka untuk tanggal selanjutnya dijadikan Silpa,” beber Saleh.
Selain melakukan pengetatan pencairan dana desa, pemerintah juga akan melakukan audit menyeluruh terhadap pemerintah desa. Presiden Prabowo Subianto memerintahkan audit penyelenggaraan dana desa.
“Tim Auditor kan bisa saja, ini kan hampir setiap tahun kan tim audit, APIP dengan BPK sudah bekerja, ini menjadi rutinitas memang untuk APIP. Tetapi kalau misalnya ada kebijakan untuk melakukan audit secara keseluruhan, itu kan saya kira sudah cukup bagus. Itu transparansi pengelolaan desa,” tandas Saleh.
Sebelumnya Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT), Yandri Susanto, mengeluarkan Surat Edaran Bersama (SEB) yang ditandatangani tiga Menteri (Menkeu, Mendes PDT, dan Mendagri) terkait PMK 81 tahun 2025 terkait Dana Desa (DD).
“Sebenarnya PMK tersebut tidak perlu ditolak, karena semenjak PMK 81 itu keluar sudah banyak aspirasi yang kita terima melalui asosiasi. Kami juga merespon itu dengan melahirkan SEB dan tidak ada desa yang dirugikan,” kata Mendes PDT Yandri Susanto, Sabtu, 13 Desember.
Ia melanjutkan, di SEB tersebut apa yang menjadi kekhawatiran para kades sudah ada jalan keluar terbaik. Seperti jika ada ada hal-hal yang masih terhutang di desa, maka masih bisa dibayar di tahun 2026 tanpa menganggu dana desa yang diberikan ke ke masing-masing desa.
“Jadi, sebenarnya tidak perlu demo. Saya juga kasihan dengan demo kemarin, sebab di media sosial justru menyerang desa dan rata-rata warganet meminta DD dihapus,” ujarnya.
Ia meyakinkan, terkait masalah gaji guru ngaji, PAUD, dan PKK masih ada tunggakan setelah disisir untuk koperasi merah putih 20 persen itu bisa langsung digunakan tanpa ada temuan. Bahkan PAD Desa juga bisa digunakan untuk membayar tunggakan tersebut.
“Jadi, ada kelenturan di SEB tersebut, boleh merubah Musrenbang Desa tahun lalu untuk relaksasi. Jika tidak ada anggaran untuk membayar tunggakan tersebut bisa menggunakan APBDes tahun 2026,” jelasnya.
Ia menyebutkan, sebenarnya dengan adanya Kopdes maka angka kemiskinan bisa terurai. Karena Kopdes nantinya bisa menampung hasil yang diproduksi di desa sebagai upaya meningkatkan pemberdayaan masyarakat di tingkat desa.
“Jika selama ini banyak masyarakat terjerat dengan pinjaman rentenir, maka kehadiran Kopdes ini bisa memberikan pinjaman ke masyarakat dengan bunga rendah,” pungkasnya. (uca)





