Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026. Salah satu pembaruan dalam KUHP tersebut adalah pengenalan pidana kerja sosial sebagai pidana pokok, terutama untuk pelanggaran ringan.
Hal itu disampaikan Pelaksana Tugas Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Undang Mugopal, dalam agenda penandatanganan nota kesepahaman (MoU) implementasi pidana kerja sosial bersama Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di Kompleks Kantor Gubernur DIY, Jumat (19/12).
“Sebagaimana diketahui bersama tanggal 2 Januari nanti, kita akan penerapan KUHP yang baru, mulai berlaku tanggal 2 Januari 2026. Di KUHP yang baru ini ada salah satu pidana pokok yang baru yaitu pidana kerja sosial,” kata Undang.
Ia menyebut, penandatanganan MoU tersebut menjadi bagian dari persiapan teknis pelaksanaan pidana kerja sosial di daerah.
“Kami tadi dengan Ngarsa Dalem melaksanakan MOU dalam rangka implementasi pidana kerja sosial tersebut,” ujarnya.
Menurut Undang, bentuk kerja sosial yang dijalani terpidana nantinya akan ditentukan melalui putusan pengadilan dan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah melalui koordinasi dengan pemerintah setempat.
“Nanti bisa di dalam putusannya pengadilan, nanti bentuk-bentuknya bisa dimusyawarahkan antara jaksa eksekutor dengan pimpinan daerah setempat. Apa yang dibutuhkan untuk pidana kerja sosial di wilayahnya masing-masing tentu akan berbeda satu dengan yang lain,” ucapnya.
Sementara itu, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menekankan bahwa pidana kerja sosial harus dipahami sebagai pendekatan pemidanaan yang lebih manusiawi, bukan sebagai bentuk penghukuman yang merendahkan martabat seseorang.
“Sekarang juga ada keputusan dari pengadilan dari hakim, itu bukan didrop masuk penjara tapi kerja sosial bagi persoalan ringan atau yang sedang, menurut keyakinan hakim, itu keputusannya kerja sosial,” ujar Sultan.
“Kami nanti coba identifikasi bersama kejaksaan kira-kira potensi itu apa,” sambungnya.
Sultan menyebut, bentuk kerja sosial dimungkinkan berupa berbagai aktivitas, termasuk pembersihan kawasan publik seperti Malioboro. Namun, ia menegaskan bahwa pelaksanaannya tidak boleh membuat terpidana merasa dipermalukan.
“(Bersihkan Malioboro) itu kan memungkinkan bisa aja tapi kan kita lihat urgensinya ya jangan sampai dia juga merasa malah direndahkan martabatnya, jangan,” kata Sultan.
Ia juga mengingatkan adanya potensi dampak psikologis apabila pidana kerja sosial justru menimbulkan rasa hina pada terpidana. Menurutnya, kerja sosial harus memberikan nilai positif dan ruang pemulihan bagi pelaku.
“Jangan sampai dia juga merasa malah direndahkan martabatnya, jangan, malah hancur dia. Tapi itu dianggap sesuatu kerja yang memang memberikan value bagi dirinya untuk punya keyakinan kembali,” tutur Sultan.
“Bukan itu pembalasan dendam atau kekerasan, tapi bagaimana dalam upaya kita mengembalikan harga diri, rasa kemanusiaan dan juga peradaban itu batas-batas seperti apa yang tidak dan yang berlebih. Jangan maunya sendiri,” katanya.





