Perspective Forum Center for Strategic Development Studies (CSDS) oleh Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) menyoroti belum adanya climate data center nasional yang secara khusus didedikasikan untuk perubahan iklim. Padahal, risiko cuaca ekstrem termasuk siklon tropis, tengah meningkat di Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan Profesor Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yuli Hastin dalam perspective forum tersebut.
“Indonesia sampai hari ini belum memiliki climate data center yang betul-betul didedikasikan untuk perubahan iklim, termasuk earth system model dan high performance computing yang memadai,” kata Erma, Kamis (18/12/2025).
Menurut Erma, ketiadaan pusat data iklim nasional membuat Indonesia masih sangat bergantung pada data dan model global dalam membaca risiko perubahan iklim dan kebencanaan. Padahal, proyeksi iklim beresolusi tinggi dibutuhkan untuk memahami dampak perubahan iklim hingga skala wilayah yang lebih presisi.
“Untuk membaca dampak perubahan iklim secara presisi, kita membutuhkan data dengan resolusi tinggi, sampai satu kilometer,” ujarnya.
Forum tersebut juga membahas siklon tropis Senyar yang memicu banjir dan kerusakan di sejumlah wilayah Sumatra. Erma menjelaskan bahwa indikasi kemunculan siklon tersebut sebenarnya telah terdeteksi sejak beberapa hari sebelum mendarat.
“Model global sudah bisa menangkap bahwa Senyar akan mendarat dengan peluang 90-100%,” kata Erma.
Ia menegaskan, dari sisi kekuatan angin, Senyar tidak tergolong badai besar. Kecepatan anginnya belum mencapai 100 kilometer per jam dan masih dikategorikan sebagai badai tropis saat mendarat.
Meski demikian, dampak yang ditimbulkan tetap luas. Dalam diskusi tersebut disampaikan bahwa hal itu berkaitan dengan prakondisi hujan ekstrem yang telah berlangsung selama beberapa hari sebelum siklon mencapai daratan.
“Sudah terjadi hujan berhari-hari sebelumnya, sehingga ketika Senyar datang, dampaknya menjadi besar dan menyebar,” kata Erma.
Perlu Penerjemahan Data dan Peringatan Dini di LapanganSelain aspek ilmiah, Perspective Forum CSDS juga menyoroti tantangan dalam penerjemahan data dan peringatan dini menjadi tindakan kesiapsiagaan di lapangan. Direktur Eksekutif New Future Disaster Management Centre (NF-DMC) Rizkia Norinayanti mengatakan informasi peringatan dini cuaca ekstrem belum selalu menjangkau masyarakat secara efektif.
“BMKG memberikan informasi peringatan dini, tapi tidak sampai ke masyarakat. Yang mengoperasionalkan informasi itu menjadi tindakan kesiapsiagaan adalah BNPB,” kata Rizkia.
Menurut Rizkia, penanggulangan bencana melibatkan banyak pemangku kepentingan. Namun dalam praktiknya, informasi sering kali berhenti di level institusi dan belum sepenuhnya menjangkau masyarakat, terutama kelompok rentan.
Ia juga menilai kesiapan masyarakat dalam menghadapi ancaman siklon tropis masih terbatas, mengingat jenis bencana tersebut relatif jarang terjadi di wilayah khatulistiwa dan belum menjadi bagian dari pengalaman kolektif.
“Kalau masyarakat tidak punya gambaran risikonya, peringatan tidak selalu diikuti perubahan perilaku,” ujarnya.
Perspective Forum CSDS tersebut menekankan pentingnya penguatan infrastruktur data iklim nasional, peningkatan kapasitas pemodelan dan komputasi, serta koordinasi antarinstansi agar peringatan dini cuaca ekstrem dapat diterjemahkan secara lebih efektif menjadi tindakan pengurangan risiko di lapangan.



