Sebanyak 361 pasien yang melakukan aborsi menyusul terungkapnya praktik klinik aborsi ilegal di sebuah apartemen di Jakarta Timur, bukanlah sekadar angka.
Di balik fenomena itu tecermin masalah yang lebih kompleks, yaitu kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), minimnya edukasi kesehatan reproduksi, dan tekanan sosial terhadap remaja perempuan hingga lemahnya faktor protektif pada remaja.
Seringkali terbongkarnya praktik aborsi ilegal lebih mengedepankan aspek hukum dan moral daripada isu kesehatan reproduksi. Padahal, aborsi bisa dilakukan, oleh perempuan yang sudah menikah maupun belum menikah, baik yang sudah matang atau siap hamil dari sisi usia maupun oleh perempuan yang masih tergolong remaja atau di bawah umur.
Fenomena aborsi tidak bisa dilepaskan dari dinamika perkawinan usia anak, perilaku seksual remaja, juga kesehatan ibu. Oleh karena itu keputusan berisiko yang diambil untuk melakukan aborsi apalagi ilegal harus dicegah dari hulu hingga hilir dengan mengoptimalkan peran keluarga dan negara.
Jika kasus aborsi banyak dilakukan oleh remaja, data Global School-based Student Health Survey (GSHS) menunjukkan tren, di antaranya perilaku seksual remaja, patut menjadi perhatian.
Survei sejumlah perilaku berisiko yang berdampak negatif pada kesehatan remaja yang diinisiasi WHO di berbagai negara ini mencakup 11 topik utama yang melingkupi perilaku diet, hygiene (gigi dan cuci tangan), kekerasan dan cedera, kesehatan mental, penggunaan tembakau, penggunaan alkohol, penggunaan narkoba, perilaku seksual, aktivitas fisik, faktor protektif, dan media sosial.
GSHS di Indonesia telah dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada 2007, 2015, dan 2023. Pada pelaksanaan GSHS 2023, sebanyak 79 sekolah di berbagai wilayah menjadi sampel survei, dengan total 10.059 siswa berpartisipasi dan tingkat respons 84,6 persen.
Hasilnya, pada pengukuran perilaku seksual dalam tiga kali survei, ditemukan adanya peningkatan persentase siswa usia 13–17 tahun yang pernah melakukan hubungan seksual.
Perilaku yang berisiko pada kesehatan yang dilakukan siswa setingkat SMP dan SMA ini meningkat dari 4,9 persen pada 2007, kemudian 5,3 persen pada 2015 dan menjadi 7,1 persen pada 2023.
Terpotret, persentase siswa laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual lebih tinggi dibanding siswa perempuan. Tahun 2023, siswa laki-laki 9,4 persen, sementara siswa perempuan 4,8 persen.
Survei juga memotret perilaku seksual siswa berdasar wilayah. Secara kewilayahan, angka di Sumatera sebesar 9,2 persen dan wilayah lain di luar Jawa-Bali sebesar 9,5 persen lebih tinggi dibanding Jawa dan Bali yaitu 5,4 persen.
Tanpa edukasi kesehatan reproduksi yang memadai, peningkatan aktivitas seksual berpotensi pada kasus kehamilan tidak diinginkan. Kondisi ini semakin diperparah dengan temuan hasil survei GSHS terkait faktor pelindung yang lemah di lingkungan keluarga.
Lebih dari setengah siswa (54 persen) melaporkan orang tua atau wali jarang atau tidak pernah memahami masalah dan kekhawatiran mereka. Sementara 46,6 persen menyatakan orang tua atau wali tidak benar-benar mengetahui aktivitas waktu luang mereka.
Adanya kesenjangan komunikasi dengan orang tua menyebabkan ketika remaja atau siswa menghadapi masalah misalnya kehamilan tidak diinginkan, mereka akan mencari solusi sendiri yang mungkin tanpa memikirkan risikonya.
Bagi remaja perempuan, kehamilan tidak diinginkan sering kali menjadi penyebab putus sekolah, kemudian perkawinan dini yang tidak direncanakan, hingga dorongan melakukan aborsi secara sembunyi-sembunyi dan tidak aman.
Merujuk Guttmacher Institute, LSM yang mempromosikan peningkatan kesehatan seksual, berdasarkan data tahun 2018/2019, angka kehamilan tidak diinginkan di Indonesia pada perempuan berusia 15-19 tahun mencapai 40 persen dari total kehamilan per tahun yang mencapai 4,8 juta. Separuh dari angka tersebut berakhir dengan aborsi. (Kompas.id, 16/8/2023)
Permohonan pengajuan perkawinan remaja juga terus terjadi dan sangat mengkhawatirkan. Mengutip laman Kemenpppa.go.id, secara nasional, dari data pengadilan agama atas permohonan dispensasi perkawinan usia remaja, tahun 2021 tercatat 60.000 kasus dan tahun 2022 tercatat 52.000 pengajuan.
Sebanyak 13.547 pemohon mengajukan menikah karena sudah hamil terlebih dahulu dan 1.132 pemohon mengaku sudah melakukan hubungan intim.
Sementara dalam lima Tahun (2020-2025), Pengadilan Agama mencatat sebanyak 263.862 permohonan dispensasi (8 persen dari total perkara), menjadikan dispensasi sebagai salah satu dari lima jenis perkara terbanyak.
Jalan pintas aborsi tidak aman karena kehamilan tak diinginkan akan meningkatkan risiko angka kematian ibu (AKI). Prosedur yang dilakukan tanpa tenaga medis kompeten, di tempat tidak steril, atau menggunakan metode berbahaya dapat menyebabkan infeksi berat, perdarahan, bahkan kematian.
Praktik aborsi ilegal yang terbongkar di Jakarta Timur dengan ratusan pasien selama tiga tahun ternyata dilakukan oleh dokter obstetri dan ginekologi gadungan. Bahkan dokter obgyn abal-abal tersebut ternyata tidak memiliki latar belakang pendidikan kesehatan dan hanya lulusan SMA. Miris.
Tahun 2023, praktik aborsi ilegal yang berhasil diungkap Polisi Ditreskrimsus Polda Bali juga dilakukan oleh orang yang tidak kompeten. Pelakunya mengaku dokter gigi dan sudah pernah dua kali ditahan karena kasus yang sama.
Dari dua kasus praktik aborsi ilegal ini tergambar bagaimana mengkhawatirkan risiko kematian ibu. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi meski telah mengalami penurunan. Tercatat tertinggi ketiga di negara-negara ASEAN.
Dalam sepuluh tahun terakhir AKI telah mengalami penurunan yang signifikan dari 346 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010 menjadi 189 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2020 atau turun sebesar 45 persen.
Namun target penurunan AKI sebesar 77 per 100.000 kelahiran hidup yang telah ditetapkan di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2025-2029, untuk mengejar target SDG’s yaitu kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030, memerlukan upaya yang lebih strategis dan komprehensif termasuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan.
Pencegahan kehamilan tidak diinginkan juga pencegahan aborsi, terutama bagi remaja harus dimulai dari hulu melalui penguatan pendidikan reproduksi di sekolah. Data GSHS menunjukkan urgensi intervensi sejak dini dan menjadi alarm sebelum perilaku berisiko meningkat.
Penguatan peran keluarga sebagai faktor pelindung pertama juga terus didorong. Selanjutnya adalah penguatan peran negara dalam memberikan akses layanan kesehatan yang memadai dan perlindungan hukum serta memastikan sistem pencegahan berjalan efektif.
Harapannya, perempuan terutama remaja tidak dipaksa mengambil keputusan berisiko karena kegagalan sistem di sekitarnya. (LITBANG KOMPAS)
Serial Artikel
Kontroversi Aborsi
Ketidakjelasan peraturan implementasi dan akses pada layanan aborsi aman membuat aborsi tidak aman masih saja bermunculan.




