Catatan Fintech 2025: Dari Pindar hingga QRIS Mendunia, Risiko Fraud Mengintai

katadata.co.id
4 jam lalu
Cover Berita

Industri fintech Indonesia sepanjang 2025 bergerak dalam lanskap yang semakin kompleks. Di satu sisi, inovasi teknologi terus memperluas akses layanan keuangan, mendorong inklusi, dan menopang aktivitas ekonomi di tengah perlambatan. Namun di sisi lain, sektor ini juga dihadapkan pada tantangan struktural, mulai dari risiko penipuan digital, lemahnya tata kelola, hingga ketimpangan antara tingkat adopsi teknologi dan kesiapan ekosistem pendukungnya.

Dalam catatan akhir tahun, Indonesia Fintech Society (IFSoc) merangkum sejumlah dinamika kunci yang membentuk arah industri fintech nasional sepanjang 2025. Evaluasi ini tidak hanya menyoroti kinerja dan kontribusi fintech terhadap perekonomian, tetapi juga mengulas persoalan krusial seperti dugaan kartel suku bunga pinjaman daring, kesenjangan literasi dan inklusi keuangan, serta urgensi penguatan perlindungan konsumen di era digital.

Selain itu, IFSoc juga mencermati perkembangan strategis yang berpotensi menentukan daya saing jangka panjang, mulai dari ekspansi QRIS lintas negara, pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) di sektor keuangan, hingga tantangan tata kelola perusahaan teknologi yang berdampak langsung pada kepercayaan investor. Berikut lima catatan utama IFSoc yang merangkum dinamika industri fintech Indonesia sepanjang 2025.

Lima catatan dinamika industri Fintech Indonesia Sepanjang 2025: Pindar Tetap Relevan di Tengah Sorotan Dugaan Kartel Suku Bunga

Di tengah masih rendahnya inklusi keuangan nasional, kehadiran layanan pinjaman daring (pindar) dinilai memainkan peran strategis secara sosial dan ekonomi. Berdasarkan catatan Bank Dunia, sekitar 48% orang dewasa di Indonesia belum memiliki rekening bank, sementara kelompok unbanked dan underbank masih berada di kisaran 40%. 

Ekonom sekaligus Steering Committe IFSoc, Hendri Saparini menilai kondisi ini menegaskan perlunya terobosan dan inovasi dalam menyediakan layanan keuangan, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun kegiatan produktif.

Dari sisi literasi keuangan, posisi Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya. Tingkat inklusi keuangan Indonesia masih berada di bawah Filipina, dan terpaut jauh dari Thailand yang telah mencapai 96% serta Malaysia sebesar 88%. 

“Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan inklusi keuangan bukan hanya soal akses, tetapi juga pemahaman masyarakat terhadap produk dan risiko keuangan,” kata dia dalam diskusi Catatan Akhir Tahun 2025 IFSoc di Jakarta Selatan, Jumat (19/12). 

Secara makroekonomi, Hendri menyebut fintech terbukti mendorong pertumbuhan, menciptakan lapangan kerja, serta berkontribusi pada pengurangan kemiskinan. 

Di tengah perlambatan ekonomi, khususnya pada sisi konsumsi dan produksi, pindar justru menunjukkan kinerja yang relatif positif. Data menunjukkan outstanding pindar pada 2024 tercatat sebesar Rp7,7 triliun dan meningkat menjadi sekitar Rp8 triliun pada September 2025. 

Dalam survei yang digelar IFSoc menunjukkan 59% responden menilai biaya pinjaman yang diajukan oleh platform fintech memiliki biaya terjangkau, terutama ketika suku bunga pinjaman daring alias pindar relatif terkendali. 

IFSoc menilai pinjaman daring (pindar) masih memegang peran sosial dan ekonomi yang signifikan, terutama di tengah melandainya penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR). Hingga September 2025, outstanding pindar tercatat mencapai Rp87 triliun, meningkat konsisten dari tahun-tahun sebelumnya 

Isu dugaan kartel suku bunga yang ditangani Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) turut menjadi perhatian. Namun, Hendri menekankan bahwa penetapan batas atas bunga justru merupakan arahan regulator untuk melindungi konsumen.

Gap Literasi dan Inklusi Keuangan Memperlebar Ruang Fraud

Sepanjang 2025, penipuan digital masih menjadi tantangan besar. Data menunjukkan 66% masyarakat Indonesia pernah menjumpai scam, dengan rata-rata 55 percobaan penipuan per orang per tahun. Di sisi lain, indeks inklusi keuangan telah mencapai 80,51%, sementara literasi keuangan baru 66,46%, menyisakan gap 14,05% 

Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc) sekaligus Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tirta Segara, mengungkap saat ini tingkat inklusi keuangan masyarakat telah melampaui 80%, namun literasi keuangan baru mencapai 66%. 

Meski keduanya meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya, selisih itu disebutnya masih menciptakan risiko besar terjadinya penipuan.

“Gap ini membuat masyarakat aktif menggunakan layanan keuangan, tapi belum cukup paham risikonya. Akibatnya, penipuan terus muncul dan semakin bervariasi,” ujarnya dalam Catatan Akhir Tahun IFSoc, di Jakarta Selatan, Jumat (19/12). 

Berdasarkan data Global Anti Scam Association (GASA), sebanyak 66% orang dewasa di Indonesia pernah mengalami atau menjumpai penipuan. Rata-rata, setiap orang menghadapi lebih dari 50 upaya penipuan, terutama melalui aplikasi pesan instan dan panggilan telepon. 

IFSoc mencatat, sejak dibentuk pada November 2024 hingga November 2025, IASC telah menerima 360.541 laporan, memblokir 112.680 rekening, dengan total kerugian dilaporkan mencapai Rp8 triliun 

Namun, tantangan ke depan bukan hanya koordinasi, melainkan kecepatan respons dan penyederhanaan prosedur pelaporan agar pemulihan dana korban tidak berlarut-larut.

QRIS Cross Border jadi Instrumen Strategis Sistem Pembayaran

Perluasan QRIS lintas negara menjadi salah satu sorotan positif sepanjang 2025. Nilai transaksi QRIS domestik tercatat mencapai Rp959,7 triliun pada Januari–September 2025, dengan 42 juta merchant dan 59 juta pengguna 

Komisaris Utama OVO sekaligus anggota IFSoc, Dyah NK Makhijani, memandang QRIS Cross Border tidak bersifat proteksionis, melainkan melengkapi ekosistem pembayaran dengan biaya terjangkau bagi UMKM. 

“Meski sempat muncul kekhawatiran bahwa kebijakan ini bersifat eksklusif, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. QRIS justru membuka ruang partisipasi bagi pemain regional dan global selama menggunakan standar yang sama,” katanya. 

Di tingkat regional, sistem pembayaran menjadi sektor paling progresif dalam kerja sama lintas negara. QRIS cross-border telah berjalan dengan Malaysia, Singapura, Jepang, serta terhubung dengan Alipay dan WeChat Pay. Pembahasan juga berlangsung dengan India dan Arab Saudi.

IFSOC menilai standar QRIS menjadi kunci utama. Selama standar nasional digunakan, interoperabilitas dapat tercapai tanpa kehilangan kedaulatan sistem. QRIS memungkinkan partisipasi luas, termasuk pelaku kecil, tanpa bergantung pada infrastruktur mahal.

Menariknya, respons publik terhadap QRIS menunjukkan rasa kepemilikan yang kuat dan tumbuh secara organik. Ke depan, kolaborasi dengan sektor pariwisata dinilai krusial agar wisatawan asing dapat bertransaksi menggunakan QRIS di Indonesia, sekaligus mendorong dedolarisasi transaksi domestik.

AI: Tinggi dalam Adopsi, Lemah dalam Produksi

CEO Bareksa sekaligus anggota IFSoc, Karaniya Dharmasaputra, menyoroti pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) di industri fintech Indonesia. Di tingkat perusahaan, AI mulai diposisikan sebagai bagian dari budaya kerja dan indikator kinerja karyawan (KPI).

Berdasarkan data Boston Consulting Group (BCG) 2025, Indonesia menempati peringkat kedua tingkat adopsi AI oleh pekerja di Asia Pasifik dengan angka 89%, berada di bawah India (92%) dan di atas China (87%) serta Thailand (85%).

Meski demikian, Indonesia dinilai masih jauh tertinggal dalam hal investasi AI, kapasitas infrastruktur data center, serta utilisasi AI untuk frontline products. Sebagian besar penerapan AI di sektor keuangan masih terbatas pada fungsi back office.

“Perkembangan AI di Indonesia masih berada pada tahap balita (infancy), sehingga diperlukan dorongan pemerintah untuk membentuk ekosistem yang mendukung sektor strategis ini,” kata dia. 

Salah satu hambatan utama pengembangan AI di Indonesia adalah keterbatasan infrastruktur. Data menunjukkan kapasitas data center per kapita Indonesia masih jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara tetangga. Selain itu, kualitas data juga dinilai masih menjadi persoalan.

Ketergantungan pada produsen chip dari Amerika Serikat, China, dan negara maju lainnya turut menjadi tantangan, di samping kesiapan pasokan energi untuk menopang pengembangan AI ke depan.

Lemahnya Tata Kelola Tekan Kepercayaan Investor Startup Indonesia

Lemahnya tata kelola perusahaan teknologi dinilai berdampak langsung terhadap menurunnya minat investasi dan terhambatnya inovasi di ekosistem startup Indonesia. 

Direktur BNI Ventures, Eddi Danusaputro, menyebut, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus besar di perusahaan teknologi Indonesia telah memicu meningkatnya skeptisisme terhadap tata kelola dan transparansi startup nasional. Kondisi ini berdampak pada melemahnya kepercayaan investor, khususnya investor asing.

Data pendanaan startup Asia Tenggara pada paruh pertama 2025 menunjukkan Indonesia masih berada di peringkat kedua dari sisi jumlah transaksi. Namun, dari sisi nilai pendanaan, Indonesia justru tertinggal di posisi bawah.

Komposisi nilai pendanaan ASEAN didominasi Singapura dengan lebih dari 65%, disusul Vietnam dan Malaysia. Indonesia hanya mencatat sekitar 4% dari total nilai pendanaan regional. Kondisi ini menandakan bahwa ekosistem startup Indonesia saat ini didominasi investasi berukuran kecil.

Di dalam negeri, tren pendanaan startup juga menunjukkan penurunan signifikan. Nilai pendanaan startup Indonesia turun dari US$4,25 miliar pada 2022 menjadi US$2,85 miliar pada 2023, dan terus merosot hingga hanya US$161 juta pada paruh pertama 2025.

Dari sisi sektor, investor paling banyak menyalurkan dana ke new retail sebesar US$44,4 juta, disusul agritech US$22,6 juta dan climate tech US$18,2 juta. Sementara sektor fintech hanya mencatat pendanaan sebesar US$17,5 juta.

Untuk memulihkan kepercayaan pasar dan memitigasi risiko, asosiasi modal ventura di Asia Tenggara menyusun maturation map sebagai standar tata kelola perusahaan teknologi. Peta ini dikembangkan melalui kolaborasi asosiasi VC di Indonesia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Malaysia.

Maturation map mengatur standar tata kelola berdasarkan tahap pendanaan. Pada tahap pra-pendapatan, startup cukup menerapkan tata kelola dasar dan pelaporan kas bulanan. 

“Seiring peningkatan pendanaan, startup diwajibkan memiliki laporan keuangan bulanan, audit eksternal, pembentukan komite audit dan risiko, hingga penunjukan direktur independen dan mekanisme whistleblower,” kata dia.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Klasemen SEA Games 2025 Sabtu Pagi: Indonesia Pertahankan Posisi Runner Up
• 5 jam lalunarasi.tv
thumb
Peringatan Buat Pengguna HP Android, 1,8 Juta Jadi Korban
• 13 jam lalucnbcindonesia.com
thumb
Anggaran Bantuan dari Prabowo untuk Bencana Sumatera Cair, Nilainya Rp 268 M
• 20 jam laludetik.com
thumb
BRI Terjunkan Relawan dan Tegaskan Dukungan Jangka Panjang Pemulihan Bencana Sumatera, Komitmen Nyata BUMN Peduli
• 7 jam laluviva.co.id
thumb
AHY Tegaskan Kesiapan Transportasi Nasional Jelang Nataru
• 5 jam lalueranasional.com
Berhasil disimpan.