Natal kembali menghampiri dengan sukacita, doa, dan cahaya lilin yang menyemarakkan gereja-gereja di seluruh Indonesia. Namun, tahun ini, sukacita itu bertemu dengan duka besar di Sumatera. Bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang sangat besar.
Ketika sebagian umat tengah menata pohon Natal dan menghias altar gereja, ada keluarga-keluarga di Sumatera yang justru menata ulang kehidupannya dari lumpur, puing, dan kehilangan. Kontras inilah yang seharusnya menggetarkan nurani umat Kristen. Natal mengajukan pertanyaan sederhana: Apakah sukacita kita melahirkan empati, atau justru membuat kita lalai dari pergumulan saudara-saudara kita yang sedang berduka?
Natal sebagai Kehadiran yang MenguatkanDi tengah rutinitas perayaan, umat mudah melupakan inti Natal itu sendiri: Immanuel—Allah hadir bersama manusia. Kehadiran itu bukan kemegahan, melainkan kesederhanaan. Ia hadir di palungan, dekat dengan mereka yang tersisih, berkekurangan, dan tidak memiliki ruang untuk berlindung.
Ketika ribuan warga di Sumatera berjaga sepanjang malam di tenda pengungsian—menunggu kabar orang yang dicintai—Natal sejatinya memanggil umat untuk menghadirkan empati. Kehadiran bukan hanya datang ke gereja; ia adalah kesediaan untuk memperhatikan pergumulan sesama.
Iman yang Bekerja dalam SolidaritasGereja di berbagai daerah sering menjadi salah satu pihak yang paling cepat merespons bencana: menggalang bantuan, mengirimkan logistik, menyediakan ruang aman bagi anak-anak, hingga mengutus relawan. Tindakan-tindakan ini bukan sekadar aksi sosial, melainkan juga wujud iman yang bekerja.
Natal tahun ini dapat menjadi momentum untuk mengalihkan sebagian energi perayaan menjadi energi kepedulian. Jika anggaran dekorasi gereja dapat mencapai jutaan rupiah, tentu sebagian dapat dialihkan untuk membeli kebutuhan dasar para pengungsi. Jika keluarga dapat menyiapkan hampers dan konsumsi perayaan, tentu sebagian kecil dapat disisihkan untuk membantu kebutuhan mendesak warga terdampak.
Solidaritas seperti inilah yang membawa kembali makna Natal ke tempat yang semestinya: kasih yang tidak berhenti pada simbol dan ritual.
Bijak Bermedia Sosial: Mengutamakan SensitivitasEra digital membuat setiap perayaan mudah berubah menjadi konsumsi publik. Foto dekorasi Natal, pakaian terbaik, hadiah, dan pesta sering kali memenuhi linimasa sepanjang Desember. Namun, pada tahun ketika ratusan keluarga sedang berduka dan ribuan warga kehilangan rumah, ada baiknya euforia digital ditahan.
Mengunggah foto-foto perayaan Natal secara berlebihan dapat terasa menyakitkan bagi mereka yang sedang mengalami kehilangan. Bukan berarti umat tidak boleh berbagi kebahagiaan, melainkan ada ruang untuk kebijaksanaan: memilih foto yang pantas, menghindari kemewahan yang berlebihan, dan menyertakan pesan empati atau doa ketika mengunggah sesuatu.
Kehadiran di dunia digital pun memerlukan kepekaan. Kesederhanaan dalam bermedia sosial dapat menjadi bentuk penghormatan kepada mereka yang sedang berjuang melewati hari-hari yang berat.
Natal yang Tidak AbaiMedia kerap menekankan kehadiran fisik sebagai ukuran utama kemanusiaan, seolah empati dan kepedulian hanya sah ketika tampak dan terdokumentasi. Natal tahun ini memberikan kesempatan luas untuk menerjemahkan kehadiran itu secara konkret: gereja dapat memperkuat misi sosialnya, keluarga dapat menanamkan nilai kepedulian kepada anak-anak, dan individu dapat mengambil langkah kecil, tapi berarti bagi korban bencana.
Natal bukan hanya tentang apa yang kita rayakan, melainkan juga tentang siapa yang kita hadiri. Di tengah lilin yang menyala di gereja, ada harapan yang sedang dicari oleh para pengungsi; di tengah lagu-lagu Natal yang kita nyanyikan dengan penuh syukur, ada keluarga yang masih berjaga menantikan kabar dari orang-orang yang mereka cintai.
Jika umat Kristen mampu hadir—melalui doa, bantuan, tenaga, atau sensitivitas dalam bersikap—Natal benar-benar menjadi kabar baik. Mungkin justru di tengah bencana inilah kita menemukan kembali makna Natal yang paling murni: kasih yang menjadi kehadiran bagi mereka yang terluka.

/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fimages%2F2025%2F12%2F19%2F15de7b1d633cd0b8de0e49c1874cbb7c-sabutung1.jpg)



