Review Avatar: Fire and Ash, Cerminan Tragedi Ekologi Akibat Keserakahan

kumparan.com
17 jam lalu
Cover Berita

Sutradara James Cameron kembali membuktikan kualitasnya. Melalui Avatar: Fire and Ash, film ketiga dari waralaba Avatar, penonton tidak hanya diajak kembali ke Pandora, tetapi melihat sisi gelap dari planet indah tersebut.

Jika film pertama adalah tentang perkenalan dan film kedua adalah tentang keluarga, film ketiga ini adalah tentang konsekuensi dari kehancuran.

Ekspansi Semesta Pandora

Fire and Ash mengambil latar waktu tak lama setelah peristiwa di The Way of Water. Jake Sully dan Neytiri menyadari bahwa melarikan diri ke laut bukanlah solusi permanen. Ancaman RDA (Resources Development Administration) semakin agresif.

Sementara itu, konflik internal terus muncul. Keluarga Jake Sully masing-masing masih berdamai atas kepergian Neteyam yang tewas ditembak pasukan RDA saat mencoba menyelamatkan adiknya, Lo'ak, dan Spider di kapal manusia.

Film ini memperkenalkan penonton pada klan baru yang disebut "Ash People" (Suku Abu). Berbeda dengan klan Omatikaya (hutan) atau Metkayina (laut) yang, Suku Abu adalah klan yang hidup di wilayah vulkanik yang keras dan gersang.

Mereka dipimpin oleh Varang (diperankan oleh Oona Chaplin), sosok pemimpin yang memiliki pandangan sinis terhadap dunia luar akibat penderitaan yang dialami klan mereka.

James Cameron memperluas Pandora dengan memperkenalkan ekosistem yang tidak ramah. Ada sungai lava, padang abu yang luas, dan predator udara yang mampu beradaptasi dengan panas ekstrem.

Plotnya lebih kelam ketika mengeksplorasi gagasan bahwa tidak semua bangsa Na'vi itu baik. Konflik internal antar-klan ini memberikan dimensi yang lebih dewasa dan rumit dibandingkan film sebelumnya.

Evolusi Visual

Secara teknis, lompatan visual dari film pertama (2009) hingga Fire and Ash (2025) terlihat seperti keajaiban teknologi. Pada film pertama, kita dibuat terpukau oleh keindahan hutan. Di film kedua, kita terkesima oleh simulasi air The Way of Water yang begitu nyata. Di film ketiga ini, fokus utamanya adalah elemen api, asap, dan partikel debu.

Tingkat kerumitan pada film ini terlihat sangat meningkat. Partikel abu yang melayang-layang di udara, cahaya api menyinari kulit Na’vi yang berwarna abu-abu pucat, hingga simulasi aliran lava yang memiliki massa dan suhu yang terasa panas di mata penonton. Standar baru dalam industri CGI.

Penggunaan teknologi High Frame Rate (HFR) juga terlihat lebih halus, membuat gerakan di tengah pertempuran vulkanik tampak sangat organik tanpa kehilangan sentuhan sinematiknya. Wajar bahwa produksi Avatar: Fire And Ash disebut-sebut menghabiskan dana 400 juta dolar AS atau setara dengan Rp 6,7 triliun.

Kontras Warna

Salah satu aspek yang paling menarik untuk dibahas adalah permainan palet warna yang terlihat lebih kaya di Avatar: Fire And Ash. James Cameron menggunakan warna sebagai alat penceritaan.

Klan Jake Sully dan Neytiri tetap mempertahankan warna biru ikonik mereka sebagai simbol kehidupan, air, dan keselarasan dengan Eywa.

Namun, kehadiran Suku Abu memberikan kontras yang tajam. Mereka memiliki kulit yang cenderung berwarna abu-abu kusam atau biru pucat. Aksesori dan lingkungan mereka didominasi oleh warna kuning belerang dan merah membara.

Kontras visual ini melambangkan benturan pandangan hidup antar klan. Biru (kehidupan) versus Abu-abu/Kuning (kehancuran/api).

Visual ini secara psikologis memberikan kesan bahwa dunia Pandora sedang sakit dan tidak lagi indah seperti dulu. Mereka kehilangan kemurnian alam akibat perang yang berkepanjangan dan kehadiran RDA.

Tragedi Ekologis

Poin emosional dari Fire and Ash adalah narasinya yang sangat relevan dengan krisis iklim saat ini. RDA, dibantu suku Api dalam film ini, tidak lagi hanya menambang mineral. Mereka memanen secara brutal dengan cara membakar lahan secara masif.

Sementara Tulkun terus diburu secara brutal. Hewan tersebut diambil zat berharga di otaknya. Padahal, makhluk cerdas mirip paus itu hidup di lautan Pandora dan dianggap saudara spiritual oleh suku Na'vi. Jumlah mereka mendekati kepunahan.

Namun "Amrita," zat yang dapat menghentikan penuaan manusia dan bernilai mahal di pasaran, membuat ambisi RDA tak pernah putus dan berapi-api.

Dalam Avatar: Fire And Ash, keserakahan korporasi ini digambarkan sebagai mesin yang tidak punya hati. Demi keuntungan jangka pendek, mereka rela berperang, mengubah Pandora menjadi neraka abu.

Film ini menjadi cermin yang sangat jujur: apabila keserakahan manusia tidak dibatasi, nasib bumi bisa berakhir seperti wilayah vulkanik Suku Abu di Pandora, di mana udara tak lagi bisa dihirup, dan warna hijau hanya menjadi kenangan.

Cameron berhasil menyampaikan bahwa Fire and Ash bukan hanya judul film, melainkan masa depan yang akan kita hadapi apabila terus mengabaikan jeritan alam.

Pada akhirnya, Avatar: Fire and Ash adalah sebuah mahakarya yang kaya secara emosional dan visual. Film ini berhasil melampaui ekspektasi dengan tidak hanya menawarkan tontonan yang megah, tetapi juga sebuah kritik tajam terhadap kemanusiaan.

Film ini mengajarkan bahwa musuh terbesar bukanlah orang asing, melainkan keserakahan yang ada di dalam diri kita sendiri.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Tak Cuma Pengalaman Wisata, Kala Kini Jakarta Hadirkan Penggalangan Donasi
• 14 jam laludetik.com
thumb
Bahlil Janji Tidak akan Gunakan Golkar untuk Urus Kepentingan Pribadi atau Usahanya
• 15 jam lalukompas.tv
thumb
Ade Kuswara Ditangkap KPK, PSI: Sudah Berapa Banteng Tumbang Tahun Ini?
• 19 jam lalufajar.co.id
thumb
CHEN Siap Sapa EXOL dan Soondingies Jakarta Bulan Depan, Berikut Detailnya
• 14 jam lalutvonenews.com
thumb
Jelang Natal, Polda Jabar Tingkatkan Pengamanan Gereja Usai Insiden Benda Mencurigakan di GKPS Kosambi Bandung
• 10 jam lalutvonenews.com
Berhasil disimpan.