Ketika Negara Belum Percaya pada Desa

kumparan.com
2 jam lalu
Cover Berita

Gelombang aksi kepala desa yang kembali terjadi di Jakarta pada akhir 2025 menandai perubahan penting dalam arah tuntutan desa. Jika pada periode 2022-2024 isu yang dominan adalah perpanjangan masa jabatan, kini sorotan bergeser ke soal yang lebih mendasar: otonomi anggaran desa. Pergeseran ini menunjukkan kesadaran baru bahwa kekuasaan tanpa ruang kendali atas anggaran hanyalah simbol administratif.

Tuntutan masa jabatan sembilan tahun memiliki sejarah panjang. Sejak 2022, berbagai asosiasi kepala desa menyuarakan keberatan atas masa jabatan enam tahun yang dinilai tidak sebanding dengan beban kerja dan kompleksitas pengelolaan dana desa.

Aksi-aksi nasional pada 2023-2024 akhirnya direspons negara melalui revisi Undang-Undang Desa. Namun, setelah isu jabatan relatif selesai, persoalan mendasar justru semakin terang: desa tetap belum sepenuhnya berdaulat menentukan arah pembangunannya sendiri.

Akar masalahnya terletak pada anggaran. Pada 2025, dana desa secara nasional berada di kisaran lebih dari Rp70 triliun. Angka ini terlihat besar, tetapi ruang diskresi desa atas dana tersebut semakin menyempit.

Skema earmarking mengikat penggunaan dana desa pada pos-pos tertentu, mulai dari bantuan langsung tunai, ketahanan pangan, penanganan stunting, hingga berbagai program prioritas nasional. Akibatnya, desa sering kali kesulitan merespons kebutuhan lokal yang mendesak dan spesifik.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2025 mempertegas pola tersebut. PMK ini mengatur secara rinci prioritas dan mekanisme penggunaan dana desa. Dari perspektif tata kelola keuangan negara, kebijakan ini masuk akal.

Terlebih, di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, arah kebijakan fiskal nasional memang menekankan disiplin anggaran yang ketat untuk menjaga defisit tetap terkendali dan stabilitas makro tetap terjaga.

PMK 81/2025 dapat dibaca sebagai cara pemerintah memastikan setiap rupiah dana desa terserap secara terukur dan tidak menguap. Namun, ketika pendekatan makro ini diterjemahkan ke tingkat desa, muncul persoalan baru.

Bagi banyak kepala desa, disiplin fiskal yang diwujudkan dalam aturan teknis yang detail dirasakan sebagai pembatasan ruang gerak. Desa dihadapkan pada realitas lapangan yang sering kali tidak bisa menunggu prosedur panjang dan menu kebijakan yang seragam.

Seorang kepala desa di Jawa Tengah menggambarkan situasi ini dengan lugas: desa tidak menolak pengawasan, tetapi membutuhkan fleksibilitas. Jalan rusak akibat banjir, irigasi jebol, atau kebutuhan darurat warga sering kali tidak sepenuhnya sejalan dengan prioritas pusat. Dalam kondisi seperti ini, kepala desa merasa lebih berperan sebagai operator program nasional ketimbang perencana pembangunan lokal.

Di sinilah persoalan kepercayaan menjadi kunci. Negara tampak masih menyimpan kehati-hatian, bahkan keraguan atas kapasitas desa dalam mengelola anggaran secara mandiri. Kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan dana desa dijawab dengan pengetatan regulasi. Akibatnya, dana desa yang semula dirancang sebagai instrumen kemandirian perlahan bergeser menjadi instrumen distribusi kebijakan pusat.

Padahal, dana desa lahir dari gagasan besar pembangunan dari pinggiran. Desa ditempatkan sebagai fondasi pembangunan nasional dan ruang terdekat negara dengan warga. Namun, desa bukan entitas yang homogen. Desa pesisir, desa pegunungan, desa agraris, hingga desa rawan bencana memiliki tantangan dan kebutuhan yang berbeda. Kebijakan satu pola untuk semua berisiko mengabaikan keragaman ini dan justru mengurangi efektivitas pembangunan.

Dalam konteks pemerintahan baru, Presiden Prabowo Subianto menegaskan pentingnya audit dan pengawasan dana desa agar anggaran negara benar-benar sampai kepada rakyat. Penegasan ini penting dan relevan. Namun, audit seharusnya menjadi instrumen koreksi, bukan pengganti kepercayaan. Pengawasan yang kuat tidak harus berujung pada sentralisasi keputusan hingga ke tingkat paling bawah.

Menariknya, tuntutan kepala desa kali ini juga mencerminkan kematangan politik desa. Mereka tidak lagi sekadar memperjuangkan kepentingan jabatan, tetapi juga mulai mengajukan kritik terhadap desain kebijakan fiskal negara. Ini menunjukkan bahwa desa perlahan naik kelas sebagai aktor kebijakan yang memahami relasi antara stabilitas nasional dan kebutuhan lokal.

Negara yang kuat bukanlah negara yang mengendalikan setiap rupiah hingga ke desa, melainkan negara yang mampu membangun sistem pengawasan tanpa mematikan inisiatif. Ketika desa dibebani tanggung jawab tanpa ruang kebijakan, otonomi berubah menjadi formalitas administratif. Jika pembangunan dari pinggiran ingin benar-benar diwujudkan, negara harus berani menjaga disiplin fiskal sekaligus memercayai desa sebagai mitra pembangunan.

Karena pada akhirnya, masa depan Indonesia tidak hanya ditentukan di pusat kekuasaan, tetapi juga di ribuan desa yang hingga kini masih menunggu satu hal paling mendasar: kepercayaan negara.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
ESDM Godok Perpres Baru LPG 3 Kg, Subsidi Bakal Dibatasi Berdasarkan Desil
• 7 jam lalumatamata.com
thumb
LindungiHutan Luncurkan E-Book “Winning with CSR” untuk Perusahaan Telekomunikasi
• 3 jam lalumediaapakabar.com
thumb
Pemerintahan Trump Mulai Rilis Dokumen Epstein ke Publik
• 5 jam laludetik.com
thumb
Alasan Semen Padang vs Persija Tidak Pindah Stadion walau ada Bencana di Pulau Sumatra
• 19 jam laluskor.id
thumb
Tinjau Terminal Pulo Gebang, Pramono Prediksi Puncak Arus Mudik Nataru Terjadi Besok
• 22 jam laluokezone.com
Berhasil disimpan.