FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Salah satu tersangka dalam laporan Presiden ke-7, Jokowi, terkait dugaan pencemaran nama baik, Rizal Fadillah, kembali bicara usai tetap dinyatakan tersangka.
Ia menegaskan pentingnya dilakukan uji forensik terbuka, independen, dan komparatif untuk menjawab polemik yang hingga kini belum mereda.
Dikatakan Rizal, kasus dugaan ijazah palsu Jokowi tak kunjung selesai karena tidak adanya itikad baik untuk menuntaskannya secara transparan.
Padahal, selain melalui jalur pengadilan, proses hukum yang berjalan seharusnya dapat dioptimalkan melalui mekanisme pengujian forensik yang kredibel.
“Meski delik tuduhan menyangkut pencemaran, fitnah, penghasutan, maupun manipulasi informasi elektronik, akan tetapi seluruhnya terkait dengan dugaan ijazah palsu Jokowi. Keaslian dan kepalsuan menjadi penentu,” kata Rizal kepada fajar.co.id, Sabtu (20/12/2025).
Ia menekankan, uji laboratorium forensik terhadap ijazah Jokowi beserta dokumen pendukung seperti skripsi merupakan faktor krusial.
Namun, pengujian tersebut dianggap tidak akan memiliki legitimasi kuat apabila dilakukan tanpa pengawasan, independensi, dan dukungan komparasi.
“Hanya saja uji laboratorium forensik tanpa pengawasan, independensi, atau dukungan komparasi sering menciptakan hasil yang bias,” sebutnya.
Berkaca dari pengalaman, Rizal menekankan bahwa uji forensik atas ijazah Jokowi harus akurat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Ia pun mengajukan tiga opsi yang disebut bisa ditempuh untuk membangun kepercayaan publik.
Opsi pertama, uji forensik dilakukan secara terbuka dengan melibatkan banyak pihak.
Pengujian bisa dilakukan oleh Labfor Mabes Polri, namun turut mengundang ahli lain, termasuk dari pihak tersangka seperti Roy Suryo dan Rismon, serta pakar teknologi informasi yang dikenal publik.
Opsi kedua, uji forensik tidak dilakukan di Labfor Mabes Polri, melainkan di lembaga independen, seperti lembaga penelitian tertentu atau perguruan tinggi yang memiliki perangkat pengujian forensik, misalnya Universitas Indonesia (UI) atau kampus lainnya.
“Independensi yang diizinkan Polri membangun kepercayaan atas proses pemeriksaan tindak pidana oleh Polri,” tegasnya.
Sementara opsi ketiga, setelah dilakukan uji forensik di Labfor Mabes Polri, harus diberikan ruang untuk uji komparasi oleh lembaga lain, baik di dalam maupun luar negeri.
Menurut Rizal, langkah ini akan menunjukkan kepercayaan diri Polri sekaligus membuka paradigma baru dalam pengujian forensik dokumen atau barang bukti penting.
Ia menilai, keterbukaan tersebut menjadi indikator kesiapan Polri untuk melakukan reformasi institusi. Sebaliknya, tanpa transparansi, independensi, dan komparasi, hasil uji forensik Labfor Mabes Polri akan sulit dipercaya publik.
“Artinya untuk kasus ijazah palsu Jokowi akan tetap berkelanjutan meski korban-korban kriminalisasi semakin banyak yang berjatuhan,” Rizal menuturkan.
Ia juga memberikan penegasan terhadap apa yang ia sebut sebagai praktik manipulasi hukum. Rizal bilang, negara seolah siap melindungi satu orang dengan mengorbankan prinsip keadilan dan kebenaran.
“Tidak malu dengan sengaja dan terang-terangan untuk melakukan manipulasi hukum. Palsu direkayasa menjadi asli. Tragedi sebuah negeri yang pernah dipimpin oleh Jokowi,” kuncinya.
(Muhsin/fajar)




