FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Meski telah ditunjukkan dalam Gelar Perkara Khusus di Polda Metro Jaya, Roy Suryo, menegaskan keyakinannya bahwa ijazah Presiden ke-7 RI, Jokowi, tetap 99,9 persen palsu.
Ia menegaskan, proses yang dilakukan kepolisian belum dapat disebut sebagai pemeriksaan forensik yang sah secara teknis maupun ilmiah.
Dikatakan Roy, dokumen ijazah yang diperlihatkan kepada peserta gelar perkara masih berada di dalam map berlapis plastik dan sama sekali tidak dikeluarkan dari pembungkusnya.
Baginya, kondisi tersebut membuat dokumen tidak mungkin diperiksa secara teknis.
“Jelasnya secara teknis, selembar kertas yang masih dalam Map berlapis plastik (dan tidak dibuka samasekali, alias kertas tersebut tidak dikeluarkan dari plastiknya) tidak bisa dikatakan sudah diperiksa apalagi diteliti atau dianalisa teknis karena memang tidak dipegang apalagi sampai diiraba,” ujar Roy, Minggu (21/12/2025).
Lanjut dia, masyarakat perlu mengetahui bahwa dalam gelar perkara khusus tersebut, seluruh peserta hanya diperbolehkan melihat dokumen menggunakan penglihatan mata biasa tanpa alat bantu apa pun.
“Semua peserta dalam gelar perkara khusus minggu lalu hanya maksimal diperbolehkan melihat dengan indra penglihatan biologis (alias mata) saja, tanpa satupun alat bantu apapun,” katanya.
Ia menekankan, jika proses tersebut benar-benar dilakukan secara adil dan tanpa ada hal yang disembunyikan, seharusnya dokumen bisa diperiksa secara langsung, termasuk diraba, diterawang, hingga dianalisis menggunakan perangkat teknologi modern.
“Padahal kalau memang mau fair dan tidak ada faktor-X yang disembunyikan apapun, Kertas dalam Map Plastik tersebut seharusnya bisa dipegang, diraba bahkan diterawang secara langsung,” tegasnya.
Ia bahkan menyebut, dokumen idealnya difoto dan dipindai menggunakan mesin pemindai resolusi tinggi sesuai rekomendasi ahli forensik.
“Atau bahkan difoto dan dipindai dengan mesin scanner resolusi tinggi (hingga ribuan dpi / dot-per-inch) sebagaimana advis teknis dan ilmiah yang disampaikan oleh Pakar Photogrametri senior yang juga Ahli Forensik Analog dan Digital lulusan UGM asli, Prof Tono Saksono,” jelas Roy.
Roy kemudian membandingkan situasi gelar perkara tersebut dengan peristiwa sebelumnya di Solo, saat selembar kertas juga ditunjukkan kepada wartawan tanpa boleh difoto atau direkam.
“Jadi situasi di Lantai 2 Gedung Reskrimum PMJ saat itu memang seperti suasana di Rumah Jokowi Solo pada tanggal 16/04/2025 dimana konon beberapa wartawan ditunjukkan juga selembar kertas tanpa boleh difoto apalagi divideo,” katanya.
Meski demikian, Roy mengaku dapat menilai kejanggalan hanya dengan pengamatan visual.
Berdasarkan pengalamannya lebih dari 48 tahun di dunia fotografi, ia meragukan keaslian pasfoto yang tertera pada dokumen tersebut.
“Namun demikian, Alhamdulillah dengan pengalaman pribadi selama lebih dari 48 silam mengenal dunia fotografi saya langsung bisa mengetahui bahwa PasFoto seseorang berjas hitam dan berkacamata yang ada di selembar kertas itu sangat meragukan bila dikatakan dicetak semenjak tahun 1985 alias sudah berumur 40 tahun dari sekarang,” ungkapnya.
Roy membeberkan kondisi industri fotografi pada era 1985 yang masih sangat terbatas, khususnya di Yogyakarta.
Ia menyebut hanya segelintir studio profesional yang mampu mencetak foto dengan kualitas tinggi, itupun dengan biaya yang mahal bagi mahasiswa.
Ia menjelaskan, studio-studio foto profesional saat itu menggunakan kamera medium format dan peralatan laboratorium yang kompleks, mulai dari ruang gelap hingga bahan kimia khusus.
Roy juga menyinggung keberadaan jasa cetak foto kaki lima yang lebih terjangkau, namun memiliki kualitas rendah dan tidak tahan lama.
Foto dari jasa semacam itu, menurutnya, sangat rentan mengalami pemudaran warna dan kerusakan material seiring waktu.
“Oleh karenanya, kualitas PasFoto Orang berjas hitam dan berkacamata yang berada pada selembar kertas yang ditunjukkan saat gelar perkara khusus di Polda Metro Jaya kemarin yang masih sangat Tajam dan Kontras sangat tidak berkesuaian dengan kondisi serta fakta teknis apabila benar PasFoto tersebut dicetak tahun 1985 alias 40 tahun silam bila dihitung tahun 2025 ini,” tegas Roy.
Roy bilang, kualitas foto tersebut justru lebih menyerupai hasil cetakan teknologi modern.
“Kecuali memang PasFoto tersebut hasil Cetakan menggunakan Printer InkJet atau Laser modern dengan sistem Digital,” katanya.
Tambahnya, cetakan PasFoto tersebut sama seperti keajaiban Font Times New Roman di Skripsi sebagaimana hasil analisis sebelumnya yang melampaui jaman.
“Karena Font tersebut di Windows baru dikenal setelah tahun 1992,” kuncinya.
(Muhsin/Fajar)


