PENGAJAR Hukum Pidana STH Indonesia Jentera, Rifqi Sjarief Assegaf menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru memberikan kewenangan yang sangat besar kepada Polri sebagai penyidik utama. Menurutnya, hal itu bisa memaksa Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tunduk pada instruksi dan persetujuan penyidik Polri.
“Penghentian penyidikan oleh PPNS dan penyidik tertentu wajib melibatkan penyidik Polri. Yang lebih berbahaya lagi, PPNS hanya bisa melakukan penangkapan dan penahanan atas perintah penyidik Polri, kecuali TNI AL, KPK, Kejaksaan,” ujar Rifqi dalam sebuah diskusi di STH Indonesia Jentera yang dikutip Minggu (17/12).
Rifqi menegaskan, banyak perkara yang justru membutuhkan keahlian penyidik khusus seperti BNN, penyidik kehutanan, OJK, hingga perpajakan. Ia memperingatkan bahwa Pasal 363 KUHAP berpotensi menimbulkan konflik tafsir dan hambatan dalam pelaksanaannya.
“Pasal tersebut hanya berlaku sepanjang kewenangan pengawasan dan koordinasi Polri lebih superior dan mengikat mereka. Ini berpotensi menimbulkan problem serius dalam pelaksanaan nanti,” jelasnya.
Sementara itu, aktivis HAM Asfinawati, memandang ketentuan penyidik utama akan membentuk hubungan hirarkis antara Polri dan PPNS. Padahal, menurutnya, hubungan antara penegak hukum idealnya bersifat koordinatif, bukan vertikal.
“Konsep penyidik utama memunculkan hubungan atasan dan bawahan. Padahal dalam banyak perkara, justru instansi terkait jauh lebih memahami kasusnya. Sistem semestinya koordinasi, bukan subordinasi,” tutur Asfin.
Asfin kemudian mengutip Putusan MK Nomor 102/PUU-XVI/2018 yang menegaskan bahwa kewenangan penyidikan dapat diberikan kepada lembaga lain sepanjang tidak melanggar prinsip sistem peradilan pidana terpadu.
“Putusan MK itu untuk mencegah tumpang tindih dan menjaga HAM tersangka. Jangan sampai seseorang menjadi tersangka di Polri dan PPNS untuk kasus yang sama. Prinsipnya koordinasi, bukan dominasi,” terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Mantan Kepala PPATK juga mengkritik minimnya partisipasi publik dalam penyusunan KUHAP baru.
“Masih banyak stakeholder tidak diundang, termasuk pihak yang berkaitan langsung dengan aturan tersebut. Ini mengurangi meaningfull participation,” ujarnya.
Yunus menilai KUHAP baru juga berpotensi menciptakan diskriminasi antarpenegak hukum.
“Kasus perikanan misalnya, ada Baharkam, TNI AL, dan KKP. Kalau KKP harus melalui korwas, ini diskriminasi. Padahal perkaranya sama,” tegasnya. (Dev/P-3)




