JAKARTA, KOMPAS – Menjelang tutup tahun 2025, nilai tukar rupiah terus tertekan hingga menembus level Rp 16.700 per dollar AS. Titik ini ditengarai menjadi normal baru bagi stabilitas nilai tukar ke depan. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh ketidakpastian global serta rentannya ketahanan eksternal domestik.
Ekonom dan Guru Besar Universitas Airlangga Rahma Gafmi berpendapat, sulit bagi nilai tukar rupiah untuk kembali menguat ke level Rp 16.000 per dollar AS atau ke level di bawahnya. Kini, rupiah yang telah berada di atas Rp 16.700 per dollar AS sebagai normal baru.
“Upaya Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan pada level 4,75 persen merupakan langkah untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan mengendalikan inflasi. Namun, tekanan terhadap nilai tukar rupiah masih tinggi karena faktor-faktor eksternal dan internal,” katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (21/12/2025).
Mengutip data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), nilai tukar rupiah pada perdagangan Jumat (19/12/2025) ditutup sebesar Rp 16.735 per dollar AS. Angka ini melemah 0,22 persen setelah BI mengumumkan suku bunga acuannya pada Rabu (17/12/2025) lalu.
Menurut Rahma, terdapat beberapa faktor eksternal yang memengaruhi pergerakan rupiah tersebut, antara lain penerapan kebijakan tarif Amerika Serikat (AS), ekonomi China yang melambat, ketegangan geopolitik, serta fluktuasi harga minyak dunia.
Sementara itu, dari sisi domestik, tekanan terhadap nilai tukar rupiah juga datang dari defisit transaksi berjalan yang diperkirakan melebar. Pada triwulan III-2025, neraca transaksi berjalan masih mencatatkan surplus sebesar 4 miliar dollar AS atau 1,1 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Pemerintah harus terus memperkuat kebijakan fiskal untuk menjaga stabilitas ekonomi dan meningkatkan pertumbuhan.
Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporannya bertajuk ”World Economic Outlook” edisi April 2025 memperkirakan, neraca transaksi berjalan RI pada 2025 akan mencatatkan defisit sebesar 1,5 persen terhadap PDB dan akan melebar menjadi 1,6 persen pada 2026.
“Pemerintah harus terus memperkuat kebijakan fiskal untuk menjaga stabilitas ekonomi dan meningkatkan pertumbuhan,” ujar Rahma.
Ia menambahkan, upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan dana program prioritas, seperti makan bergizi gratis (MBG) ke proyek-proyek padat karya. Di sisi lain, investasi juga perlu terus didorong sembari memberikan insentif fiskal bagi pelaku bisnis sebagai upaya meningkatkan rasio pajak.
Ke depan, tekanan terhadap nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan berlanjut, terutama dari sisi eksternal akibat perang dagang antara AS-China yang merambah ke pasar keuangan. Di sisi lain, risiko pecahnya gelembung (bubble) di pasar saham AS pun patut untuk terus dicermati.
Sementara itu, ekonom Bright Institute, Yanuar Rizky, berpendapat, keseimbangan batas bawah nilai tukar rupiah telah bergeser dari sebelumya Rp 16.200 per dollar AS menjadi Rp 16.700 per dollar AS. Artinya, besar kemungkinan rupiah akan ditutup pada kisaran Rp 16.700 per dollar AS pada akhir 2025.
“Kalau bicara akhir tahun, menurut saya, paling di Rp 16.700 per dollar, karena di NDF (pasar valuta asing luar negeri) juga sudah relatif tenang,” katanya.
Akan tetapi, tekanan terhadap nilai tukar rupiah berisiko berlanjut bila situasi dibiarkan begitu saja. Yanuar memperkirakan, rupiah akan terdepresiasi hingga ke level Rp 17.000 per dollar AS pada periode Januari-Februari 2026.
Menurutnya, kondisi tersebut dipengaruhi oleh sentimen terhadap pengelolaan fiskal dan kebijakan pasar saham domestik. Sentimen itu pada gilirannya akan mendorong aksi jual investor asing di pasar keuangan domstik sehingga rupiah terdepresiasi.
Nilai tukar rupiah diprakirakan akan stabil didukung oleh imbal hasil yang menarik, inflasi yang rendah, dan tetap baiknya prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Berdasarkan data transaksi BI pada 15-18 Desember 2025, investor asing mencatatkan beli neto sebesar Rp 240 miliar di pasar keuangan domestik. Ini terdiri dari beli neto sebesar Rp 600 miliar di pasar saham dan Rp 260 miliar di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), serta jual neto Rp 620 miliar di pasar surat berharga negara (SBN).
Di sisi lain, sepanjang 2025 hingga 18 Desember 2025, nonresiden masih mencatatkan jual neto sebesar Rp 139,43 triliun di pasar keuangan domestik. Ini terdiri dari jual neto Rp 25,04 triliun di pasar saham, Rp 2 triliun di pasar SBN, serta Rp 112,39 triliun di SRBI.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, stabilisasi nilai tukar rupiah akan terus dilakukan seiring dengan masih tingginya ketidakpastian global. Dalam hal ini, BI akan menempuh intervensi di pasar valuta asing (valas) luar negeri (NDF), pasar domestik (DNDF), pasar spot, serta pembelian SBN di pasar pasar sekunder.
“Nilai tukar rupiah diprakirakan akan stabil didukung oleh imbal hasil yang menarik, inflasi yang rendah, dan tetap baiknya prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia,” katanya dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Desember 2025, secara daring, Rabu (17/12/2025).
Perkembangan tersebut, antara lain didukung oleh terjaganya transaksi berjalan dalam kisaran defisit 0,7 persen hingga surplus 0,1 persen terhadap PDB pada 2025. Selanjutnya, defisit diperkirakan sedikit melebar menjadi 1-0,2 persen terhadap PDB pada 2026.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti menambahkan, BI juga terus mendiversifikasi instrumen valas sebagai upaya untuk memperdalam pasar. Selain itu, upaya ini secara bertahap akan mengurangi tingkat ketergantungan terhadap mata uang asing, terutama dollar AS.




