Aroma dupa yang menyengat tiba-tiba menyeruak di antara bau asap mesin panggung dan wangi parfum penonton Soundrenaline di Bengkel Space SCBD, Jumat (19/12).
Di tengah gemuruh musik modern, Treeshome, band asal Ternate, Maluku Utara, membakar dupa di atas panggung. Ini adalah kali pertama grup musik folk-etnik itu tampil di panggung Soundrenaline Jakarta.
Pada kesempatan itu, mereka mementaskan ritual yang jarang disaksikan dalam konser musik di tengah kota metropolitan.
Asap dupa membubung, mengiringi lagu pertama mereka yang berjudul Mantra Kabata. Sementara Teguh Barakati, seorang pegiat literasi, menyuguhkan musikalisasi puisi sambil terus menaburkan dupa di atas arang agar asap tetap terjaga.
Vokalis Herman Eross berdiri di tengah panggung dengan tatapan tajam, sementara aroma mistis mulai memenuhi udara. Ini bukan sekadar gimik panggung, ini sebuah upaya membawa vibe sejarah Maluku Utara ke tengah modernitas Jakarta.
"Untuk konsep performance, selalu kami bawakan itu. Cuma kalau dupa, kami tidak berani bawa di Ternate karena terlalu mistis," ungkap Eross.
Eross dan kawan-kawan sempat mencoba melakukan ritual panggung serupa di kampung halaman. Di Ternate, kekuatan mistis dianggap masih sangat kental. Hasilnya, ada 'entitas' lain yang ikut masuk dan enggan pergi meskipun pertunjukan telah usai.
Pengalaman traumatis itu membuat mereka kapok bermain dengan ritual di tanah sendiri. Namun, di luar kota seperti Jakarta, mereka merasa lebih berani.
"Di luar kota baru ini pertama kali kita pakai dupa di atas panggung. Itu bagian dari cerita utuh satu lagu, sebuah ritual," jelas Eross.
Nuansa Budaya yang KentalBagi Eross dan kawan-kawan, lagu Mantra Kabata memang penuh dengan makna. Lagu itu bercerita tentang perjuangan salah satu revolusi Sultan Tidore saat mengusir penjajah Belanda tahun 1805 tanpa pertumpahan darah.
"Dikenal dengan Revolusi Tidore. Puisi yang dibacakan tadi adalah tentang sejarah perjalanan revolusi itu," ucap Eross.
Tak hanya Mantra Kabata, nuansa budaya kental juga terasa pada lagu kedua, Suara Tanah Rempah.
Lagu tersebut bercerita tentang keseharian masyarakat Timur yang berdampingan dengan alam, terutama mereka yang berkebun dan merayakan hasil panen dengan penuh suka cita.
"Lagu kedua menceritakan tentang kami orang Timur yang hidup berkebun. Hasil panen biasanya dirayakan. Di liriknya ada kata Ulo, itu sapaan kalau kita lagi di dalam hutan untuk mengecek apakah ada orang lain atau tidak. Kalau tidak dijawab, berarti kita sendiri di hutan," tutur Eross.
Dengan iringan dupa, para personel Treeshome ingin penonton merasa sedikit dari kepedihan dan kekuatan yang dirasakan oleh para leluhur mereka berabad-abad silam.
Filosofi tentang keterhubungan dengan alam ini yang membuat musik Treeshouse terasa sangat organik dan jujur.
Penggunaan dupa dan pembacaan mantra sukses menciptakan atmosfer yang intim sekaligus mencekam. Penonton dibuat terdiam, seolah terseret masuk ke dalam hutan Maluku atau ke dalam istana sultan yang penuh rahasia.
Treeshome membuktikan bahwa musik bisa menjadi mesin waktu, membawa ritual kuno ke depan panggung digital masa kini.



