Gaya pengasuhan anak di Indonesia terus berkembang mengikuti zaman. Namun, di balik banyaknya teori parenting modern yang berasal dari Barat, Indonesia juga memiliki kekayaan pola pengasuhan berbasis budaya lokal—atau yang kini dikenal dengan istilah etnoparenting.
Konsep ini dipaparkan oleh Deputy Director Program SEAMEO CECCEP, Widodo Suhartoyo, dalam acara 2025 International Symposium on Early Childhood Education and Development (ECED) yang digelar oleh Tanoto Foundation di Jakarta, Rabu (17/12). Ia menegaskan bahwa pengasuhan anak tidak bisa dilepaskan dari budaya, nilai masyarakat, hingga struktur sosial tempat anak tumbuh.
Keterbatasan Gaya Pengasuhan Anak ala Barat untuk Konteks IndonesiaWidodo menjelaskan, banyak teori global—seperti model parenting Barat—lahir dari budaya individualis yang menekankan kemandirian dan pencapaian personal. Sementara itu, masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai kebersamaan, gotong royong, hubungan sosial yang kuat, serta hormat pada orang tua.
Karena itu, mengadopsi teori Barat secara langsung tanpa menyesuaikan konteks budaya dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam perkembangan anak. Anak mungkin tumbuh cerdas secara kognitif, tetapi kehilangan akar identitas budaya dan karakter sosialnya.
Apa Itu Etnoparenting?Menurut Widodo, etnoparenting merupakan konsep pengasuhan anak yang berlandaskan budaya, tradisi, nilai, dan kebiasaan etnis tertentu. Nilai ini mencakup kepercayaan, bahasa, sistem sosial, hingga praktik keluarga yang diwariskan turun-temurun.
Etnoparenting tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga menjadi konsep yang mulai banyak diperbincangkan di dunia Barat. Intinya, pengasuhan anak yang ideal bukan sekadar mengikuti teori universal, tetapi juga menyesuaikannya dengan budaya tempat anak tumbuh.
Contoh Praktik Etnoparenting di IndonesiaIndonesia memiliki ribuan budaya, sehingga praktik pengasuhan pun berbeda di tiap daerah. Berikut beberapa contohnya:
1. Sunda: Ritual Nincak Bumi & Ciptarasa
Dalam budaya Sunda, ada tradisi nincak bumi—mengenalkan bayi pada tanah sebagai simbol pijakan hidup dan hubungan dengan alam. Ada pula konsep ciptarasa, yang membantu anak belajar menyeimbangkan perasaan, pikiran, dan tindakan.
2. Minangkabau: Nyanyian untuk Anak Usia Dini
Di budaya Minang, orang tua mengenalkan nilai dan bahasa melalui dendang dan lagu sejak anak usia 0–3 tahun. Praktik ini bukan hanya hiburan, tetapi metode stimulasi dini untuk bahasa, bonding, serta pembentukan memori sosial.
3. Minangkabau: Sistem Matrilineal
Budaya Minang juga mengenal sistem matrilineal, di mana garis keturunan mengikuti ibu. Nilai ini tercermin dalam kedekatan emosional yang kuat antara ibu dan anak, serta tingginya dukungan keluarga besar dalam pengasuhan sehari-hari.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa budaya berperan besar dalam membentuk cara orang tua berpikir, merawat, dan mendidik anak.
Menggabungkan Ilmu Modern dan Budaya LokalWidodo menegaskan bahwa pengasuhan anak di Indonesia sebaiknya tidak hanya terpaku pada teori Barat, tetapi juga memadukan pengetahuan ilmiah global dengan kearifan lokal yang telah lama hidup di masyarakat.
Teori global memberi fondasi ilmu perilaku anak, sementara budaya lokal memperkuat karakter, moral, dan identitas sosial. Dengan perpaduan ini, anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, berkarakter, dan bangga pada akar budaya mereka.

/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fphoto%2Fori%2F2022%2F06%2F20%2Fb47b72a2-cdea-4d2c-94ad-3e3ae7a1767d.jpeg)
