Mendengarkan Sunyi di Balik Perayaan Hari Ibu

harianfajar
4 jam lalu
Cover Berita

Oleh: Nurul Khairani Abduh
Mahasiswa Doktoral Ilmu Linguistik Unhas/Dosen UIN Palopo

Hari ibu kerap hadir sebagai ruang perayaan yang direfleksikan dalam berbagai bentuk: ungkapan terima kasih, potret kehangatan, dan pujian tentang ketangguhan seorang ibu.

Sosok ibu sering kali digambarkan sebagai sosok yang sabar, selalu memberi, dan nyaris tanpa keluh. Namun, di balik perayaan yang tampak sebegitu hangat, ada kenyataan yang jarang diajukan sebagai pertanyaan refleksi bersama: Apakah para ibu sudah sungguh-sungguh didengarkan ataukah hanya diminta terus-menerus menguatkan diri dalam sunyi?

Tahun ini, saya memaknai hari ibu secara berbeda. Ibu saya baru saja meninggal dunia secara mendadak. Kepergiannya menyisakan duka dan luka mendalam, sekaligus membuka ruang refleksi.

Seusai pemakamannya, saya menemukan buku saku miliknya. Di antara catatan kajian dan doa-doa yang ditulis dengan rapi, ada tulisan tentang perasaan sedih menyiratkan kesepian yang selama ini disimpannya sendiri.

Ibu saya menulis tentang sakit yang dirasakannya, jasmani dan rohani. Juga tentang perasaan tidak dihargai yang dia alami. Membaca tulisan itu, saya seolah kehilangan dua kali: pertama saat ibu saya pergi, kedua saat saya menyadari bahwa selama ini saya membiarkannya menjalani banyak hal seorang diri. Ibu saya selama ini tampak biasa seolah semua sedang baik-baik saja, padahal sesungguhnya dia sedang berjuang sendiri dalam diam.

Pengalaman personal ini membawa saya pada refleksi yang lebih luas. Dalam budaya kita, sosok ibu sering dimuliakan secara simbolik, tetapi kerap diabaikan kebutuhan emosionalnya. Ibu dianggap kuat, tabah, dan selalu bisa menerima keadaan.

Ketika menunjukkan lelah dan luka batin, kadang dianggap bentuk kurang bersyukur. Padahal, ibu juga manusia yang memiliki batasan, rasa lelah, dan kebutuhan dasar untuk dipahami dan diperhati.

Hidup memang melelahkan karena dunia bukan tempat beristirahat. Barangkali, ibu saya telah lama letih menghadapi kenyataan hidup yang tidak selalu ramah. Di tengah semua kenyataan rumit yang dihadapi, ibu tetap selalu berbuat baik kepada siapa pun tanpa banyak keluh.

Walau tidak jarang ibu disepelekan dan dipandang sebelah mata hanya karena keterbatasan materi. Dalam keyakinan saya, Tuhan tidak menilai manusia dari materi, kedudukan, dan status sosial yang dimiliki, melainkan dari ketakwaannya. Maka mungkin, kepulangan ibu adalah bentuk kasih sayang Tuhan, rahmat Allah SWT yang mengembalikannya ke tempat paling tenang bagi orang baik sepertinya.

Refleksi ini lebih personal membawa saya pada persoalan relasi ibu dan anak yang tidak selalu berjalan harmonis. Dalam masyarakat, nilai bakti anak kepada orang tua menjadi kewajiban moral yang mutlak tanpa boleh digugat. Tentu nilai ini penting dan perlu dijaga. Namun, akan menjadi persoalan jika bentuk bakti ini dinilai sempit.

Sementara, relasi yang rumit antara orang tua dan anak dianggap tabu untuk dibicarakan lebih terbuka. Anak yang menyuarakan luka kerap dicap durhaka, seolah tidak ada ruang untuk memahami bahwa cinta juga bisa hadir bersamaan dengan rasa sakit.

Dalam beberapa keluarga, yang terjadi bukanlah niat untuk menyakiti. Orang tua mencintai dengan cara yang mereka tahu, cara yang dibentuk oleh pengalaman hidup, tekanan ekonomi, dan pola asuh yang mereka terima sebelumnya. Di sisi lain, anak tumbuh dengan luka akibat pola asuh dan komunikasi yang keliru. Bukan karena kurangnya cinta, melainkan karena keterbatasan pengetahuan dan cara.

Ketika ruang dialog dan komunikasi menjadi canggung dan tertutup maka luka tidak hilang. Dia hanya berpindah ruang, diam-diam, dari generasi satu ke generasi berikutnya.

Di sinilah persoalan pengasuhan menjadi lintas generasi. Ibu yang tidak pernah memiliki ruang aman dan nyaman untuk mengelola emosinya membesarkan anak yang juga kesulitan mengelola emosi. Anak yang tumbuh tanpa kelembutan sering kali kesulitan menjadi lembut. Bukan karena tidak mau, tetapi karena tidak tahu caranya. Luka yang tidak disadari dan belum disembuhkan, pada akhirnya diwariskan lagi.

Di momen Hari Ibu ini, kita sering diajak memuliakan ibu, tetapi jarang mengajak kita jujur bahwa banyak ibu hidup dalam kesepian yang tidak terlihat. Bahwa banyak anak mencintai dengan cara yang tidak rapi.

Bukan karena tidak ada cinta, tetapi karena tidak ada ruang untuk saling memahami. Relasi yang kurang sehat ini membawa masing-masing terdiri terjebak dalam luka masing-masing dan tenggelam dalam diam dan sunyi tanpa pernah mampu saling memahami dan berdialog.

Di tahun ini, bagi saya, Hari Ibu bukan lagi sebuah perayaan simbolik semata. Momen ini menjadi momentum refleksi mendalam tentang peran ibu-anak yang selayaknya bukan sebagai peran yang saling menuntut, melainkan sebagai sesama manusia yang sama-sama bisa terluka dan sama-sama membutuhkan ruang aman.

Pada akhirnya, memuliakan ibu juga berarti berani mendengarkan kesunyian yang selama ini terucap pelan atau bahkan tidak sempat terucap sama sekali. (*)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pernyataan Berkelas Ramadhan Sananta Usai Cetak Gol Spektakuler di Liga Malaysia
• 12 jam laluviva.co.id
thumb
Hingga H-5 Nataru, 183.581 Orang dan 47.328 Kendaraan Tinggalkan Jawa Menuju Sumatra
• 3 jam lalujpnn.com
thumb
Atalia Praratya Soal Resmi Bercerai dengan Ridwan Kamil: Minta Doanya
• 1 jam lalucnbcindonesia.com
thumb
Kejagung Copot Pejabat Bermasalah, Tegaskan Zero Tolerance untuk Jaksa Nakal
• 3 jam laluliputan6.com
thumb
Danantara dan BRI Terjun Langsung ke Lokasi Bencana Aceh Tamiang Salurkan Bantuan dan Dukung Pemulihan Pasca Bencana
• 10 jam lalutvonenews.com
Berhasil disimpan.