Pidie Jaya: Di balik duka yang tersisa setelah banjir bandang menerjang Pidie Jaya, Aceh, cahaya kemanusiaan justru bersinar dari hati para penyintas. Saat harta benda lenyap dan kehidupan porak-poranda, penyintas tetap memegang teguh nilai luhur yang diwariskan turun-temurun: “Pemulia Jamee Adat Geutanyoe” atau memuliakan tamu sebagai jati diri orang Aceh.
Nilai itu bukan sekadar pepatah, tetapi nyata terpancar dari hati penyintas. Tim Metrotvnews.com yang mendatangi sejumlah lokasi pengungsian di Pidie Jaya disambut dengan kehangatan.
Sosok Reni, 47, salah satunya. Reni telah berada dua pekan di pengungsiang di kawasan kantor Bupati Pidie Jaya. Selama dua pekan itu, dia merawat ayahnya, meskipun akhirnya meninggal. Tapi, Reni tetap menyambut tim dengan salam dan pelukan hangat.
Penyintas banjir bandang di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Foto: Metrotvnews.com/Fajri Fatmawati
Tanpa ragu, Reni membongkar kardus berisi bantuan logistik, mengeluarkan air kemasan dan sebungkus roti yang masih tersegel, lalu menghidangkannya. “Silakan minum, makan,” ujar Reni dengan senyuman. Padahal, kondisi Reni sedang berduka dan serba kekurangan.
Baca Juga :
Rakit Terbalik, Wagub Aceh Terjatuh ke Sungai Saat Tinjau Lokasi BanjirPenyintas banjir bandang di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Foto: Metrotvnews.com/Fajri Fatmawati
Ia mempersilakan duduk, lalu memetik buah rambutan dari pohon yang selamat di halaman rumahnya. Ia pun bergegas mencari air kemasan untuk menjamu tamunya.
"Dimakan apa yang ada, kami enggak punya apa-apa cuma ini buah rambutan, silahkan," ujar Mariani.
Kejutan paling mengharukan datang dari seorang remaja berusia 14 tahun, Asyraf. Bagian dalam rumahnya kini bukan diisi perabot, tapi gelondongan kayu yang menjebol rumahnya saat banjir terjadi.
Penyintas banjir bandang di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Foto: Metrotvnews.com/Fajri Fatmawati
Asyraf segera menuju satu-satunya pohon kelapa yang masih tegak, memetik buahnya, dan menyajikan air kelapa segar kepada tim. “Ini dari pohon kami yang masih sisa, air kelapanya segar kak,” kata Asyraf.
Potret-potret kecil ini mencerminkan ketangguhan budaya Aceh yang lebih kuat dari sekadar upaya bertahan hidup. Saat materi lenyap, nilai kemanusiaan, penghormatan, dan kemurahan hati justru menjadi harta terakhir yang mereka jaga dengan bangga.
Banjir bandang boleh saja menyisakan lumpur dan kehancuran di Pidie Jaya. Namun, bencana gagal mengikis akar budaya “Pemulia Jamee” yang telah mengental dalam darah daging masyarakat Aceh.



