Inovasi sains dan teknologi tidak melulu datang dari laboratorium canggih, tetapi bisa berasal dari bengkel, bahkan ladang. Ilmu pengetahuan itu justru bertumpu pada masyarakat. Berbagai pihak pun perlu menguatkan inovasi berbasis masyarakat.
Pada Sabtu (20/12/2025) pagi, ratusan orang berkumpul di Kantor Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), Jakarta, membaca dan menyaksikan sedikitnya 100 inovasi lokal dari seluruh Indonesia. Mereka berkumpul dalam acara pameran inovasi kampus dalam rangkaian Repertoar Saintek bertajuk ”Jejak Langkah Sains dan Teknologi”, yang digelar Direktorat Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi Direktorat Jenderal Sains dan Teknologi Kemendiktisaintek berkolaborasi dengan Harian Kompas (Kompas.id).
Salah satunya Zulfitriany D Mustaka dan tim riset dari Politeknik Pertanian Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan. Ia membawa batik dan tenun khas Sulawesi Selatan yang dibuat dengan pewarna alami dengan memanfaatkan limbah pangan sebagai bahan pewarna.
Zulfitriany bersama tim melakukan penelitian yang menemukan ekstrak pewarna alam dari buah rambutan hingga sabut kelapa. Riset itu mendapatkan dukungan dana dari Berdikari, program riset Kemendiktisaintek, pada November 2024.
”Menariknya, program riset ini mengambil masalah dan solusinya dari masyarakat. Jadi, risetnya bukan berawal dari laboratorium, tetapi dari masyarakat,” ujarnya.
Zulfitriany menuturkan, selama ini warga di Sulsel telah memanfaatkan limbah pangan untuk pupuk kompos. Namun, limbah itu belum digunakan untuk pewarna alam. Padahal, beberapa daerah, seperti Kabupaten Sinjai, dikenal dengan perajin batiknya. ”Ketika mereka ingin mengikuti pameran tertentu, tidak bisa berpartisipasi karena ada syarat batiknya berbahan pewarna alam,” ujarnya.
Kini, inovasi bahan pewarna alami dan alat untuk mengeringkan kulit buah dari Zulfitriany serta tim dapat membantu sejumlah perajin batik di Sulsel. Limbah dari pengolahan kelapa atau kulit rambutan yang selama ini menumpuk dapat dikurangi. Riset terkait bahan pewarna alami itu menjadi bagian dalam pameran 137 produk inovasi dari berbagai kampus di Indonesia.
Selain batik dari limbah pangan, ada juga inovasi mesin pencacah dan mikroba dari petani di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, yang dikenal dengan nama Siponjot Bangkit, lalu ada karya pangan sorgum dari Mekarsaluyu, Jawa Barat.
Saat membuka Repertoar Saintek, Sabtu pagi, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Brian Yuliarto mengungkapkan, inovasi sains dan teknologi selalu lahir dari keterbatasan, bukan dari kelebihan. Inovasi pun seharusnya muncul dari masyarakat yang menghadapi berbagai persoalan. Inovasi membuat mereka dapat menyelesaikan masalah di sekitar.
Ia mencontohkan India yang tidak hanya berbicara tentang teknologi mutakhir, tetapi juga tentang inovasi akar rumput. ”Di sanalah mata sains menjadi tidak berjarak. Laboratorium mereka bisa berupa bengkel di pinggir jalan atau lahan petani. Dari sanalah lahir berbagai solusi atas persoalan mendasar, yaitu air, pangan, dan juga energi,” katanya.
Menurut dia, Indonesia terus mengembangkan inovasi yang bersumber dari masyarakat. Pemerintah, misalnya, menyiapkan dana Rp 2 triliun untuk riset dan pengembangan di pendidikan tinggi, termasuk untuk riset berbasis lokal. Dana itu juga berasal dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Menurut Direktur Jenderal Sains dan Teknologi Kemendiktisaintek Ahmad Najib Burhani, aneka inovasi itu tumbuh dari masyarakat dan didukung pemerintah. ”Ini menunjukkan bahwa sains dan teknologi ada di kehidupan harian masyarakat,” katanya.
Menurut dia, ekosistem sains dan teknologi dibangun dari pengetahuan lokal di masyarakat. Pengetahuan itu, termasuk yang sumbernya dari masyarakat tradisional, tidak bertentangan dengan pengetahuan yang selama ini berkembang.
Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi Ditjen Saintek Kemendiktisaintek Yudi Darma mengatakan, pemerintah terus mendorong lahirnya inovasi yang berbasis masyarakat melalui Sinergi Kreasi Masyarakat dan Akademisi untuk Kemajuan Sains dan Teknologi Nusantara (Semesta). Program ini memberikan pendanaan sekitar Rp 110 miliar kepada tim riset.
”Dananya memang ada keterbatasan. Tetapi, yang penting dilihat adalah dampak dari riset ini,” ujarnya.
Dalam program Semesta, sebanyak 223 tim yang terdiri dari 1.575 dosen dan staf lembaga pendidikan tinggi turut berpartisipasi. Sebanyak 480 komunitas hingga industri juga memanfaatkan berbagai sistem inovasi itu.
”Kita perlu menguatkan program-program yang sudah dirintis karena semuanya berbasis partisipasi publik. Lebih penting lagi mengubah cara pandang kita bahwa kelompok yang mungkin berada di bottom (bawah) secara ekonomi bisa menjadi gudangnya ilmu pengetahuan dan kreativitas,” ujar Yudi.
Meski demikian, Brian mengakui tantangan besar pengembangan inovasi berbasis lokal adalah menjadikannya produk komersial. ”Ketika membawa hasil riset menjadi produk komersial, ada death valley, lembah kematian. Begitu banyak orang bisa membuat prototipe, tetapi hanya segelintir yang bisa mengantarkan prototipe itu menjadi produk komersial. Ini yang menjadi tantangan kita,” ujarnya.
Jika prototipe hasil riset itu bisa menjadi produk komersial, lanjut Brian, dampaknya akan sangat besar. Brian mencontohkan persoalan impor garam untuk kebutuhan industri yang nilainya mencapai triliunan rupiah per tahun. Padahal, apabila ada inovasi dalam memproduksi garam dengan kuantitas tinggi dan berkelanjutan, Indonesia tidak perlu impor.
Brian optimistis inovasi sains dan teknologi dari Indonesia akan terus berkembang dan bersaing dengan negara maju. Saat ini saja, katanya, Universitas Indonesia masuk dalam 200 kampus terbaik di dunia. Salah satu indikatornya adalah riset kampus. Pihaknya juga terus membangun kolaborasi antara peneliti dari dalam dan luar negeri.
”Tentu kita masih perlu mengejar lagi. Tetapi, selain dari pemeringkatan perguruan tinggi, tentu kita juga perlu melihat dampak dari riset. Apa yang bisa kita berikan kepada masyarakat?” ungkapnya. Sebab, inovasi sains dan teknologi bisa datang dari masyarakat lokal.
Dalam acara itu hadir juga Anil Kumar Gupta, ilmuwan penasehat sejumlah Presiden India dan pendiri Honey Bee Network yang dikenal dengan keahliannya, menemukan dan mengembangkan inovasi dari akar rumput atau grassroots innovations. Jaringan global yang dibangun sejak 1980 itu telah menemukan puluhan ribu inovasi dan praktik pengetahuan lokal tradisional di India, serta mencatat ribuan ide yang bisa dikembangkan sebagai produk atau solusi berkelanjutan.
Gupta menerima penghargaan Padma Shri pada 2004, penghargaan sipil tertinggi di India, atas kontribusinya di bidang pendidikan dan inovasi. Ia dikenal sebagai Bapak grassroot innovations global.
Menurut dia, ada paradigma global yang keliru dalam melihat masyarakat yang hidup di pedalaman atau desa-desa tertinggal sebagai masyarakat miskin. Dalam piramida ekonomi, sering dikaitkan dengan Piramida Maslow, populasi terbesar dunia yang memiliki pendapatan dan aset terbatas sering kali hidup di bawah garis kemiskinan dan berposisi di bagian paling bawah piramida.
”Mereka secara ekonomi mungkin berada di bawah, tetapi secara pengetahuan mereka ada di posisi paling atas piramida. Anda (para akademisi, pemerintah, lembaga) dan kita semua hanya belum menemukannya,” ungkap Gupta.
Gupta dikenal dengan metode unik dalam menemukan dan mengembangkan pengetahuan serta inovasi lokal yang disebut shodh yatra atau jalan riset. Ia memelopori ekspedisi jalan kaki ke berbagai wilayah terpencil di India untuk belajar langsung dari masyarakat lokal, menemukan inovator yang belum dikenal, dan menghubungkan ide mereka ke peluang ekonomi, sains, dan teknologi. Tujuan pendekatan itu bukan hanya menemukan, melainkan juga memetakan potensi.
”Ada perbedaan besar antara inovasi untuk masyarakat lokal dan inovasi dari masyarakat lokal. Kita sering keliru membedakan keduanya, dan inovasi dari masyarakat lokal memang cukup sulit ditemukan dan dibangun,” ujar Gupta.
Gupta menambahkan, dalam pendekatan jalan riset, mereka berjalan kaki saat musim panas ke daerah panas dan saat musim dingin ke desa-desa yang mengalaminya. ”Saya membawa mahasiswa saya ke Himalaya dua kali. Sejauh ini, saya sendiri sudah berjalan kaki sejauh 7.000 kilometer untuk memetakan potensi inovasi akar rumput di India,” ujarnya.
Walakin, dalam menemukan inovasi akar rumput, ada tiga hal yang mesti dipetakan, yaitu kreativitas, kebutuhan masyarakat, dan sumber daya hayati. Ia menyebutkan bahwa pengetahuan lokal, di mana pun, selalu memiliki korelasi dengan alam, setidaknya bahan-bahan hayati di sekitar masyarakat yang menjadi cikal bakal usaha berbasis bioteknologi.
Gupta mengingatkan bahwa dalam berbagai perjalanan riset dan publikasinya, anggota komunitas—termasuk masyarakat adat yang ikut dalam riset—sering kali tidak dicantumkan atau bahkan tidak disebutkan namanya. ”Praktik ini harus diubah. Tidak boleh ada makalah yang diterbitkan tentang pengetahuan berbasis komunitas tanpa mengakui komunitas tersebut, dan kita harus membagi temuan-temuan itu kepada komunitas dengan bahasa lokal mereka,” katanya.
Iwan Pranoto, Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (ITB) yang juga mantan Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar RI New Delhi, mengungkapkan, Indonesia tidak kekurangan sumber daya, baik alam maupun manusia. Indonesia bahkan bisa menjadi pusat ilmu pengetahuan lokal dunia. Namun, Indonesia memerlukan lebih banyak sosok, seperti Gupta yang menghabiskan setengah gajinya sebagai akademisi untuk mengembangkan laboratoriumnya sendiri bagi komunitas di India.
”Ada satu hal yang perlu dicermati. Di media sosial kita sering kali melihat inovasi yang muncul dari perdesaan, pedalaman, atau orang-orang nonakademik, tetapi apa reaksi kita? Sambil lalu saja. Kesadaran inilah yang harus dikuatkan ke semua pihak, termasuk pemerintah,” ujarnya.
Menurut Iwan, inovasi utamanya berasal dari pengetahuan lokal yang dipelihara dan dijaga oleh komunitas-komunitas lokal, seperti petani dan nelayan. Sayangnya, dorongan untuk menyelesaikan masalah hingga menjadi inovasi belum cukup kuat.
”Inovasi itu perlu rasa menemukan masalah dan rasa mampu menyelesaikan masalah tersebut, lalu harus ada kepekaan untuk tidak meremehkan temuan orang,” tuturnya.





