Bencana besar selalu menjadi ujian paling jujur bagi sebuah negara. Ia menyingkap kapasitas riil institusi, kualitas kepemimpinan, serta keberanian pengambil kebijakan dalam menghadapi ketidakpastian ekstrem. Dalam situasi seperti ini, tidak ada retorika yang mampu menggantikan logistik yang terlambat, dan tidak ada simbol kedaulatan yang dapat menutupi kegagapan koordinasi.
Tsunami Aceh 2004 merupakan ujian terbesar Indonesia dalam sejarah modern. Skala kehancurannya luar biasa: ratusan ribu korban jiwa, infrastruktur hancur total, dan pemerintahan daerah praktis lumpuh hanya dalam hitungan jam. Pemerintah dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa kapasitas normal sama sekali tidak relevan ketika bencana berskala luar biasa terjadi.
Dalam situasi inilah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla mengambil keputusan krusial yang menentukan arah penanganan krisis: bersikap pragmatis sejak hari pertama. Pemerintah menyadari bahwa bencana sebesar ini tidak mungkin ditangani dengan sumber daya domestik semata. Prioritasnya jelas—menyelamatkan nyawa, meminimalkan kerusakan sosial-ekonomi, dan memulai pemulihan secepat mungkin.
Pragmatisme ini diwujudkan melalui langkah yang secara politik tidak mudah: membuka Indonesia secara luas terhadap bantuan internasional. Negara sahabat, lembaga multilateral, organisasi kemanusiaan, dan LSM internasional diterima tanpa pretensi berlebihan tentang kemandirian nasional. Keputusan ini bukan tanda kelemahan negara, melainkan pengakuan jujur atas keterbatasan kapasitas dan komitmen untuk bertindak cepat demi melindungi warga.
Skala bantuan internasional mencerminkan besarnya kepercayaan global terhadap pendekatan ini. Total bantuan asing untuk Aceh kurang lebih mencapai US$7,7 miliar— bahkan melampaui nilai kerusakan langsung akibat tsunami. Kekhawatiran sempat muncul: apakah bantuan akan datang cukup cepat, dan apakah Aceh mampu menyerap dana sebesar itu tanpa menciptakan distorsi kelembagaan dan ekonomi baru.
Di sinilah keputusan penting berikutnya diambil. Pemerintah tidak berhenti pada penerimaan bantuan, tetapi segera membangun arsitektur kelembagaan yang kuat dan berbatas waktu jelas. Pembentukan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) pada April 2005 menjadi titik balik. BRR diberi mandat lintas sektor, kewenangan koordinasi yang kuat, serta tenggat waktu yang tegas.
Peran BRR krusial dalam mengurangi fragmentasi bantuan, mencegah kekacauan distribusi, dan memastikan bahwa proyek-proyek donor selaras dengan kebutuhan lapangan. Lebih dari itu, BRR juga memainkan peran strategis dalam proses perdamaian Aceh dengan melibatkan mantan kombatan dalam rekonstruksi—sebuah kebijakan yang mungkin tidak sepenuhnya “rapi” secara administratif, tetapi terbukti efektif secara sosial dan politik.
Untuk memperkuat koordinasi global, pemerintah bersama komunitas internasional membentuk Multi Donor Fund for Aceh and Nias (MDF) pada Mei 2005. Melalui mekanisme ini, sekitar tiga perempat dana bantuan dikelola secara terkoordinasi dan disalurkan secara bertahap: mulai dari fase darurat dan perlindungan sosial, rekonstruksi infrastruktur dan kelembagaan, hingga pemulihan ekonomi dan transisi pascarekonstruksi.
Satu aspek penting yang kerap luput dari perhatian publik adalah desain waktu BRR yang sangat ketat. Mandatnya berakhir pada April 2009. Tenggat ini bukan kebetulan, melainkan keputusan sadar untuk memastikan transisi yang bersih, mencegah ketergantungan pada birokrasi darurat, dan mengembalikan fungsi normal pemerintahan. Ada awal, ada proses, dan ada akhir yang jelas.
Yang tidak kalah penting, pengalaman Aceh tidak berhenti sebagai peristiwa tunggal. Pemerintahan Yudhoyono-Kalla benar-benar belajar secara institusional. Pembelajaran ini terlihat jelas dalam penanganan bencana besar berikutnya, seperti gempa bumi di Yogyakarta dan erupsi Merapi. Respons pemerintah menjadi lebih rapi, koordinasi antarlembaga membaik, dan proses pemulihan serta rekonstruksi berjalan relatif cepat dan terarah. Negara tidak lagi gagap; ada prosedur, ada pembagian peran, dan ada kesinambungan antara tanggap darurat dan rekonstruksi.
Pragmatisme dalam penanganan tsunami Aceh tidak terlepas dari peran Jusuf Kalla. Beliau memahami dengan sangat baik bahwa penanganan bencana terdiri atas tiga tahap yang berbeda: tahap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Masing-masing tahap memiliki kompleksitas, kebutuhan tata kelola, serta pola komunikasi dengan korban yang berbeda. Sebagai pengambil keputusan yang memahami keterbatasan anggaran dan tingginya ketidakpastian kebutuhan, Jusuf Kalla menghindari janji-janji muluk kepada pengungsi yang emosinya masih labil. Kekhawatirannya sederhana: janji yang tidak dapat dipenuhi justru akan memperdalam krisis kepercayaan di kemudian hari.
Peran sentral Wakil Presiden Jusuf Kalla kembali terlihat dalam penanganan bencana Palu. Bencana ini terjadi pada saat yang sangat sensitif, bertepatan dengan Annual Meeting IMF– World Bank di Bali. Namun alih-alih menutup diri atau menunda pengakuan atas skala bencana demi menjaga citra, pemerintah memilih bersikap terbuka dan fokus pada penanganan krisis. Koordinasi nasional dipercepat, jalur bantuan dibuka, dan pesan kepada dunia internasional jelas: Indonesia menghadapi bencana dengan serius dan bertanggung jawab.
Dari rangkaian pengalaman ini, satu pelajaran penting seharusnya tidak lagi diperdebatkan: tidak ada alasan untuk merasa malu meminta bantuan ketika kapasitas domestik tidak mencukupi. Dalam bencana besar, keterbukaan terhadap dukungan internasional bukan tanda kelemahan negara, melainkan strategi rasional untuk mempercepat pemulihan dan menekan biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat. Menunda bantuan demi gengsi justru memperpanjang penderitaan dan memperbesar kerusakan ekonomi.
Di sinilah kontras dengan pendekatan hari ini menjadi jelas. Dua dekade setelah tsunami, Indonesia justru terlihat kehilangan kebiasaan baik tersebut. Persoalan utamanya bukan semata soal kecepatan atau niat baik, melainkan kegagalan mengalibrasi kapasitas negara secara realistis sejak awal. Alih-alih memulai dari pengakuan jujur atas keterbatasan fiskal, kelembagaan, dan logistik, respons kebijakan terlalu sering dibangun di atas retorika kekuatan dan kontrol.
Pola ini mengingatkan kita pada fase awal pandemi Covid-19. Saat ancaman mulai menyebar secara global, respons awal ditandai oleh penyangkalan implisit terhadap skala risiko—keyakinan bahwa Indonesia “berbeda” atau “lebih kebal”. Waktu berharga terbuang sebelum pendekatan kebijakan dikoreksi. Ketika koreksi akhirnya dilakukan, biayanya sudah terlanjur besar, baik dalam korban jiwa maupun kerusakan ekonomi.
Gejala serupa tampak dalam penanganan bencana hari ini. Kebijakan sering kali dirancang untuk menenangkan publik secara simbolik, bukan untuk mengorganisasi respons berbasis skenario terburuk. Retorika ketegasan menggantikan evaluasi kapasitas; instruksi menggantikan koordinasi; optimisme politis menggantikan penggunaan data risiko sebagai fondasi kebijakan.
Dalam konteks pemerintahan Prabowo, kecenderungan ini semakin nyata. Banyak respons krisis tampak cepat dan tegas di permukaan, tetapi tidak ditopang oleh desain kelembagaan, pembagian peran, dan peta jalan pemulihan yang jelas. Negara bergerak dalam mode darurat, tetapi tanpa strategi keluar. Akibatnya, fase tanggap darurat sering tidak tersambung dengan pemulihan sosial-ekonomi yang terstruktur.
Pengalaman tsunami Aceh—dan pembelajaran yang berlanjut di Yogyakarta, Merapi, hingga Palu—menunjukkan pendekatan yang berlawanan. Pemerintah saat itu tidak berpura-pura memiliki kapasitas penuh. Negara mengakui keterbatasannya, menutup celah melalui kerja sama internasional, membangun institusi khusus, dan menetapkan tenggat waktu yang tegas. Pragmatisme yang cerdas ini bukan improvisasi, melainkan bentuk kepemimpinan krisis yang sadar akan batas dan risiko.
Indonesia pernah berhasil. Kita tahu caranya. Tantangan hari ini bukan pada kemampuan teknis, melainkan pada kemauan politik untuk kembali bersikap realistis—mengakui batas, membuka diri, dan membangun sistem. Dalam dunia yang semakin rawan bencana, sejarah tidak menuntut kesempurnaan. Ia hanya menuntut satu hal sederhana: jangan mengulangi kesalahan yang sudah pernah kita pahami—dan pernah kita perbaiki.



/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fimages%2F2025%2F02%2F28%2F2f5adcd6fc0b086cea7d3d52b48dd20d-69c9b2b7_ece3_4d40_9dcf_64fb080fe8b0_jpg.jpg)
