Orang Indonesia Susah Piknik 

kompas.id
11 jam lalu
Cover Berita

Daya beli warga yang tertekan setahun terakhir ini tecermin dalam keputusan warga untuk berlibur di akhir tahun. Mereka memilih tidak berlibur untuk menghemat anggaran keuangan keluarga. Bagi yang tetap berlibur, pilihannya berlibur di dalam kota dan mengurangi budget liburan.

Fakta ini diperoleh dari survei jajak pendapat Kompas periode 10-13 November 2025. Hampir 40 persen warga dari 503 responden mengatakan tidak berlibur akhir tahun ini.

Alasan yang menonjol, hampir 50 persen responden menyebut masalah keuangan atau biaya liburan yang mahal. Selain itu, 23 persen tidak berlibur karena khawatir terjadi kemacetan lalu lintas pada akhir tahun dan 20 persen menyitir alasan pekerjaan. Sisanya, sekitar 2,4 persen karena sakit dan 2,8 persen ada acara keluarga.

Ada kecenderungan, semakin rendah kelas ekonominya, proporsi warga yang tidak berlibur semakin besar. Mayoritas (71 persen) warga kelas bawah menyatakan tidak berlibur. Hanya 24 persen warga kelas atas yang mengungkapkan tidak liburan.

Zharah (30), pengasuh bayi di Tanah Abang, Jakarta Pusat, akhir tahun ini tidak merencanakan liburan. Ia selektif menggunakan penghasilan keluarga hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. ”Sayang duitnya. Apalagi, kondisi ekonomi sekarang kayak gini. Lebih baik untuk keperluan sekolah anak-anak dan tabungan,” tutur ibu dua anak ini.

Penghasilan Zharah sebagai pengasuh bayi sekitar Rp 1,7 juta per bulan. Penghasilan suaminya sebagai sopir angkot juga tidak besar dan nilainya tidak tetap setiap bulan, sekitar Rp 60.000 atau Rp 70.000 per hari.

Sebagai pengganti liburan, suami Zharah sering mengajak dua anaknya bekerja saat akhir pekan. ”Anak-anak ikut ayahnya narik angkot, sambil keliling cari angin,” kata Zharah, Selasa (2/12/2025).

Sayang duitnya. Apalagi, kondisi ekonomi sekarang kayak gini. Lebih baik untuk keperluan sekolah anak-anak dan tabungan.

Kondisi ekonomi

Selama 15 tahun terakhir ini, pertumbuhan rata-rata gaji warga Indonesia cenderung melambat. Sejalan dengan itu, daya beli warga tertekan, yang ditunjukkan dengan menurunnya pengeluaran warga.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2010, pertumbuhan rata-rata gaji warga sebesar 6,7 persen per tahun. Namun, pada 2024, pertumbuhan gaji hanya menyentuh 2,8 persen per tahun. 

Sementara pada tahun 2010-2014, pengeluaran masih tumbuh 12,6 persen. Kemudian, lima tahun terakhir melambat 5,2 persen.

Analisis Tim Jurnalisme Data Kompas menunjukkan, ada beberapa pengeluaran bukan makanan warga yang nilainya berkurang. Salah satunya, pembelian aneka barang dan jasa, termasuk di dalamnya jasa hiburan, transportasi, dan akomodasi. Pengeluaran komponen ini semula tahun 2015, proporsinya 25,1 persen. Kemudian tahun 2024, turun menjadi 24,1 persen.

Susan (47), karyawan swasta di Jakarta Barat, tahun ini menghemat pengeluarannya untuk liburan. Sudah dua tahun ini anak semata wayangnya sakit yang membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit.

”Awalnya mau liburan ke Bali akhir tahun ini. Tapi tahan dululah. Ini masih bolak-balik bawa anak ke rumah sakit terus,” ujar Susan, Jumat (28/11/2025).

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, karena berwisata bukan dianggap kebutuhan utama, saat terjadi penurunan daya beli masyarakat, sektor pariwisata terdampak.

”Pengeluaran wisata masyarakat semakin kecil, bahkan mungkin tidak ada. Akhirnya mereka hanya melakukan perjalanan jarak dekat dalam kota untuk kulineran atau melihat atraksi wisata dalam kota,” ujarnya, Jumat (21/11/2025).

Mengurangi budget

Biaya wisata masyarakat pun cukup irit pada libur akhir tahun ini. Mayoritas responden (36 persen) liburan dengan porsi biaya kurang dari Rp 1 juta dan 36,6 persen dengan biaya Rp 1 juta-Rp 3 juta.

Bagaimana supaya warga bisa tetap berlibur? Mengurangi budget liburan adalah salah satu solusinya. Hampir 70 persen responden menyebut mengecilkan biaya liburan.

Dari 70 persen responden, sebanyak 18,8 persen mengurangi budget paket wisata atau jasa rekreasi. Kemudian 14,4 persen memotong anggaran untuk cendera mata; 11,4 persen memangkas anggaran akomodasi; dan 7,9 persen mengurangi dana transportasi.

Florentius (49), warga Bekasi, Jawa Barat, sejak lima tahun terakhir menggemari wisata berkemah. Ia dan keluarga rutin berkemah bersama setiap libur panjang.

Selain berhemat, ia menginginkan suasana yang berbeda dibandingkan jika hanya menginap di hotel. ”Kalau di hotel, kan, suasanya gitu-gitu aja. Kalau berkemah, suasananya beda. Apalagi, kita selalu berpindah lokasi kemah. Kadang di Megamendung, Bogor, Jawa Barat, kadang juga sampai di Ciater, Subang,” kata bapak dua anak itu.

Menurut Floren, tarif menyewa lokasi kemah satu lokasi rata-rata Rp 300.000 per hari. Dari satu lokasi tersebut, bisa didirikan kemah yang muat untuk Floren, istri, dan dua anaknya. Bandingkan jika ia menginap di hotel, harga per kamar mungkin sama, tetapi ia harus mengeluarkan Rp 600.000 untuk dua kamar selama dua hari satu malam.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kisah Seorang Psikolog yang Punya Klien dengan Masalah Capek Menjadi WNI Ini Pesan yang Disampaikan
• 4 jam laluparagram.id
thumb
Kisah Warga Aceh Tamiang Membangun Huntara Diantara Puing Rumahnya yang Hilang Tersapu Banjir
• 18 jam lalurepublika.co.id
thumb
Tok! Bobby Sahkan UMP Sumut 2026 Sebesar Rp3,2 Juta, Naik 7,9%
• 8 jam lalubisnis.com
thumb
Persis Solo Terpuruk, Milomir Seslija Dihantui Rekor Merah usai Dibantai Dewa United
• 18 jam lalubola.com
thumb
Sikap Presiden Prabowo Ingin Tunjukkan Negara Kuat dengan Wibawa dan Otoritas Institusinya
• 22 jam laluwartaekonomi.co.id
Berhasil disimpan.