Selama ini, kearifan lokal sering kali terpinggirkan dan belum diakui sebagai bagian penting dalam khazanah ilmu pengetahuan formal. Relasi kuasa yang timpang antara kaum saintis dan masyarakat pelestari kearifan lokal turut menjadi pemicunya. Untuk memecah kebuntuan tersebut, kolaborasi erat antara ilmuwan dan masyarakat mutlak diperlukan guna mengintegrasikan pengetahuan berbasis pengalaman dan kearifan lokal ke dalam kebijakan publik.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertema ”Menelusuri Lokal Genius: Kearifan Lokal yang Membentuk Sains” pada Sabtu (20/12/2025) di Jakarta. Acara ini bagian dari ”Repertoar Jejak Langkah Sains dan Teknologi” yang diselenggarakan oleh Direktorat Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi (Minat Saintek) Direktorat Jenderal Sains dan Teknologi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, berkolaborasi dengan Harian Kompas (Kompas.id).
Guru Besar Bidan Kajian Gender dan Budaya Universitas Negeri Malang Evi Eliyanah; Ahli Sejarah Monash University, Melbourne, Luthfi Adam; serta Asisten Profesor Departemen Teknik Kimia dan Lingkungan University of Nottingham, Inggris, Bagus P Muljadi menjadi narasumber diskusi. Ketiganya sepakat, kearifan lokal merupakan wujud kejeniusan masyarakat akar rumput yang menginspirasi banyak penelitian sains dan menghasilkan penemuan bermanfaat bagi dunia.
Evi mengatakan, kearifan lokal (local genius) sering kali hanya dicap sebagai ”prasains” atau sekadar informasi mentah. Pengetahuan tersebut baru dianggap sebagai ilmu jika sudah diolah dan divalidasi oleh saintis.
Pengetahuan sebelum dituliskan dan dipublikasikan, lanjut Evi, kerap dianggap belum ditemukan, padahal sudah dipraktikkan masyarakat secara turun-temurun. Masyarakat yang tidak menuliskan pengetahuannya akhirnya terpinggirkan dari pengetahuan yang hidup di antara mereka. Padahal, kearifan lokal sejatinya lahir sebagai solusi nyata atas persoalan hidup yang mereka hadapi secara turun-temurun.
Evi mencontohkan penamaan bunga raksasa Rafflesia arnoldii. Meski masyarakat adat Bengkulu sudah lama mengenalnya, identitas bunga tersebut justru disematkan kepada Thomas Stamford Raffles, selaku pemimpin ekspedisi, dan Joseph Arnold sebagai penemu bunga.
”Masih ada relasi yang timpang antara saintis dan masyarakat lokal sehingga kearifan lokal cenderung belum dianggap sebagai pengetahuan. Oleh karena itu, akademisi perlu mempertanyakan ulang sejauh mana relasi kekuasaan dengan subyek atau partisipan dalam melakukan riset,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Bagus. Menurut dia, sains hanya salah satu dari sekian banyak cara pandang untuk melihat sesuatu yang bisa diindrai. Pengetahuan bukan hanya didapatkan dari laboratorium, tetapi juga cara pandang. Pengetahuan yang sudah dikumpulkan turun-temurun oleh berbagai macam kebudayaan di Indonesia dinilai merupakan pengetahuan yang berharga.
Ilmu pengetahuan modern berkembang di dunia dalam 200-300 tahun terakhir. Adapun pada masa lalu, masyarakat lokal sudah memiliki cara pandang untuk mengatasi masalah dan hidup berdampingan dengan alam dan lingkungan telah membentuk pengetahuan sehari-hari.
Ia mencontohkan cara pengobatan tradisional berbasis herbal dan teknik masyarakat lokal membangun hunian tahan gempa, meskipun belum disebut sebagai sains. Kearifan lokal juga memiliki relasi kuat dalam menjaga air, hutan, dan gunung sebagai sumber berkah sekaligus bencana.
”Tidak semua hal untuk dipandang sebagai kebenaran harus dibuktikan lewat sains. Kearifan lokal yang menyebar di masyarakat turun-temurun merupakan pengetahuan berharga,” katanya.
Luthfi menuturkan, pengetahuan dan kearifan lokal yang berkembang di masyarakat selalu berawal dari pengalaman hidup atas masalah spesifik di suatu wilayah dan cara beradaptasi terhadap persoalan. Wujud kearifan lokal dalam menghadapi masalah itu membutuhkan proses panjang.
”Kata kuncinya adalah eksperiensial (berbasis pengalaman). Masyarakat menyelesaikan masalah tidak perlu membuat karya tulis ilmiah dulu, karena yang terpenting adalah cara mengatasi masalah dan persoalan teratasi,” ujarnya.
Menurut Luthfi, sains dan teknologi kerap berangkat dari informasi dan masukan masyarakat lokal yang bekerja sama dengan para ilmuwan. Namun, peran masyarakat lokal tidak muncul ke permukaan.
Peneliti di Indonesia perlu lebih mendengarkan pengetahuan yang berbasis kearifan lokal dan berkolaborasi dengan masyarakat. Ilmuwan harus berperan menerjemahkan pengetahuan eksperiensial yang menyebar dan turun-temurun di masyarakat untuk diintegrasikan ke dalam kebijakan.
Ia mencontohkan bencana alam yang terjadi di Sumatera. Masyarakat lokal dinilai punya pengetahuan eksperiensial untuk mengatasi masalah bencana. Pengetahuan dan kearifan lokal mereka dalam mengatasi permasalahan perlu diintegrasikan ke dalam kebijakan penanganan bencana.
”Ilmuwan harus punya kerendahan hati untuk mendengarkan, belajar dari masyarakat. Perlu ada reorientasi,” ucap Luthfi.
Menurut Evi, diperlukan kolaborasi ilmuwan dan masyarakat dalam memproduksi pengetahuan. Cara pandang terhadap masyarakat tidak hanya sekadar sebagai mitra dan sumber informasi. Ilmuwan membutuhkan masyarakat sehingga harus bersama dengan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan upaya merekognisi peran substansial pengetahuan dari masyarakat yang telah melakukan praktik pengetahuan.
Sebagai contoh dalam industri jamu, ibu-ibu memegang peran yang sangat krusial. Namun, ketika pengetahuan tersebut dibawa ke laboratorium dan dipublikasikan, kontribusi ibu-ibu dan masyarakat sering kali terlupakan. ”Kita perlu membangun sistem yang merekognisi kekayaan intelektual masyarakat,” ujarnya.
Bagus menyatakan, pemerintah harus menyediakan lingkungan yang memberikan insentif untuk kolaborasi. Metrik-metrik yang mengacu ke angka, seperti rujukan dan prestise dari jurnal ilmiah dinilai baik, tetapi bukan satu-satunya tolok ukur. Kolaborasi dengan masyarakat setempat perlu menjadi parameter kinerja para peneliti di Indonesia sehingga ada keinginan peneliti untuk mendengarkan masyarakat.
Insentif perlu disediakan untuk kerja sama antarpeneliti, serta antara peneliti dengan pemangku kepentingan yang lebih luas, termasuk masyarakat lokal. Dengan demikian, ada upaya sistematis untuk melindungi hak kekayaan intelektual kolektif. Dicontohkan, program Bestari yang digulirkan DIrektorat Minat Saintek menginsentifkan kolaborasi antara saintis dan masyarakat.
”Inisiatif ini harus datang dari pemerintah. Kami (saintis) tidak merasa ada insentifnya untuk bekerja sama, berkolaborasi, co-create dengan masyarakat. Oleh karena itu, harus dibangun sistem,” kata Bagus.
Di acara yang sama, Direktur Minat Saintek Direktorat Jenderal Sains dan Teknologi Kemendikti Saintek Yudi Darma, mengemukakan, kekayaan potensi lokal, kearifan lokal, serta teknologi tepat guna di Indonesia dapat menjadi jembatan menuju penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih modern. Hal ini sekaligus menjadi fondasi bahwa inovasi tidak selamanya harus lahir dari sesuatu yang mahal, rumit, maupun canggih.
Kreativitas dan ilmu pengetahuan justru sering kali muncul dari lingkungan dengan keterbatasan ekonomi dan sosial. Meski sains kerap diidentikkan dengan kalangan mapan, masyarakat yang berada di lapisan bawah dengan segala keterbatasannya terbukti mampu menciptakan terobosan kreatif serta menjadi sumber-sumber ilmu baru.
”Melalui kearifan lokal dan potensi daerah, kita mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat serta berdampak luas bagi masyarakat,” ujar Yudi.

/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fimages%2F2025%2F12%2F21%2F56c95619896989ecfc7274c6b60b22f9-WhatsApp_Image_2025_12_21_at_18.13.42.jpeg)

