Banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akhir November lalu kembali menunjukkan bahwa kondisi lingkungan kita semakin rentan. Peristiwa itu menelan ratusan korban jiwa, membuat ribuan keluarga mengungsi, dan merusak banyak permukiman. Jika melihat data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) lima tahun terakhir, kejadian seperti ini tidak lagi bersifat sporadis. Sejak 2021 hingga 2025, jumlah banjir tercatat tetap tinggi yaitu antara 1.255 hingga 1.794 kasus per tahun. Pola ini memperlihatkan bahwa kemampuan alam untuk menahan tekanan semakin menurun, dan bahwa kerentanan ekologis kini menjadi bagian dari realitas yang kita hadapi sehari-hari.
Situasi tersebut berkaitan langsung dengan perubahan dalam cara kita memanfaatkan ruang hidup. Ekspansi perkebunan, pertambangan, kawasan industri, dan permukiman terus mendorong hutan dan lahan resapan air bergeser dari fungsi ekologisnya. Pada saat yang sama, konsumsi energi dan kebutuhan barang sehari-hari meningkat pesat, memacu industri bekerja lebih intensif dan memperbesar tekanan terhadap lingkungan. Dalam kondisi seperti ini, banjir atau bencana lain tidak terjadi begitu saja. Bencana muncul sebagai hasil dari tindakan yang kita lakukan pada ekosistem yang selama ini menjadi pelindung alami masyarakat.
Reproduksi Kerentanan EkologisPada 2020, dari data Global Forest Watch (GFW, 2025), Indonesia memiliki sekitar 94 juta hektare hutan alam. Namun kapasitas ekologis yang besar tersebut mengalami tekanan struktural yang semakin intensif. Pada 2024, data dari Kementerian Kehutanan menunjukkan laju deforestasi netto di Indonesia tercatat 175,4 ribu hektare atau hampir tiga kali luas Jakarta. Luasan tersebut akan semakin tinggi jika kita menggunakan data dari GFW yang menyebutkan pada 2024 laju deforestasi di Indonesia menyentuh angka 260 ribu hektare. Angka-angka ini menandai dinamika pemanfaatan ruang yang semakin agresif. Deforestasi dalam skala tersebut mencerminkan percepatan perubahan lanskap ekologis di wilayah-wilayah yang menjadi pusat aktivitas industri ekstraktif dan ekspansi lahan.
Perubahan cepat pada struktur bentang alam tidak dapat dilepaskan dari model pembangunan ekstraktif. Dalam kerangka ini, ruang hidup diperlakukan sebagai aset yang harus dioptimalkan nilai tukarnya melalui konversi lahan untuk kepentingan perkebunan monokultur, pertambangan, kawasan industri, dan permukiman. Transformasi tersebut menghasilkan degradasi pada daya tahan ekosistem. Ketika tutupan hutan berkurang secara drastis, kapasitas alam untuk menyerap curah hujan tinggi melemah, sehingga meningkatkan risiko banjir dan longsor.
Sementara itu, model produksi dan konsumsi kontemporer turut menjadi faktor yang memperkuat tekanan terhadap bentang alam. Kenaikan permintaan terhadap komoditas global seperti minyak sawit, kayu, mineral, hingga energi fosil telah memicu pembukaan lahan dalam skala besar yang sulit dikendalikan. Konsumsi energi domestik yang intensif, terutama dari sektor transportasi dan kebutuhan listrik, menghasilkan emisi dan tekanan karbon yang memperburuk dinamika cuaca ekstrem. Pola ini membentuk siklus negatif, di mana konsumsi mempercepat produksi, produksi mempercepat ekspansi lahan, dan ekspansi lahan memperlemah kapasitas ekologi.
Konsekuensi ekologis dari model pembangunan yang ekspansif tidak hanya tercermin pada degradasi bentang alam, tetapi juga pada akumulasi biaya sosial-ekologis yang tidak pernah masuk dalam hitungan ekonomi formal. Selama ini, indikator pembangunan cenderung mengabaikan kerusakan ekologis. Padahal, bencana hidrometeorologi menimbulkan kerugian yang massif. Dalam perspektif ekonomi-politik lingkungan, bencana-bencana ini merupakan bentuk eksternal yang sepenuhnya dialihkan kepada masyarakat, sementara keuntungan dari ekspansi ruang dan ekstraksi sumber daya tetap terkonsentrasi pada aktor-aktor yang menikmati akumulasi kapital.
Selain kerugian material, terdapat pula biaya ekologis yang lebih sulit diukur secara konvensional tetapi sangat signifikan. Hilangnya ratusan ribu hektare hutan alam pada 2024, misalnya, tidak hanya berarti penyusutan tutupan vegetasi, tetapi juga hilangnya layanan ekosistem seperti pengaturan air, penyerapan karbon, dan penopang biodiversitas. Ketika hutan kehilangan kapasitasnya, banjir atau bencana lain yang terjadi pada tahun-tahun berikutnya bersifat kumulatif, karena kerusakan ekologis memperkuat dampak setiap kejadian bencana. Dengan demikian, bencana bukanlah peristiwa tunggal, tetapi efek berantai dari penurunan fungsi ekosistem yang sebelumnya berlangsung tanpa terlihat.
Dalam kerangka ini, bencana dapat dipahami sebagai biaya laten dari pembangunan yang mengejar pertumbuhan melalui ekspansi ruang. Ketika biaya tersebut tidak dihitung, negara secara tidak langsung mendorong model pembangunan yang secara sistematis menghasilkan kerusakan ekologis. Ketiadaan mekanisme yang menghitung biaya kerusakan lingkungan, membuat model pembangunan terus mengulangi pola lama yang berujung pada kerentanan ekologis. Sehingga, diperlukan adanya pergeseran paradigma pembangunan yang lebih menitikberatkan pada aspek keberlanjutan.
Ketimpangan RisikoDistribusi risiko ekologis di Indonesia menunjukkan pola ketimpangan yang sistematis. Beban terbesar justru ditanggung oleh kelompok yang secara historis memiliki akses terbatas terhadap ruang aman dan infrastruktur adaptif. Ketimpangan ini bukanlah fenomena yang muncul secara tiba-tiba, tetapi merupakan produk dari cara ruang diproduksi. Transformasi struktur lahan akibat ekspansi industri dan urbanisasi mempersempit ruang hidup kelompok rentan, mengunci mereka dalam kondisi yang membuat risiko bencana tidak hanya lebih tinggi, tetapi juga lebih sulit dihindari.
Kerentanan yang tidak merata ini menunjukkan bahwa bencana bukan semata persoalan ekologis, tetapi juga persoalan keadilan sosial. Seperti diuraikan Joan Martínez Alier (2023), ekonom dari Spanyol, yang menegaskan bahwa kerusakan lingkungan tidak pernah dialami secara setara. Beban ekologis cenderung jatuh kepada kelompok yang memiliki posisi sosial dan ekonomi paling lemah. Selama struktur produksi ruang dan distribusi layanan dasar tetap timpang, risiko bencana akan terus terakumulasi di wilayah yang dihuni oleh masyarakat dengan akses terbatas terhadap perlindungan ekologis. Ketiadaan mekanisme yang memastikan bahwa aktor ekonomi besar ikut menanggung biaya kerusakan lingkungan hanya memperkuat asymmetries of responsibility yang telah lama berlangsung.
Maka, mengakui bahwa bencana adalah konsekuensi struktural dari model pembangunan yang timpang akan membuka ruang untuk memikirkan ulang hubungan antara ekonomi, ruang, dan ekologi. Tantangan ke depan adalah bagaimana kita membangun model pembangunan yang mampu menginternalisasi biaya ekologis dan mengurangi ketergantungan pada ekspansi ruang. Dalam konteks tersebut, penataan ulang arah pembangunan akhirnya menjadi prasyarat untuk memastikan bahwa kapasitas ekologis Indonesia tetap mampu menopang kehidupan dan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.



