Pemugaran sejumlah situs di Kawasan Cagar Budaya Nasional (KCBN) Muarajambi tak cuma merekonstruksi struktur candi yang terkubur selama berabad-abad. Pemugaran sekaligus menggali berbagai kearifan peradaban yang dibangun sekitar abad ke-6 hingga ke-13 Masehi itu.
Air berwarna kecokelatan menggenangi parit yang mengelilingi Candi Parit Duku di KCBN Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, Kamis (18/12/2025). Parit itu menjadi salah satu “buah” kearifan leluhur dalam memitigasi banjir. Kearifan yang sangat diperlukan mengingat situs percandian ini dibangun di kawasan hutan dan rawa yang rawan banjir.
Lebih dari 20 struktur candi berbahan bata merah berdiri gagah di tengahnya. Permukaan kompleks candi berukuran 80 x 80 meter tersebut lebih tinggi ketimbang daratan di sekitarnya. Hal ini mengindikasikan adanya jejak penimbunan di sana.
Koordinator Pemugaran Candi Parit Duku, Mubarak Andi Pampang, mengatakan, semula hanya terlihat enam gundukan tanah atau menapo di kompleks itu. Namun, setelah diekskavasi, ditemukan 23 bangunan atau struktur bata dengan berbagai ukuran.
“Ornamen bata yang ditemukan di candi ini juga sangat beragam. Kemungkinan tempat ini dulunya merupakan kompleks stupa,” ujarnya saat menjelaskan pemugaran kawasan tersebut kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon beserta rombongan yang sedang berkunjung.
Dalam kunjungan itu, Fadli didampingi di antaranya oleh Gubernur Jambi Al Haris, Direktur Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi Kementerian Kebudayaan Restu Gunawan, Ketua Umum Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Siti Hartati Murdaya, dan Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah V Agus Widiatmoko.
Menurut Mubarak, jejak penimbunan di candi itu dapat dilihat dari stratigrafi tanahnya. Rekayasa lanskap dilakukan agar saat musim hujan air tidak menggenangi candi. Pembuatan parit berfungsi untuk mengendalikan aliran air.
Rekayasa lanskap serupa terlihat di Candi Astano dan Kembar Batu. Kedua situs ini juga dikelilingi parit. Bahkan, saat banjir besar, warga setempat memanfaatkan kawasan di sekitar Candi Astano sebagai pasar apung dadakan. Dengan memakai perahu, mereka menjajakan kuliner lokal kepada pengunjung.
Namun banjir tidak sampai menyentuh struktur candi. Parit-parit di sekitar candi terintegrasi dengan kanal kuno yang mengatur sistem pengendalian air. Sebagian kanal itu juga direvitalisasi pada tahun lalu. Kanal yang semula tertutup oleh sedimen dan vegetasi dibersihkan dan mulai dialiri air lagi.
Tak cuma sebagai pengendali banjir, kanal kuno juga diduga digunakan sebagai jalur transportasi. Dugaan itu diperkuat dengan ditemukannya tonggak-tonggak sebagai tambatan perahu. Ada pula temuan arang bekas perahu kuno.
Dalam aspek arsitektur, masyarakat lokal pada masa itu telah mempunyai kapasitas merancang dan mendirikan struktur bangunan dari bata mengikuti filosofi tradisi Buddha.
Temuan ribuan artefak juga menjelaskan aktivitas penduduk dalam memproduksi dan memanfaatkan beragam barang dengan berbagai jenis bahan, mulai dari batu, logam, dan kayu.
Rekayasa lanskap serupa juga terlihat di Candi Astano dan Kembar Batu. Kedua situs ini juga dikelilingi parit. Bahkan, saat banjir besar, warga setempat memanfaatkan kawasan di sekitar Candi Astano sebagai pasar apung dadakan. Dengan menggunakan perahu, mereka menjajakan kuliner lokal kepada pengunjung.
Adapun KCBN Muarajambi merupakan situs Buddhis terbesar di Asia Tenggara yang menempati lahan seluas 3.981 hektar. Lokasinya berada di tepi Sungai Batanghari, sungai terpanjang di Sumatera. Selain hutan, lahannya didominasi rawa. Jadi, secara alami, kawasan ini berisiko banjir, terutama saat musim hujan.
Menurut Agus Widiatmoko, terdapat sejumlah rekayasa yang dibuat masyarakat di masa lalu agar kawasan itu layak huni dan berfungsi sebagai pusat pembelajaran. Rekayasa dilakukan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan sekitarnya, salah satunya membuat kanal, parit, dan kolam guna mengantisipasi banjir.
Agus menambahkan, riset di KCBN Muarajambi berpotensi terus berkembang di masa depan. Pemugaran yang dilakukan untuk menguak struktur candi juga akan mengungkap berbagai warisan kearifan peradaban yang selama ini terpendam.
“Kawasan ini memiliki sedikitnya 115 situs. Namun, hingga saat ini, baru 12 situs yang sudah dipugar,” katanya.
Upaya melestarikan KCBN Muarajambi juga menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya keberadaan stockpile atau tempat penyimpanan sementara batubara di sekitar Candi Teluk 1. Hal ini dikhawatirkan mengancam pelestarian cagar budaya yang menjadi misi utama dalam revitalisasi tersebut.
Sejak 2009, KCBN Muarajambi masuk dalam daftar tentatif (tentative list) UNESCO untuk nominasi warisan dunia. Daftar ini bukan cuma menekankan pelestarian cagar budaya, tetapi juga manfaat bagi warga di sekitarnya. Oleh sebab itu, seiring berjalannya pemugaran, warga di delapan desa penyangga juga diberdayakan.
Delapan desa itu meliputi Danau Lamo, Muaro Jambi, Desa Baru, Kemingking Luar, Kemingking Dalam, Dusun Mudo, Tebat Patah, dan Teluk Jambu. Pemberdayaan berbasis budaya lokal di desa masing-masing, seperti gastronomi, seni budaya, dan pembuatan kerajinan berbahan daun pandan yang tumbuh di kawasan sekitar candi.
Direktur Jenderal Diplomasi, Promosi, dan Kerja Sama Kebudayaan Kementerian Kebudayaan Endah TD Retnoastuti menyampaikan, keberadaan Muarajambi dalam daftar tentatif warisan dunia sebagai pengakuan atas potensi nilai universal yang luar biasa.
Muarajambi menuju warisan dunia UNESCO memiliki konteks mentransformasikan posisi Muarajambi yang saat ini dalam daftar sementara menjadi terinskripsi dalam warisan dunia.
“Ini adalah bagian dari upaya kolektif kita untuk menyempurnakan dokumen serta memperkuat dokumentasi ilmiah untuk membangun strategi pengelolaan yang berkelanjutan,” jelasnya.
KCBN Muarajambi menjadi saksi kejayaan Sriwijaya sebagai pusat ilmu pengetahuan dan spiritualitas Buddhis terbesar di Asia Tenggara pada masanya. Kawasan ini juga jauh lebih besar daripada Angkor Wat, situs percandian megah di Kamboja seluas sekitar 163 hektar.
Pada masa lalu, pengaruh Muarajambi tak hanya di Sumatera atau Indonesia. Pengaruhnya luas karena mempunyai hubungan dengan tempat pengajaran agama Buddha lainnya, salah satunya Nalanda di India.
Duta Besar India untuk Indonesia Sandeep Chakravorty mengatakan, Muarajambi dan Nalanda mempunyai hubungan yang erat di masa lalu. Keduanya merupakan pusat pendidikan masyhur pada masanya.
“Nalanda dan Muarajambi seperti Oxford dan Cambridge dari abad pertengahan. Kami memiliki dokumen tentang Atisha Dipamkara (guru Buddha) yang tinggal dan belajar selama 12 tahun di sini,” ujarnya.
Menteri Fadli Zon menuturkan, aktivasi pengembangan KCBN Muarajambi akan terus didorong lewat dukungan para pihak. Kawasan itu akan semakin berkembang sebagai wisata budaya, wisata sejarah, wisata religi, hingga wisata kuliner.
Adapun Muarajambi dinilai memiliki skala peninggalan yang luar biasa. Itu sebabnya, kompleks itu ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional sejak 2013.
“Setelah kita melindungi (Muarajambi) sebagai cagar budaya, ke depan bagaimana kita mengembangkan dan memanfaatkan. Pemerintah sudah membangun, termasuk kawasan ini (museum), membuat jalan. Ini usaha panjang. Tinggal bagaimana kawasan ini menjadi ekosistem budaya,” ucapnya.
Di tengah bencana ekologi yang menerjang sebagian wilayah Pulau Sumatera, peradaban Muarajambi menunjukkan kearifan leluhur dalam memitigasi bencana. Di kawasan rawa dan tepi sungai yang rawan banjir, mereka mampu membangun pusat pendidikan dan peradaban yang bertahan selama berabad-abad.





