EtIndonesia. Ketika para pengamat militer dunia menanti langkah Amerika Serikat terhadap Venezuela, Gedung Putih justru mengalihkan fokus ke Timur Tengah. Dalam sebuah manuver yang mengejutkan, militer Amerika Serikat melancarkan serangan udara besar-besaran terhadap kelompok teroris ISIS di Suriah, sebagai aksi pembalasan langsung atas tewasnya personel AS dalam penyergapan pekan lalu.
Latar Belakang: Penyergapan Mematikan di Palmyra
Insiden pemicu terjadi Sabtu, 13 Desember 2025, di wilayah Palmyra, Suriah tengah—kawasan bersejarah dengan peninggalan Romawi berusia lebih dari dua milenium yang kini menjadi zona konflik. Dua prajurit Garda Nasional AS dari Iowa, Sersan Tovar dan Sersan Howard, bersama seorang penerjemah lokal yang bekerja untuk militer AS, gugur setelah disergap saat menjalankan patroli gabungan. Tiga prajurit lain mengalami luka-luka akibat baku tembak sengit.
Kabar ini segera memicu reaksi keras di Washington. Donald Trump menyebut serangan tersebut sebagai provokasi terang-terangan, menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak akan tinggal diam.
Momen Khidmat dan Sinyal Balasan
Pada Rabu, 17 Desember 2025, Presiden Trump bersama Pete Hegseth hadir di bandara untuk menyambut kepulangan jenazah kedua prajurit. Upacara berlangsung khidmat—dan menjadi penanda bahwa aksi balasan telah diputuskan.
Di saat yang sama, ISIS secara terbuka mengklaim bertanggung jawab atas penyergapan tersebut—sebuah klaim yang dinilai para analis sebagai kesalahan fatal.
Operasi “Eagle Eye”: Serangan Presisi Skala Besar
Dua hari kemudian, pada malam Jumat, 19 Desember 2025, Trump mengeluarkan perintah Operasi “Eagle Eye” (Mata Elang).
Angkatan Udara AS mengerahkan F-15E Strike Eagle dan A-10 “Warthog”, sementara Angkatan Darat menurunkan helikopter Apache serta sistem roket HIMARS. Dari berbagai pangkalan di Timur Tengah, pesawat-pesawat tempur melesat menuju sasaran.
Menurut keterangan resmi militer AS, lebih dari 100 amunisi berpemandu presisi dijatuhkan untuk menghantam lebih dari 70 target ISIS di Suriah—termasuk gudang senjata, kamp pelatihan, pusat komando, dan markas tersembunyi.
Sebagai penghormatan, sejumlah prajurit menuliskan nama Tovar dan Howard pada amunisi, disertai pesan: “Kalian akan selalu hidup.”
Pernyataan Resmi dan Dukungan Regional
Menteri Pertahanan Hegseth menegaskan bahwa operasi ini bukan awal perang, melainkan deklarasi pembalasan.
“Di bawah kepemimpinan Presiden Trump, Amerika Serikat akan tanpa ragu dan tanpa henti melindungi warganya. Siapa pun yang menyakiti warga Amerika akan diburu dan dimusnahkan,” tegasnya, seraya merilis cuplikan video pengeboman.
Pada Jumat, 19 Desember 2025, Trump kembali memperingatkan seluruh kelompok teroris bahwa setiap ancaman terhadap Amerika Serikat akan berujung kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Malam berikutnya, dalam acara publik di Carolina Utara, dia menyatakan operasi berjalan sangat sukses. Trump juga menekankan satu detail penting: dia menyebut tiga korban, karena penerjemah lokal diperlakukan sebagai bagian dari “orang kita.”
Menariknya, Yordania ikut berpartisipasi dalam operasi ini—menandai aksi gabungan Amerika Serikat dan mitra regional dalam memerangi terorisme. Pemerintah Suriah menyatakan dukungan terhadap serangan tersebut, dengan penilaian bahwa pemberantasan ISIS membuka jalan menuju stabilitas.
Dampak Awal
Penilaian awal militer menunjukkan kerugian besar di pihak ISIS. Banyak basis dinyatakan hancur rata dengan tanah, dan kemampuan operasional kelompok tersebut terdegradasi signifikan. Washington menegaskan akan memantau ketat perkembangan pasca-serangan dan siap bertindak jika ancaman kembali muncul.
Ringkasnya, Operasi “Eagle Eye” menegaskan garis merah Amerika Serikat: setiap serangan terhadap warganya akan dibalas cepat, presisi, dan tegas—dengan dukungan mitra regional di Timur Tengah.





:strip_icc()/kly-media-production/medias/5450773/original/038596400_1766182416-kpk.jpg)