Bencana Mengungkap Ketidaksetaraan Pendidikan Indonesia

kumparan.com
3 jam lalu
Cover Berita

Ketika banjir dan longsor melanda Aceh dan Sumatera Barat, ruang-ruang kelas runtuh dalam sekejap. Bangku pelajar terseret arus, papan tulis berubah menjadi sekat pengungsian, dan ribuan anak Indonesia kembali belajar satu hal yang sama: sekolah bukan selalu tempat yang aman. Data BNPB menunjukkan bencana hidrometeorologi masih menjadi bencana paling dominan di Indonesia, dengan ribuan kejadian setiap tahun dan berdampak langsung pada fasilitas publik termasuk satuan pendidikan.

Pemerintah mencatat sekitar 1.009 satuan pendidikan di wilayah Sumatra terdampak bencana, baik rusak ringan hingga berat maupun tidak bisa digunakan sementara. Namun, persoalan sesungguhnya bukan sekadar berapa sekolah yang rusak, melainkan apa yang terjadi pada pendidikan ketika realitas sosial dan geografis tak lagi bisa dipungkiri.

Bencana kembali menegaskan bahwa pendidikan Indonesia tidak pernah berjalan dalam kondisi yang seragam. Anak-anak di wilayah rawan bencana hidup dalam ketidakpastian yang berbeda dari mereka yang belajar di kota besar. Sayangnya, sistem pendidikan kerap menutup mata terhadap fakta ini.

Padahal, bahkan tanpa bencana pun, ketimpangan pendidikan sudah terlihat jelas. Badan Pusat Statistik (2023) mencatat rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia sekitar 9,1 tahun, setara kelas IX SMP. Artinya, sebagian besar penduduk belum menyelesaikan pendidikan menengah. Di daerah tertinggal dan rawan bencana, angka ini cenderung lebih rendah dan saat bencana terjadi, jarak ketertinggalan semakin melebar.

Dari sisi mutu, hasil PISA 2022 menunjukkan capaian literasi membaca, numerasi, dan sains siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata OECD. Data ini mengingatkan bahwa masalah pendidikan Indonesia bukan hanya pada akses fisik sekolah, tetapi juga pada kualitas pembelajaran dan daya tahan sistemnya menghadapi gangguan.

Dalam hal inilah, Kurikulum Merdeka seharusnya menemukan makna sosialnya. Kurikulum ini dirancang untuk memberi keleluasaan adaptasi pembelajaran sesuai kebutuhan peserta didik dan dalam hal satuan pendidikan. Namun, di lapangan, fleksibilitas tersebut belum sepenuhnya diterjemahkan pada daerah rawan bencana. Sekolah masih terikat pada target administrasi, sementara realitas murid justru menuntut pendekatan yang lebih manusiawi dan kontekstual.

Ironisnya, di tengah kehancuran akibat bencana, proses pendidikan karakter justru berlangsung paling nyata. Anak-anak belajar tentang empati, gotong royong, dan ketangguhan bukan dari modul, melainkan dari pengalaman hidup. Rahmawati dan Prasetyo (2023) dalam Jurnal Pendidikan Karakter menegaskan bahwa pengalaman sosial yang kuat, termasuk krisis dan bencana, memiliki pengaruh signifikan terhadap pembentukan karakter peserta didik.

Sayangnya, ketika sekolah kembali berjalan, pengalaman tersebut sering diabaikan. Pembelajaran kembali mengejar ketuntasan materi, seolah-olah trauma, kehilangan, dan pembelajaran sosial pascabencana tidak pernah terjadi. Lestari dkk. (2024) dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa sekolah yang mengintegrasikan pendidikan kebencanaan dan refleksi pengalaman lokal ke dalam pembelajaran justru memiliki ketahanan pendidikan yang lebih baik.

Aspek lain yang tak kalah penting adalah inklusivitas. Rofiah (2025) menegaskan bahwa pendidikan pascabencana harus memperhatikan kelompok rentan, termasuk anak berkebutuhan khusus dan peserta didik dengan trauma psikologis. Tanpa pendekatan ini, Kurikulum Merdeka berisiko berhenti sebagai jargon kebijakan, bukan alat pembebasan pendidikan.

Belajar dari bencana Aceh dan Sumatera Barat, sudah saatnya kita berhenti menyamaratakan wajah pendidikan Indonesia. Pendidikan yang adil bukan berarti sama bagi semua, melainkan relevan bagi setiap anak. Kurikulum Merdeka seharusnya menjadi ruang untuk itu memberi sekolah keberanian menyesuaikan pembelajaran dengan realitas hidup muridnya.

Membangun kembali sekolah bukan hanya soal beton dan anggaran, tetapi tentang membangun sistem pendidikan yang tangguh menghadapi krisis. Selama keberagaman karakteristik pendidikan masih diabaikan, setiap bencana akan terus mengulang pelajaran yang sama dan kita selalu terlambat memahaminya.

Kesimpulan

Bencana tidak hanya merobohkan bangunan sekolah, tetapi juga menyingkap rapuhnya keadilan dalam sistem pendidikan kita. Ia menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia dibangun di atas asumsi keseragaman, padahal realitas murid-muridnya sangat beragam. Selama pendidikan masih dipaksa berjalan dengan ukuran yang sama di kondisi yang tidak setara, ketimpangan akan terus diwariskan dari satu krisis ke krisis berikutnya.

Kurikulum Merdeka seharusnya menjadi titik balik bukan sekadar dokumen kebijakan, melainkan keberanian untuk mengakui bahwa keadilan pendidikan lahir dari keberpihakan pada hal, kerentanan, dan pengalaman hidup peserta didik. Jika bencana terus mengingatkan kita bahwa sekolah tak selalu aman, maka pendidikan harus menjadi ruang paling manusiawi untuk pulih dan bertumbuh.

Sebab pendidikan yang tangguh bukan yang tak pernah runtuh, melainkan yang mampu bangkit dengan memahami realitas muridnya. Dan selama pelajaran ini hanya kita pahami setelah bencana datang, ketidaksetaraan akan selalu menjadi kurikulum tersembunyi dalam pendidikan Indonesia.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Jaksa Hulu Sungai Utara Tabrak Petugas hingga Kabur Saat OTT KPK di Kalsel
• 16 jam lalukompas.tv
thumb
10 Daftar Kota Terdingin di Dunia
• 21 jam lalubeautynesia.id
thumb
Usai Singgung Gus Yahya, Kiai Ubaidillah: Zaman Gus Dur Ada Tambang? Nggak Ada Ya
• 16 jam lalukompas.tv
thumb
LDMI PB HMI Apresiasi Langkah Pemerintah Bangun Kampung Haji Indonesia
• 17 jam laluviva.co.id
thumb
Harga Emas Meroket hingga Akhir 2025 Terdongkrak Aksi Borong Bank Sentral Dunia
• 1 jam lalukatadata.co.id
Berhasil disimpan.