FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kasus kayu gelondongan sisa banjir bandang di Sumatera yang dimanfaatkan warga sempat menjadi polemik. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi pun angkat bicara.
Kayu gelondongan yang diduga berasal dari perambahan hutan itu dimanfaatkan warga seperti dibuat papan. Seperti yang terjadi di Garoga, Batangtoru, Tapanuli Selatan.
Pemanfaatan kayu-kayu tersebut dianggap tidak boleh dilakukan sembarangan, meski bernilai ekonomis bagi masyarakat.
Prasetyo menegaskan masyarakat dapat mempergunakan kayu gelondongan pascabencana yang terjadi di Sumatera untuk rehabilitasi, baik untuk hunian sementara maupun tetap dengan berkoordinasi kepada pemerintah.
“Surat ini sudah dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut) kepada seluruh pemerintah daerah beberapa hari setelah kejadian bencana terjadi,” kata Prasetyo dalam konferensi pers di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta pada Jumat (19/12/2025).
“Jadi beberapa hari setelah kejadian bencana di tiga provinsi, Kemenhut telah membuat surat edaran yang ditujukan kepada seluruh pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota berkaitan pemanfaatan kayu-kayu jika akan dipergunakan untuk kepentingan rehabilitasi,” ujar Prasetyo.
Prasetyo menyampaikan bahwa seluruh ketentuan mengenai pemanfaatan kayu terdampak banjir telah disiapkan. Oleh karena itu, masyarakat yang ingin menggunakan kayu tersebut dapat berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat.
Sebelumnya Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman menegaskan warga yang menjadikan kayu sisa banjir berbagai ukuran sebagai barang bernilai ekonomis tak bisa dibiarkan terus berlanjut, karena penanganannya mesti merujuk UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Ia menjelaskan material kayu yang terbawa banjir tersebut masuk dalam kategori sampah spesifik, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) UU Pengelolaan Sampah, yakni sampah yang timbul akibat bencana alam.
Adapun kategori sampah spesifik juga mencakup sampah yang mengandung B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), sampah yang mengandung limbah B3, puing bongkaran bangunan, sampah yang secara teknologi belum dapat diolah, serta sampah yang timbul secara tidak periodik.
Sehingga ia mendorong pelibatan pihak ketiga agar pembersihan berjalan cepat, dan tetap memberi manfaat ekonomi tanpa melanggar hukum maupun merusak lingkungan.
Alex menyebut mestinya tumpukan sampah itu ditangani secara spesifik, baik lantaran karakteristik, volume, frekuensi timbulnya, maupun karena faktor lainnya, yang memerlukan cara penanganan yang tidak normatif berurutan.
Menurutnya, Peraturan Pemerintah (PP) No 27 Tahun 2020 yang merupakan petunjuk teknis UU Pengelolaan Sampah, memberi ruang pada pemerintah, baik pusat maupun daerah, memanfaatkan sampah akibat bencana ini untuk kegiatan bernilai ekonomis.
“Di tengah keterbatasan kemampuan fiskal daerah, keberadaan kayu-kayu tersebut setidaknya akan membantu berbagai kebutuhan mendesak dalam penanganan dampak bencana,” tegasnya. (Pram/fajar)



