Ketika Hari Ibu Tidak Terasa Hangat bagi Sebagian Anak Dewasa

kumparan.com
7 jam lalu
Cover Berita

Hari Ibu sering dipenuhi ucapan terima kasih, bunga, dan pesan manis. Media sosial ramai dengan foto dan kalimat penuh cinta. Namun di balik itu, ada perasaan lain yang jarang dibicarakan. Bagi sebagian anak dewasa, Hari Ibu justru memunculkan rasa bersalah yang sulit dijelaskan.

Bukan karena tidak sayang. Justru sebaliknya. Semakin besar rasa cinta, semakin kuat pula perasaan bahwa diri ini belum cukup berbakti. Belum cukup hadir. Belum cukup membalas semua yang sudah diberikan.

Perasaan ini sering muncul tiba tiba. Saat melihat unggahan orang lain. Saat mengingat pesan ibu yang belum dibalas. Atau saat menyadari bahwa hidup terus berjalan, sementara waktu bersama ibu terasa semakin terbatas.

Mengapa momen yang seharusnya penuh syukur justru terasa menyesakkan bagi sebagian orang?

Ketika Cinta Bertemu Jarak Emosional

Seiring bertambahnya usia, relasi anak dan ibu berubah. Anak dewasa mulai membangun hidupnya sendiri. Pekerjaan, pasangan, dan tanggung jawab baru mengambil banyak ruang emosional.

Secara fisik dan psikologis, jarak pun terbentuk. Namun ikatan emosional dengan ibu tidak pernah benar benar terputus. Di sinilah konflik batin muncul.

Di satu sisi, anak dewasa membutuhkan kemandirian. Di sisi lain, masih ada perasaan tanggung jawab emosional terhadap ibu. Ketika kedua kebutuhan ini tidak sepenuhnya sejalan, muncullah rasa bersalah.

Dalam psikologi, kondisi ini sering berkaitan dengan ambivalent attachment, yaitu keterikatan yang diwarnai rasa dekat sekaligus rasa tertekan. Ibu menjadi sosok yang sangat berarti, tetapi juga menjadi sumber tuntutan emosional yang tidak selalu disadari.

Rasa Bersalah yang Tidak Pernah Jelas Sumbernya

Menariknya, rasa bersalah ini sering tidak berasal dari kesalahan konkret. Tidak ada kejadian besar. Tidak ada konflik terbuka. Namun perasaan bersalah tetap ada.

Anak dewasa bisa merasa bersalah karena jarang pulang, karena tidak selalu mengabari, atau karena hidupnya terasa lebih baik dibandingkan ibu. Bahkan kebahagiaan pribadi pun kadang terasa seperti pengkhianatan kecil.

Secara psikologis, ini berkaitan dengan family guilt, rasa bersalah yang muncul karena merasa meninggalkan peran lama sebagai anak yang selalu ada. Meskipun secara rasional anak tahu bahwa hidup harus bergerak maju, secara emosional ia masih terikat pada peran masa lalu.

Hari Ibu memperkuat perasaan ini karena ia menjadi pengingat simbolis akan semua yang belum dilakukan.

Standar Berbakti yang Terlalu Tinggi

Budaya juga berperan besar dalam membentuk rasa bersalah ini. Anak sering dibesarkan dengan narasi bahwa ibu berkorban tanpa batas. Bahwa cinta ibu tidak bersyarat. Bahwa anak seharusnya selalu membalasnya.

Masalahnya, standar berbakti ini sering tidak pernah didefinisikan secara jelas. Tidak ada titik cukup. Selalu ada perasaan bisa berbuat lebih.

Akibatnya, apa pun yang dilakukan terasa belum memadai. Mengirim uang belum tentu berarti hadir secara emosional. Menelepon belum tentu menghapus rasa jarak. Bahkan ketika sudah berusaha, rasa bersalah tetap tinggal.

Antara Rasa Sayang dan Tekanan Emosional

Penting untuk dipahami bahwa rasa bersalah ini tidak selalu menandakan hubungan yang buruk. Justru sering muncul dalam hubungan yang penuh kasih.

Namun ketika tidak disadari, rasa bersalah bisa berubah menjadi tekanan emosional yang kronis. Anak dewasa merasa harus terus membuktikan cintanya, sementara ibu mungkin tidak pernah menuntut sejauh itu.

Dalam banyak kasus, tuntutan itu hidup di dalam pikiran anak sendiri.

Saat Rasa Bersalah Perlu Diletakkan di Tempatnya

Psikologi tidak menuntut anak dewasa untuk menghapus rasa bersalah sepenuhnya. Yang lebih penting adalah memahami posisinya. Rasa bersalah bisa menjadi sinyal kepedulian, tetapi ia tidak seharusnya menjadi dasar utama dalam mencintai.

Hubungan yang sehat memberi ruang untuk dekat sekaligus berjarak. Memberi kesempatan untuk hadir tanpa harus terus merasa kurang. Mencintai ibu tidak selalu berarti mengorbankan seluruh hidup pribadi, dan hidup mandiri tidak selalu berarti meninggalkan.

Hari Ibu bisa menjadi momen untuk mengubah cara memandang relasi ini. Bukan sebagai pengadilan moral tentang seberapa berbakti kita, melainkan sebagai pengingat bahwa cinta yang dewasa juga membutuhkan batas, kejujuran emosional, dan penerimaan bahwa tidak semua hal bisa dibalas secara sempurna.

Dan mungkin, berdamai dengan ketidaksempurnaan itu adalah bentuk cinta yang paling realistis.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
KPK Segera Umumkan Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji
• 3 jam laluidxchannel.com
thumb
Kejagung Serahkan Kasi Datun Kejari HSU ke KPK
• 8 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Strategi MG di 2026, Tambah Mobil Baru dan Dealer
• 3 jam lalumedcom.id
thumb
Paguyuban Akpol 91 Beri Penghormatan Khusus kepada 53 Purnawirawan Polri di Semarang
• 23 jam lalupantau.com
thumb
Kim Woo-bin dan Shin Min-ah Resmi Menikah dalam Upacara Intim di Seoul
• 13 jam lalutabloidbintang.com
Berhasil disimpan.