JAKARTA, KOMPAS.com – Setiap pagi, jutaan warga bergerak menuju Jakarta dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Arus manusia mengalir lewat rel kereta, jalan tol, hingga jalan arteri.
Jakarta masih menjadi magnet ekonomi nasional. Namun, daya tarik itu dibayar mahal oleh para komuter yang menukar waktu, energi, dan kesehatan demi mempertahankan pekerjaan.
Di balik kepadatan KRL dan kemacetan jalanan, persoalan komuter Jakarta ternyata bukan semata soal jarak. Biaya mahal justru muncul pada tahap awal dan akhir perjalanan, atau first mile dan last mile.
Baca juga: Beban Mental dan Fisik Pekerja Komuter Penyangga Jakarta, Take It or Leave It
“Transportasi komuter yang mahal itu justru ada di first mile dan last mile. Atau moda paratransitnya, bisa ojek online, taksi online, bajaj, dari stasiun menuju destinasi,” kata Pengamat transportasi Deddy Herlambang kepada Kompas.com, Jumat (19/12/2025).
Deddy menilai, akar masalah komuter saat ini ada pada lemahnya dukungan transportasi pengumpan di kawasan penyangga.
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=Biaya Transportasi, transportasi Jabodetabek, KRL Commuter Line, komuter Jakarta, transportasi publik jakarta, First Mile Last Mile&post-url=aHR0cHM6Ly9tZWdhcG9saXRhbi5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8yMi8xNjA4MDc1MS9tYWhhbG55YS1oaWR1cC1rb211dGVyLWpha2FydGEtdGVybnlhdGEtYWRhLWRpLWZpcnN0LWRhbi1sYXN0LW1pbGU=&q=Mahalnya Hidup Komuter Jakarta Ternyata Ada di First dan Last Mile§ion=Megapolitan' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `Meski KRL, MRT, dan LRT terus dikembangkan, perjalanan komuter tetap mahal dan melelahkan karena akses dari stasiun masih bergantung pada moda paratransit.
“Saat ini bisa dilihat yang serius dan aktif itu Pemprov DKI. Sementara pemerintah daerah Bodetabek masih minim support, minimal menyediakan feeder yang membagi pengguna di setiap simpul stasiun KRL,” ujar Deddy.
Bagi banyak pekerja, ongkos KRL yang relatif terjangkau kerap tak lagi terasa murah karena biaya sambungan perjalanan.
Baca juga: Peringati Hari Buruh, KAI Commuter Tambah Perjalanan Kereta Komuter
Dalam sebulan, pengeluaran ini bahkan kerap menyaingi atau melampaui biaya sewa kamar kos sederhana.
Di titik inilah, negara disebut harus hadir lewat sistem feeder yang terintegrasi dan terjangkau, bukan menyerahkannya sepenuhnya pada mekanisme pasar.
Baca juga: Melawan Waktu: Realitas Hidup Komuter Kota Penyangga demi Kerja di Jakarta
Masalah lain yang tak kalah krusial adalah keterbatasan kapasitas angkutan umum massal.
Deddy memaparkan, ketersediaan angkutan umum berbasis rel maupun roda masih jauh dari cukup untuk melayani pergerakan harian warga Jabodetabek.
“Pergerakan orang di DKI dan sekitarnya itu 100 juta lebih pergerakan tiap hari. Kalau target RITJ 60 persen angkutan umum massal, saat ini pengguna angkutan massal masih sekitar 10 persen,” ujar Deddy.
Ia merinci, KRL Commuter Line hanya menyediakan sekitar satu juta kursi per hari. Transjakarta juga sekitar satu juta kursi. Sementara kontribusi MRT dan LRT masih belum signifikan.
“Kalau ada kursi 30 persen saja dari pergerakan 100 juta itu sudah sangat baik. Tapi sekarang kita masih jauh,” katanya.




