Kemajuan teknologi membuat masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi hanya bermodalkan ponsel saja. Hal ini dapat dilihat dari cepatnya penyebaran informasi terkait kasus perselingkuhan yang akhir-akhir ini terjadi di platform media sosial.
Banyak kasus perselingkuhan yang menyeret nama-nama dari dunia hiburan. Masyarakat sempat dihebohkan oleh Na Daehoon, seorang content creator tiktok sekaligus ayah tiga orang anak yang namanya naik ketika kasus perselingkuhan istrinya terungkap ke ranah publik, karena unggahan akun misterius. Tidak berhenti sampai di situ, masyarakat kembali dikejutkan oleh Inara Rusli, yang sebelumnya dikenal sebagai korban perselingkuhan, namun kini justru terseret sebagai orang ketiga dalam rumah tangga seorang pengusaha. Survei yang dilakukan Justdating di tahun 2024 menunjukkan bahwa Indonesia menempati posisi kedua di Asia dengan angka perselingkuhan tertinggi, sekitar 40% mengaku pernah berselingkuh dari pasangannya.
Kasus perselingkuhan tersebut bukan hanya memicu kehebohan, tetapi juga menimbulkan dampak psikologis yang serius pada korban maupun masyarakat yang hanya menyimak. Banyak individu mulai mempertanyakan esensi hubungan akibat melihat hubungan yang dulunya dipandang sebagai ruang aman penuh kasih menjadi retak akibat faktor orang ketiga.
Perselingkuhan membentuk emosi negatif yang mengganggu kestabilan individu, sehingga penting untuk memahami bentuk-bentuk pengaruh tersebut.
Hubungan Melemah: Komunikasi Tidak Lagi Terjalin secara SehatMelemahnya komunikasi dapat merubah hubungan yang terjalin menjadi pasif. Menurut (Maulita dkk., 2025) hubungan pasif dapat menurunkan keintiman serta kepercayaan antar individu sehingga membuka peluang terjadinya perselingkuhan. Rendahnya kepercayaan dalam hubungan semakin diperkuat oleh pengaruh media sosial yang terus-menerus menyajikan kasus perselingkuhan akan membentuk anggapan bahwa perselingkuhan merupakan hal yang wajar dan umum terjadi. Akhirnya banyak individu yang menurunkan standar kesetiaan dalam jalinan asmara. Hal ini sejalan dengan individu yang sering menjadikan hubungan di media sosial sebagai gambaran dalam membentuk hubungan, sehingga ia seringkali membandingkan hubungan tersebut dengan hubungan pribadinya (Kulkarni dkk., 2019).
Bayang-Bayang Perselingkuhan dalam HubunganIndividu yang menyaksikan langsung tanda-tanda perselingkuhan, baik melalui perubahan perilaku atau pengalaman sehari-hari akan mengalami dampak psikologis yang jauh lebih berat. Sebagaimana anak yang menjadi saksi perselingkuhan orang tua, hal ini akan berdampak pada kepercayaan mereka kepada orang sekitar dan bagaimana mereka menjalin hubungan kedepannya. Menurut (Pramudito dkk., 2021) korban perselingkuhan harus membangun lagi kepercayaannya pada orang sekitar karena traumanya tersebut. Bahkan trauma tersebut dapat memengaruhi korban untuk menjadi pelaku perselingkuhan di kemudian hari (Yumbula dkk., 2010).
Kasus perselingkuhan yang menghiasi media sosial akhir-akhir ini pun mampu membentuk pandangan baru publik terkait berhubungan. Menciptakan rasa takut dan cemas berlebihan mengenai hubungan mereka sendiri, bahkan jika hubungan mereka baik-baik saja (Syah dkk., 2025). Banyak individu yang akhirnya ikut merasakan apa yang dialami korban. Ketakutan menjalin hubungan serius seperti pernikahan. Bahkan, ada yang menganggap pernikahan tidak aman, dan mulai curiga pada pasangannya tanpa alasan jelas. Hal ini sejalan dengan penelitian (Anantya & Abdullah., 2024), akibat kasus perselingkuhan yang terus disajikan akhirnya membuat sebagian individu mengambil keputusan untuk tidak menikah karena merasa hubungan di zaman sekarang rentan dan penuh resiko.
Pendekatan dalam Menangani Trauma PerselingkuhanTrauma yang dihasilkan mungkin tidak bisa sepenuhnnya bisa disembuhkan, namun bisa ditangani agar kondisi individu bisa pulih. Korban umumnya akan mengalami gejala trauma yang mana apabila tidak ditangani akan dapat berkembang menjadi gangguan emosional berkepanjangan (Ridwan dkk., 2021). Oleh karena itu, sesi konseling dengan terapist seperti psikolog bisa menjadi langkah untuk membantu korban mengekspresikan emosi negatif dan memahami pengalaman traumatisnya. Selain konseling, dukungan sosial dan komunikasi yang sehat juga bisa menjadi faktor pendukung. Individu yang mampu menunjukkan keterbukaan dinilai dapat membantu proses pemulihan diri secara lebih efektif (Harahap & Lestari, 2018 ).
Dengan memahami berbagai dampak psikologis yang muncul, kita dapat melihat betapa rentannya individu ketika kepercayaan dirusak. Penting untuk menyadari bahwa membangun komunikasi dan rasa aman diperlukan agar hubungan yang lebih sehat bisa tercipta. Pada akhirnya, menjaga kesehatan mental adalah bentuk cinta kepada diri sendiri.


