Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan pendidikan Islam tidak boleh disamakan dengan pendidikan umum. Menurut dia, pendidikan Islam memiliki perbedaan mendasar dengan pendidikan umum, mulai dari ontologi, epistemologi, hingga aksiologi, yang harus dijelaskan secara terang dan tidak tumpang tindih.
Hal itu disampaikan Nasaruddin saat memberikan sambutan dalam acara penerimaan mahasiswa baru Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di Hotel Vertu, Jakarta Pusat, Senin (22/12).
“Kita harus berbeda antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum. Ontologinya bedanya apa, epistemologinya bedanya apa, aksiologinya pun juga bedanya apa, dan kita harus clear jelas di situ. Nah saya belum lihat roadmap-nya ontologi kita bedanya apa, distingsinya apa. Saya sudah sampaikan beberapa kali, mohon Pak Dirjen diterjemahkan sedikit yang saya, mungkin saya salah tapi kesepakatan itu lebih utama,” kata Nasaruddin.
Guru Besar bidang Tafsir ini menjelaskan, saat ini terdapat tiga rumpun pendidikan yang perlu dibedakan secara tegas.
“Kita kan ada tiga pendidikan, pendidikan umum (katakanlah pendidikan sekular), pendidikan agama (Pendidikan Islam/Pendis). Nah, sekarang menjadi tiga, kan? Ada Pendum reguler, ada Pendidikan Islam mungkin lebih generik, ada pesantren itu lebih takhassus [spesialiasi],” ujarnya.
Nasaruddin menilai, perbedaan nomenklatur dan dasar keilmuan antara pendidikan Islam dan pendidikan pesantren juga belum dirumuskan secara jelas.
“Apa perbedaan nomenklaturnya, apa perbedaan ontologi pendidikan Islam dan pendidikan pondok pesantren? Epistemologinya apa bedanya antara pendidikan Islam dan pendidikan pondok pesantren? Ini harus bagi tiga ini: pendidikan umum, pendidikan Islam, dan pendidikan pesantren,” kata Rektor Universitas PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an) Jakarta ini.
Ia memberi contoh perbedaan ontologi pendidikan umum dan pendidikan Islam. Menurutnya, pendidikan umum bertumpu pada alam yang bisa diindra dan dirasionalkan.
“Pendidikan umum itu ontologi alam. What is the nature? What is the universe? Alam ialah sesuatu yang bisa diindra. Jadi UGM, ITB, sesuatu yang bisa di-reason, dirasionalkan,” ujar Nasaruddin.
Imam Besar Masjid Istiqlal ini menegaskan, pendidikan Islam tidak bisa mengikuti sepenuhnya kerangka pendidikan umum.
“Tapi harusnya kita ikut-ikutan dengan ITB? Ontologi kita beda, definisi alam kita beda dengan ITB. ITB alam itu adalah yang bisa diindra. Nah, kita tidak memasukkan alam akhirat sebagai ontologi keilmuan, rusak akidah kita, kan?” katanya.
Ia menyebut, perbedaan ontologi itu berimplikasi pada perbedaan epistemologi.
“Maka itu epistemologinya nanti akan beda kita dengan pendidikan umum. Jadi jangan mengidentikkan diri dengan pendidikan umum,” tegasnya.
Perbedaan Pendidikan Umum dan IslamMenurut Nasaruddin, pendidikan umum berangkat dari keraguan dan skeptisisme. Sementara pendidikan Islam bisa berangkat dari keyakinan.
“Tapi kita nggak, epistemologi itu kadang-kadang yakin dulu haqqul yaqin dulu baru nanti kita cari pembenarannya,” ujarnya.
Ia juga menyoroti perbedaan aksiologi atau tujuan pendidikan. “Aksiologinya tentulah beda, kita kan tujuannya sampai akhirat. ITB itu nggak ada urusan akhiratnya,” kata Nasaruddin.
Dalam konteks metodologi keilmuan, ia membandingkan historiografi umum dengan ulumul hadis. Nasaruddin menjelaskan perbedaan ontologi pendidikan Islam dan pesantren. Menurutnya, pendidikan Islam mencakup alam syahadah dan alam gaib, sedangkan pesantren memiliki cakupan ontologi yang lebih mendalam.
“Tapi nanti pondok pesantren itu bisa lima (definisi tentang alam) itu,” katanya.
Nasaruddin juga menyinggung kriteria dosen di perguruan tinggi keagamaan. Menurutnya, dosen agama tidak hanya dinilai dari keilmuan, tetapi juga dari kepribadian dan kedalaman spiritual.
“Harusnya profesor dosen itu bukan saja ilmunya maqamnya profesor, tapi kepribadiannya juga, attitude-nya, bahkan kedekatan dirinya juga,” kata dia.
Nasaruddin menutup dengan meminta adanya evaluasi menyeluruh agar perguruan tinggi agama memiliki distingsi [ciri khas/perbedaan/keistimewaan] yang jelas dibandingkan perguruan tinggi umum.
“Kalau hanya satu standar untuk semuanya ya berarti kita nggak punya distingsi,” pungkas Nasaruddin.



