Upaya Islah di Tengah Seteru NU

kumparan.com
5 jam lalu
Cover Berita

Berkumpul di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Minggu, 21 Desember 2025, para sesepuh dan kiai Nahdlatul Ulama (NU) duduk bersama dalam Musyawarah Kubro.

Pertemuan ini menjadi upaya islah di tengah dualisme kepemimpinan PBNU antara Ketum hasil Muktamar 2021, Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dengan Rais Aam yang melalui rapat pleno Syuriyah menunjuk KH Zulfa Mustofa sebagai Penjabat (Pj) Ketum.

Musyawarah Kubro yang mengusung tema “Meneguhkan Keutuhan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama” ini diinisiasi deretan ulama sepuh NU, di antaranya KH Anwar Manshur, KH Nurul Huda Djazuli, KH Ma’ruf Amin, KH Said Aqil Siradj, KH Umar Wahid, dan KH Kholil As’ad.

Musyawarah turut dihadiri jajaran Mustasyar PBNU seperti KH Muhammad Nuh Addawami dan KH Zaki Mubarok. Hadir pula unsur Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU, pimpinan badan otonom dan lembaga tingkat pusat, para pengasuh pondok pesantren, serta Rais dan Ketua PWNU dan PCNU dari seluruh Indonesia.

Secara keseluruhan, menurut NU.or.id, forum tersebut diikuti 521 PWNU dan PCNU yang datang ke lokasi, serta 197 PWNU dan PCNU secara daring.

Musyawarah Kubro itu menghasilkan tiga kesepakatan. Pertama, para alim ulama dan sesepuh NU secara tegas mendesak Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dan Gus Yahya segera melakukan islah. Para sesepuh memberikan tenggat waktu selama 3x24 jam terhitung sejak Musyawarah Kubro digelar pada 21 Desember.

Apabila kesepakatan islah tidak tercapai, kedua belah pihak diminta menyerahkan mandat kepada jajaran Mustasyar untuk membentuk panitia Muktamar yang bersifat netral. Pembentukan panitia tersebut harus dilakukan paling lambat satu hari setelah batas akhir islah.

Jika opsi tersebut juga tidak dijalankan, para peserta Musyawarah Kubro sepakat mencabut mandat kepemimpinan dan mendorong segera diselenggarakannya Muktamar Luar Biasa (MLB). Penyelenggaraan MLB akan dilaksanakan berdasarkan kesepakatan PWNU dan PCNU yang hadir, dengan batas waktu pelaksanaan paling lambat sebelum keberangkatan kloter pertama jamaah haji Indonesia.

"Keputusan ini dibuat dengan sebenar-benarnya berdasarkan Musyawarah Kubro, dan ditandatangani oleh peserta yang hadir, baik secara langsung atau melalui Zoom," kata Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah, Kiai Ubaidullah Shodaqoh, yang melaporkan hasil musyawarah kubro kepada mustasyar dan kiai sepuh.

Musyawarah Kubro mengundang dua pihak yang berseteru, yakni Gus Yahya dan dan Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar. Namun, Miftachul tidak hadir dalam forum tersebut.

Dalam musyawarah tersebut, Gus Yahya menegaskan bahwa sejak awal ia mendorong jalan islah. Ia menyatakan terbuka sepenuhnya untuk tabayyun atas berbagai tudingan yang diarahkan kepadanya, dengan menghadirkan bukti dan saksi yang diperlukan.

“Pertama, saya senantiasa terbuka untuk diperiksa dan ditabayunkan terhadap apa pun yang dituduhkan kepada saya, melalui cara apa pun, dengan menghadirkan semua bukti dan semua saksi yang diperlukan. Sejak detik pertama saya senantiasa menginginkan islah. Saya siap bina al-haq bina al-haq bina al-haq, bukan bina al-batil,” katanya.

Ia juga menyatakan manut pada keputusan yang disepakati PWNU dan PCNU, termasuk tafsir para Mustasyar PBNU. Gus Yahya langsung menghubungi KH Miftachul Akhyar untuk memohon waktu bertemu, guna memenuhi desakan para kiai dan sesepuh agar islah dilakukan dalam tenggat waktu yang diberikan.

“Sampai sekarang saya belum mendapatkan jawaban. Saya akan menunggu sampai 3x24 jam dan saya akan melaporkan hasilnya.”

Upaya islah para sesepuh NU tidak dilakukan dalam satu kali pertemuan. Ikhtiar meredakan konflik internal PBNU telah bergulir sejak akhir November melalui sejumlah forum silaturahmi di pesantren besar.

Salah satunya berlangsung di Pondok Pesantren Ploso, Kediri, pada Minggu (30/11). Dalam forum yang diprakarsai KH Anwar Mansyur dan KH Nurul Huda Jazuli itu, para kiai sepuh meminta pihak yang berkonflik di PBNU menghentikan polemik di ruang publik.

Mereka juga mengimbau seluruh struktur NU dari pusat hingga daerah tetap fokus menjalankan program organisasi tanpa terseret dinamika internal.

Rangkaian pertemuan berlanjut di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Sabtu (6/12). Dalam forum silaturahmi kiai sepuh bersama jajaran Mustasyar PBNU itu, Gus Yahya turut diundang secara langsung. Pertemuan tertutup yang berlangsung sekitar 5 jam itu membahas dua agenda yakni dinamika kepemimpinan di PBNU serta bencana alam di sejumlah daerah.

Juru Bicara Forum Kiai Sepuh NU, Abdul Muid, menyampaikan para kiai sepuh berpandangan proses pemakzulan Ketum PBNU tidak sejalan dengan ketentuan organisasi sebagaimana diatur dalam AD/ART.

Meski demikian, Muid menyebut Forum Kiai Sepuh juga mencatat adanya dugaan pelanggaran atau kekeliruan serius dalam pengambilan keputusan Ketum yang perlu diklarifikasi melalui mekanisme organisasi. Karena itu, forum mengimbau seluruh pihak menahan diri dan menghindari langkah yang dapat memperkeruh situasi internal NU.

“Forum menegaskan bahwa persoalan ini hendaknya diselesaikan melalui mekanisme internal NU tanpa melibatkan institusi atau proses eksternal demi menjaga kewibawaan jam'iyyah dan memelihara NU sebagai aset besar bangsa," kata Muid membacakan hasil pertemuan Forum Kiai Sepuh dan Mustasyar.

Tak hanya di musyawarah Kubro di Ponpes Lirboyo, dalam dua pertemuan upaya islah di Ponpes Ploso dan Tebuireng, KH Miftachul Akhyar pun absen.

Konflik kepemimpinan di tubuh PBNU bermula dari rapat harian Syuriyah yang digelar di Hotel Aston, Jakarta Pusat, pada 20 November 2025. Hasil rapat itu kemudian dituangkan dalam sebuah surat yang ditandatangani Rais Aam PBNU Miftachul Akhyar.

Surat itu memuat dua pokok keputusan. Salah satunya meminta Yahya Cholil Staquf mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum PBNU dalam waktu tiga hari, disertai sejumlah alasan yang dinilai melanggar AD/ART organisasi.

Dalam surat itu disebutkan rapat harian Syuriyah dihadiri 37 dari total 53 pengurus. Para peserta rapat menilai kehadiran Peter Berkowitz yang dikenal sebagai pendukung Zionisme dan Israel, sebagai narasumber dalam kegiatan Akademi Kepemimpinan Nasional NU bertentangan dengan nilai Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah serta Muqaddimah Qanun Asasi NU.

Yahya menolak keputusan tersebut dan menyebut proses pemberhentiannya tidak sah. Sikap ini berlanjut hingga rapat pleno Syuriyah PBNU pada 9 Desember 2025 tetap menunjuk KH Zulfa Mustofa sebagai Pj Ketum.

Kisruh Bikin Resah

Dampak konflik antara Rais Aam dan Ketum PBNU terasa pada kinerja organisasi di level bawah. Perumus Forum Lembaga dan Banom PBNU dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Muhammad Nurkhoiron mengatakan saat ini terjadi hambatan administratif akibat retaknya sistem "Dwi Tunggal" dalam tata kelola surat-menyurat organisasi.

Sesuai AD/ART, keputusan strategis dan surat resmi PBNU wajib ditandatangani oleh dua pihak: Rais Aam dan Ketua Umum. Dengan adanya konflik kepemimpinan, lembaga dan Badan Otonom (Banom) kini kesulitan mengeksekusi program kerja sama dengan pihak luar.

Khoizin mencontohkan saat Lakpesdam NU menjalin komitmen kerja sama dengan Badan Gizi Nasional terkait penyediaan seribu titik Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) makan bergizi gratis (MBG) maupun kerjasama di bidang sosialisasi dan promosi.

Namun saat kerja sama itu akan ditindaklanjuti dalam bentuk pengajuan proposal resmi, muncul kendala administratif.

“Kita mau pakai (tanda tangan) yang mana? Nah tu dan itu terjadi di hampir semua lembaga. Kita mau pakai yang mana? Kalau pakai salah satunya kan dianggap nanti berpihak dan macam-macam, tapi mungkin juga kita masih menganggap itu inkonstitusional,” kata pria yang akrab disapa Gus Khoiron kepada kumparan.

Menyikapi permasalahan ini, Khoiron mengatakan sekitar 20 lembaga dan Banom NU membentuk gerakan yang mereka sebut sebagai "Kubu Islah". Kelompok ini rutin melakukan konsolidasi harian untuk memastikan program organisasi tetap berjalan di tengah konflik elit.

Peserta musyawarah terdiri dari 20 lembaga dan banom PBNU, yaitu LPBI NU, LPP NU, LTN NU, Serikat Nelayan NU, Lesbumi NU, LP Ma'arif, Pagar Nusa, PP GP Ansor, Lakpesdam NU, PB PMII, PP IPNU, LWP NU, Lazis NU, Badan Halal NU, JQH NU, Sarbumusi NU, LK NU, LKK NU, RMI NU, dan LPBH NU.

Sikap Kubu Islah ini didasari pada upaya mengamankan amanah Muktamar di bawah kepemimpinan Gus Yahya. Mereka memilih tetap menjalankan instruksi Gus Yahya guna menyelesaikan pekerjaan yang sudah direncanakan, sembari terus mendorong upaya rekonsiliasi.

“Kami di Banom dan lembaga itu sudah mengumpulkan hampir mayoritas sepakat untuk tetap melanjutkan program-program yang ada hingga Muktamar dan berharap ada Islah atau sengketa antara kedua belah pihak Rais Aam dan Ketum diselesaikan berdasarkan AD/ART di mana Muktamar luar biasa atau Muktamar berikutnya,” ujarnya.

Menurut Khoirin, upaya islah menjadi krusial untuk mencegah terjadinya Muktamar ganda. Dia menjelaskan penyelenggaraan Muktamar yang sah hanya bisa terjadi jika ada kesepakatan dan tanda tangan bersama antara Rais Aam dan Ketua Umum.

Tanpa islah, kata dia, legitimasi forum tertinggi NU tersebut akan cacat secara hukum organisasi.

"Karena ini Muktamar ini kalau pecah juga kan bisa jadi dua Muktamar. Muktamar versi Rais Aam sama Muktamar versi Ketum. Itu nanti lebih bingung lagi karena Muktamar itu harus ditandatangani oleh Rais Aam sama Ketum.”

Kesolidan internal NU pun sangat menentukan kesuksesan Muktamar. Khoizin mengatakan panitia Muktamar dapat dibentuk jika ada kesepakatan dan tanda tangan bersama Rais Aam dan Ketum. Tanpa kejelasan tersebut, tahapan-tahapan menuju Muktamar bisa tersendat.

Ia menambahkan, polemik ini juga berpotensi merembet ke agenda-agenda organisasi lainnya. Menjelang peringatan Hari Lahir (Harlah) NU pada Januari 2026, misalnya, masih muncul kebingungan soal legitimasi penyelenggaraan.

“Ini nanti Harlah sebentar lagi nanti mau ikut yang mana juga belum tahu nih. Harlah dua (kubu) juga enggak terlalu berefek lah ya. Tapi yang penting Muktamar itu, Muktamar jangan sampai pecah gitu,” katanya.

Di tengah keresahan lembaga di bawah PBNU seperti Lakpesdam, Juru Bicara PBNU KH Imron Rosyadi berpandangan polemik soal tanda tangan dan dualisme kepemimpinan sebenarnya telah selesai secara struktural.

Ia merujuk pada hasil rapat gabungan Syuriyah dan Tanfidziyah pada 13 Desember lalu yang telah melengkapi susunan kepemimpinan PBNU. Dia mengatakan otoritas administratif kini sepenuhnya berada di tangan Pj Ketum Zulfa Mustofa, bukan lagi pada Gus Yahya.

“Jadi sekarang tanda tangannya sudah lengkap ada Rais Aam, ada Katib Aam Prof Nuh, kemudian PJ Ketua Umum Kiai Zulfa, dan Sekjen Saifullah Yusuf,” ujar Imron.

Imron pun menanggapi munculnya istilah ‘Kubu Islah’ serta kegelisahan sejumlah lembaga yang khawatir dianggap berpihak. Ia menegaskan posisi lembaga dan Badan Otonom (Banom) dalam struktur organisasi NU yang tidak memiliki kewenangan bersikap.

“Jadi tugas mereka itu melaksanakan kebijakan PBNU, tidak memiliki kewenangan politik organisatoris untuk mengambil sikap sendiri dalam konflik di PBNU ini. Mereka itu perangkat perkumpulan sewaktu-waktu untuk lembaga, kalau badan badan otonom memiliki mekanisme sendiri tapi lembaga di lingkungan PBNU itu sewaktu-waktu bisa diganti oleh pimpinan kalau dianggap tidak bekerja dengan baik.”

Konflik yang Berujung Pemecatan

Konflik internal di tubuh NU bukan pertama kali terjadi. Pengurus Harian PBNU Mohamad Syafi’ Alielha atau Savic Ali menilai konflik kali ini tidak bisa disamakan dengan dinamika internal sebelumnya dalam sejarah NU sejak 1926.

Savic Ali mengatakan konflik internal sebelumnya tidak pernah berujung kepada pemecatan seperti yang dialami oleh Gus Yahya.

“Ini berbeda saya kira. PBNU itu mungkin antar Kiai tidak ketemu, atau ada kubu—dulu kita mengenal kubu Situbondo dan Cipete—gitu kan. Waktu zaman Gus Dur ada Kiai As'ad, ada Kiai Idham Chalid. Tetapi kan nggak nyampe level pemecatan,” katanya.

“Ini adalah pemecatan yang terjadi pertama kali dalam sejarah NU,” tambah Savic.

Muktamar Cipete yang disinggung Savic merujuk pada salah satu fase paling tegang dalam sejarah NU menjelang Muktamar ke-27 tahun 1984. Dilansir dari NU.or.id, pada periode ini, NU terbelah ke dalam dua poros besar kubu Cipete yang bermuara pada Ketum PBNU KH Idham Cholid dan kubu Situbondo yang bermuara pada KH R. As’ad Syamsul Arifin.

Perpecahan itu kian mengeras setelah wafatnya Rais Aam PBNU KH Bisri Syansuri pada April 1980. Kedua kubu menggelar Musyawarah Nasional (Munas).

Kubu Situbondo—yang kemudian dikenal sebagai kubu khittah—mendapat dukungan kuat dari kelompok muda NU yang progresif, termasuk Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan menunjuk Gus Dur sebagai Ketua Panitia Muktamar ke-27. Sementara itu, kubu Cipete juga menggelar Munas sendiri dengan menunjuk Cholid Mawardi sebagai ketua panitia.

Dalam suasana politik Orde Baru yang represif, kedua kubu menyatakan penerimaan Pancasila sebagai asas organisasi. Namun, Munas Cipete dinilai lebih sebagai manuver politik untuk mencari simpati pemerintah karena hasilnya bahkan lebih dulu diserahkan kepada negara.

Sebaliknya, pemerintah justru lebih menghargai Munas Situbondo karena dianggap lebih konseptual dan mencerminkan keseriusan pemikiran keorganisasian NU.

Melihat arah dukungan pemerintah yang condong ke Situbondo, kubu Cipete mulai melunak. Dengan kebesaran hati para kiai sepuh, konflik panjang itu akhirnya diredam melalui pertemuan tahlilan di rumah KH Hasyim Latief, Ketua PWNU Jawa Timur, di Sepanjang, Sidoarjo, pada 10 September 1984.

Dari pertemuan itulah lahir “Maklumat Keakraban” yang ditandatangani tujuh ulama terkemuka NU yakni KH As'ad Syamsul Arifin, KH Ali Ma'shum, KH Idham Cholid, KH Machrus Aly, KH Masjkur, KH Saifuddun Zuhri, dan KH Achmad Siddiq.

Maklumat itu berisi kesepakatan untuk mengakhiri konflik, saling memaafkan, dan bersama-sama menyukseskan Muktamar ke-27 di Situbondo.

Berakhirnya pertikaian dua kubu yang berlangsung lebih dari tiga tahun itu membuka jalan bagi konsolidasi NU. Para kiai sepuh kemudian turun tangan langsung mengatasi krisis kepemimpinan dan menggagas perubahan sistem pemilihan Rais Aam, dari pemilihan langsung menjadi musyawarah para kiai melalui mekanisme ahlul halli wal aqdi.

Dalam prosesnya, para kiai ahlul aqdi tidak bersedia menduduki jabatan Rais Aam dan menyerahkan kepemimpinan organisasi kepada KH Achmad Siddiq. Muktamar 1984 pun berlangsung sukses.

Oleh karenanya, Savic menyayangkan konflik internal NU kembali terjadi. Sebab, ia menilai konflik itu tidak sejalan dengan tradisi tabayyun dan musyawarah yang selama ini dilakukan untuk menyelesaikan berbagai persoalan.

“Saya sangat menyesalkan kenapa hal ini bisa terjadi. Karena saya merasa ya tradisi Kiai itu namanya tabayyun (klarifikasi), namanya ngecek sana-sini, ngajak rembukan sesepuh Kiai lain, itu sudah berlangsung bertahun-tahun,” tandas Savic.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Menteri Komdigi Sebut 80% BTS di Aceh Telah Pulih usai Terdampak Bencana
• 17 jam lalukatadata.co.id
thumb
Banjir Bandang, 2 Pemandian Air Panas Guci Tegal Ditutup Sementara
• 13 jam lalugenpi.co
thumb
Telkom pastikan kesiapan infrastruktur digital jelang Natal-tahun baru
• 17 jam laluantaranews.com
thumb
​​​​​​​Ramalan Cinta Zodiak 23 Desember 2025: Aries, Taurus, Gemini, Cancer, hingga Pisces
• 15 jam lalutvonenews.com
thumb
PKB Sambut Wacana Pilkada Dipilih DPRD, Sebut Itu Usulan Lama Cak Imin
• 10 jam lalusuara.com
Berhasil disimpan.