Kirim Perawat ke Jepang, Garut Bidik Peningkatan Remitansi

bisnis.com
8 jam lalu
Cover Berita

Bisnis.com, GARUT — Pemerintah Kabupaten Garut membuka jalur kerja sama internasional dengan Pemerintah Kota Higashikawa, Jepang, yang berfokus pada pengiriman tenaga kerja terampil bidang keperawatan.

Skema ini diklaim sebagai peluang peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) sekaligus jalan keluar atas keterbatasan lapangan kerja di daerah. Namun, di balik peluang tersebut, muncul sejumlah catatan kritis terkait dampak ekonomi, tata kelola, dan perlindungan tenaga kerja.

Bupati Garut Abdusy Syakur Amin menyatakan kerja sama ini memungkinkan warga Garut bekerja di Jepang dengan pembiayaan dari pemerintah setempat. Pada tahap awal, sekitar empat tenaga keperawatan direncanakan diberangkatkan pada April mendatang. 

"Program ini sebagai pintu masuk bagi kolaborasi yang lebih luas, termasuk pengembangan sektor budaya, teknologi, dan pertanian," ujar Syakur, dikutip pada Senin (22/12/2025).

googletag.cmd.push(function() { googletag.display("div-gpt-ad-parallax"); });

Dari sisi ekonomi daerah, skema ini berpotensi menciptakan aliran remitansi dan meningkatkan daya beli keluarga pekerja. Jepang selama ini dikenal sebagai salah satu negara dengan standar upah tenaga kesehatan yang relatif tinggi, sehingga pendapatan pekerja migran dapat menjadi sumber devisa mikro bagi daerah asal. 

Selain itu, pengalaman kerja di Jepang berpotensi meningkatkan kompetensi dan nilai jual tenaga kerja saat kembali ke tanah air.

Baca Juga

  • Cuaca Ekstrem Hambat Distribusi Bantuan Pangan di Garut
  • Garut Didorong Kembangkan Potensi Domba Hingga Industri Ekraf
  • Pariwisata Garut Menggeliat, Kunjungan Wisnus Sentuh 5,95 Juta

Namun demikian, skala program yang masih sangat terbatas menimbulkan pertanyaan mengenai dampak riilnya terhadap ekonomi Garut. Pengiriman empat orang tenaga kerja dinilai belum cukup signifikan untuk menjawab persoalan pengangguran struktural dan ketimpangan kesempatan kerja di daerah. 

Tanpa rencana ekspansi yang terukur dan berkelanjutan, kerja sama ini berisiko berhenti sebagai proyek percontohan tanpa efek berganda yang nyata.

Isu lain yang patut dicermati adalah kesiapan tenaga kerja lokal. Program ini mensyaratkan kemampuan bahasa Jepang dan kompetensi keperawatan sesuai standar Jepang, yang tidak mudah dipenuhi oleh sebagian besar pencari kerja di daerah. 

Tanpa investasi serius pada pelatihan dan pendidikan pra-penempatan, peluang ini hanya akan dinikmati segelintir orang dengan latar belakang tertentu, bukan solusi inklusif bagi tenaga kerja Garut secara umum.

Dari perspektif tata kelola ketenagakerjaan, kejelasan status kerja, kontrak, dan perlindungan hukum menjadi faktor krusial. Jepang dikenal memiliki sistem kerja yang ketat dan budaya kerja berintensitas tinggi.

Tanpa pengawasan dan pendampingan yang memadai dari pemerintah daerah maupun pusat, tenaga kerja berpotensi menghadapi risiko kelelahan kerja, hambatan bahasa, hingga persoalan hukum di negara tujuan.

Kepala Divisi Koeksistensi Multikultural Kota Higashikawa, Daiki Honda, menyatakan program ini dirancang jangka panjang, mencakup pendidikan bahasa dan keperawatan, serta dukungan bagi warga Garut yang bekerja di Jepang.

Pernyataan ini membuka harapan adanya stabilitas karier dan integrasi sosial yang lebih baik bagi pekerja asing. Meski demikian, komitmen jangka panjang tersebut perlu dituangkan dalam skema tertulis yang transparan agar dapat diukur dan diawasi.

"Kerja sama Garut–Higashikawa juga mencerminkan tren baru diplomasi ekonomi daerah, di mana pemerintah lokal aktif mencari pasar kerja luar negeri bagi warganya," kata Daiki.

Di satu sisi, langkah ini dapat dilihat sebagai strategi adaptif menghadapi keterbatasan ekonomi lokal. Di sisi lain, tanpa penguatan sektor produktif di dalam negeri, kebijakan ini berpotensi memperkuat ketergantungan pada ekspor tenaga kerja.

Ke depan, kata Daiki, tantangan utama bagi Pemkab Garut adalah memastikan kerja sama ini tidak hanya menguntungkan negara tujuan, tetapi juga memberikan nilai tambah nyata bagi pembangunan ekonomi daerah.

"Transparansi seleksi, jaminan perlindungan tenaga kerja, serta rencana reintegrasi pekerja setelah masa kerja berakhir menjadi indikator penting keberhasilan program ini. Tanpa itu, peluang kerja ke Jepang berisiko menjadi solusi jangka pendek yang tidak menyentuh akar persoalan ketenagakerjaan di Garut," ujarnya.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Bareskrim: Narkoba Rp 60 M Rencananya Diedarkan saat DWP di Bali
• 11 jam laludetik.com
thumb
Populer Ekonomi: Passing Grade untuk Lolos Tes CPNS hingga UMP Jakarta 2026
• 21 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Satu Pemain Manchester United Langsung Diminta Pergi di Bursa Transfer Januari usai Tampil Buruk Kontra Aston Villa
• 21 jam lalutvonenews.com
thumb
Pertamina Siagakan 1.866 SPBU 24 Jam Selama Libur Natal dan Tahun Baru
• 10 jam lalunarasi.tv
thumb
Pendapatan Ditargetkan Naik 112%, INAF Pakai Strategi Ini
• 9 jam laluwartaekonomi.co.id
Berhasil disimpan.