Situbondo (beritajatim.com) – Di lereng Gunung Argopuro yang dingin, sebutir pupuk bukan sekadar komoditas pertanian. Ia adalah napas bagi kehidupan, jaminan sekolah bagi anak-anak petani, dan fondasi kedaulatan pangan yang kini tengah bersalin rupa melalui teknologi.
Umi Kulsum (52), atau yang akrab disapa Bu Da, telah dua dekade menjadi saksi bisu betapa peliknya urusan distribusi di wilayah terpencil Desa Tlogosari. Namun, tahun 2025 menjadi tonggak sejarah baru. Di tangan pemerintah Presiden Prabowo Subianto, sistem distribusi lama yang penuh celah resmi ditinggalkan, digantikan oleh revolusi pelayanan digital bernama i-Pubers (Integrasi Pupuk Bersubsidi).
Umi Kulsum bersama suaminya, Suaki (alias Pak Fauzan) mengelola Kios Pupuk Indonesia yang berlokasi di desa Tlogosari, lereng gunung Argopuro. Bagi masyarakat desa, kios Dua Putra ini bukan sekadar bangunan berukuran 4 X 8 Meter. Ia adalah oase, tempat di mana harapan petani digantungkan sebelum fajar menyingsing di ladang.
Di tengah tenang lereng Argopuro, malam datang, Bu Da menutup gerbang kayu kiosnya perlahan. Gerit kayu itu seolah menjadi tanda berakhirnya satu babak pengabdian hari itu, hanya untuk bersiap memulai babak yang lebih berat esok pagi.
“Bagi saya, bahagia itu bukan soal berapa saldo yang bertambah di akhir bulan,” ujar perempuan yang telah memiliki 4 orang cucu itu, dengan nada lirih namun tegas.
“Bahagia itu saat melihat petani datang dengan wajah cemas, lalu pulang dengan senyum karena pupuk yang mereka butuhkan tersedia. Di gunung ini, pupuk adalah napas. Tanpanya, ladang mati, dan dapur tidak mengepul.”
Kisah dari lereng gunung di Situbondo ini adalah fragmen kecil dari sebuah orkestra besar nasional. Sebuah perjalanan panjang tentang bagaimana sebutir pupuk, yang diproduksi di pabrik besar, menembus medan terjal, melampaui birokrasi, dan akhirnya bermuara pada kedaulatan pangan di meja makan kita semua.
Jejak Dua Dekade di Medan MenantangPerjalanan Umi Kulsum bermula pada tahun 2004. Dua puluh satu tahun yang lalu, wajah lereng Argopuro jauh dari kata mapan. Infrastruktur jalan menuju Tlogosari masih didominasi tanah merah dan bebatuan lepas yang siap menggelincirkan siapa saja saat hujan turun. Saat itu, Kios atau yang sekarang disebut sebagai Penerima Pada Titik Serah (PPTS) hanyalah bangunan kecil dengan sistem pencatatan manual di buku tulis usang.
“Tahun-tahun awal itu adalah ujian kesabaran,” kenang Pak Fauzan. Ia mengingat bagaimana petani harus menempuh jarak berkilo-kilometer dengan berjalan kaki atau menggunakan lin (transportasi umum di desa, red). Distribusi saat itu seringkali terhambat bukan karena stok tidak ada, melainkan karena alam yang tidak berkompromi.
Namun, medan yang sulit tak pernah memadamkan semangat Bu Da. Baginya, menjadi pemilik kios di daerah terpencil adalah tugas suci. Ia melayani tiga kelompok tani besar: Mawar, Edelweis, dan Melati.
Meski Kios Dua Putra berada di daerah Tlogosari, kelompok tani yang dilayani berada di desa yang masih jauh lebih terpencil ke arah selatan sekitar 30 menit dengan kendaraan bermotor, bernama desa Tamankursi. Bahkan hingga tahun 2025, akses menuju Taman Kursi masih cukup sulit, hanya bisa diakses pick up dengan jalan berliku yang curam, bisa dibayangkan betapa susahnya akses 20 tahun lalu.
Ketiga kelompok tani di Tamankursi adalah pilar ekonomi desa yang menggarap lahan miring di lereng Argopuro. Di desa ini, komoditas utama adalah padi untuk konsumsi sendiri, serta jagung, tembakau, dan kopi untuk menyambung hidup dan menyekolahkan anak.
Kalender kehidupan di Tamankursi bukan diputar oleh angka tapi musim. Antara bulan Februari hingga April, denyut nadi desa mencapai puncaknya. Itulah musim tanam. Di periode krusial ini, kehadiran pupuk adalah barang mutlak. Jika Urea dan NPK terlambat datang maka rantai produksi hingga musim panen di bulan Mei sampai Juli bisa berantakan.
“Di masa tanam, kios ini menjadi jantung desa. Kalau jantungnya berhenti berdetak, seluruh tubuh akan mati. Itulah kenapa saya tidak pernah berani membiarkan gudang kosong, meski badai turun bersahutan di luar sana gudang selalu siap dengan stok pupuk,” ujar Bu Da saat ditemui usai menutup kiosnya pada awal desember lalu.
i-Pubers dan Runtuhnya Tembok Birokrasi LamaTahun 2025 menjadi angin segar bagi kios seperti Bu Da maupun petani, kini wajah pertanian Indonesia lebih maju. Di tangan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan koordinasi ketat PT Pupuk Indonesia (Persero), sistem distribusi lama yang penuh celah resmi ditinggalkan.
Revolusi itu bernama i-Pubers (Integrasi Pupuk Bersubsidi). Bagi Bu Da, i-Pubers awalnya terasa seperti gunung yang lebih tinggi dari Argopuro, apalagi ia generasi yang sama sekali tak akrab dengan teknologi.
Digitalisasi menuntut presisi. Setiap penebusan harus menggunakan KTP asli, foto wajah petani secara real-time, dan pelacakan posisi GPS.
“Masalah terbesar di pelosok adalah kebiasaan. Banyak petani sepuh yang lupa membawa KTP, atau datanya belum sinkron di e-RDKK. Karena jalannya jauh dan susah, saya sering merasa iba kalau harus menyuruh mereka pulang lagi mengambil kartu,” cerita Bu Da.
Namun, ia sadar bahwa ketegasan adalah bentuk kasih sayang yang lebih besar. Ia mulai berperan sebagai edukator. Di sela melayani pembeli, ia menjelaskan bahwa sistem ini adalah pelindung petani. i-Pubers memastikan bahwa tidak ada lagi oknum yang bisa mencuri jatah pupuk mereka. Setiap butir pupuk yang keluar dari kios kini memiliki jejak digital.
Transformasi digital ini memangkas jarak antara kebijakan di Jakarta dengan realitas di area lahan tanam. Tak ada lagi laporan manual yang melelahkan atau risiko manipulasi data. Segalanya menjadi transparan, adil, dan tepat sasaran.
Distribusi dan Sinergi di Balik LayarKelancaran yang dirasakan petani di Tlogosari adalah hasil dari sinkronisasi tanpa henti antara kios, distributor, dan pengawas. Di Situbondo, orkestra ini dipimpin oleh tangan dingin seperti Rian (pihak Perwakilan Pupuk Indonesia Situbondo) dan Bayu sebagai pengawas lapangan.
“Kami memastikan pasokan ke daerah terpencil seperti Sumbermalang tidak boleh terputus,” ujar Pak Bayu dalam sebuah koordinasi lapangan. “Kami menyadari tantangan geografisnya, maka strategi penguatan pelayanan dilakukan dengan memastikan stok di kios selalu tersedia sebelum puncak musim tanam tiba.”
Koordinasi ini melibatkan asisten distributor seperti Ali, yang bertanggung jawab mengatur jadwal truk pengangkut pupuk. Di tengah cuaca ekstrem yang sering melanda lereng gunung, komunikasi yang lancar menjadi kunci.
“Jika ada kendala jalan longsor atau badai besar yang sering terjadi di wilayah kios – kios di Kecamatan Sumbermalang, tim segera mencari jalan keluar agar distribusi tetap berjalan,” kata Ali, terpisah.
Stok tahun 2025 di Kios Dua Putra mencapai angka 135 ton. Jumlah yang sangat besar ini mencerminkan tingginya kepercayaan pemerintah pada kapasitas kios sebagai garda terdepan. Dengan stok yang melimpah dan distribusi yang lancar siap di tempat, keresahan petani akan kelangkaan pupuk yang sering terjadi di tahun lampau kini tinggal sejarah.
Kebijakan Harga yang Memihak RakyatKebijakan distribusi yang lancar harus dibarengi dengan harga yang terjangkau. Di sinilah peran Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Situbondo menjadi sangat krusial. Kepala Dinas, Dadang Aries Bintoro, mengungkapkan bahwa serapan pupuk di wilayahnya merupakan salah satu yang terbaik.
“Hingga pertengahan 2025, serapan Urea sudah mencapai 14.331 ton dari alokasi 29.950 ton. Sedangkan NPK mencapai 12.243 ton. Ini bukti bahwa petani kita sangat produktif dan sistem distribusi di tingkat kios berjalan efektif,” papar Dadang.
Seiring dengan Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 117 Tahun 2025, harga pupuk subsidi pun dipangkas sebesar 20 persen sejak Oktober 2025. Kabid Penyuluhan, Muhammad Zaini, menegaskan bahwa Harga Eceran Tertinggi (HET) terbaru— Rp 1.800/kg untuk Urea dan Rp 1.840/kg untuk NPK adalah harga yang harus dipatuhi semua kios.
“Kami melakukan pengawasan hingga ke pelosok. Jika ada kios yang berani bermain harga di atas HET, sanksinya tegas: pencabutan izin usaha. Petani tidak boleh lagi dirugikan oleh praktik-praktik curang,” tegas Zaini.
Namun, Zaini juga menunjukkan sisi empati terhadap kondisi geografis. Di daerah perbukitan, biaya transportasi dari kios ke rumah petani yang berada di puncak gunung seringkali menjadi kendala tersendiri.
“Jika ada selisih biaya kecil untuk jasa angkut, itu adalah hal yang lumrah asalkan merupakan kesepakatan bersama untuk jasa logistik, bukan kenaikan harga pupuknya itu sendiri,” tambahnya.
Kios sebagai Pilar Peradaban DesaUntuk membedah fenomena ini dari sudut pandang akademis, Dr. Sujarwo, S.P., M.P., pakar ketahanan pangan dari Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (UB), memberikan analisisnya. Menurutnya, peran kios saat ini bukan lagi sekadar tempat dagang, melainkan instrumen kedaulatan pangan dan buffer ekonomi desa di tengah transformasi teknologi.
”Statemen ini sangat ideal dan seharusnya demikian. Dengan posisi ini, artinya PT Pupuk Indonesia (PIHC) sebagai BUMN dan pemain utama harus membina kios-kios ini menjadi ujung tombak penguatan supply chain distribusi pupuk di sisi hilir yang bersentuhan langsung dengan petani,” urai Sujarwo kepada beritajatim.com.
Ia menjelaskan bahwa kehadiran sistem REKAN aplikasi manajemen stok yang dikembangkan PIHC memudahkan kontrol stok hingga level retailer. Jika stok di suatu wilayah menipis, sistem akan mendeteksi dan mempercepat pengisian. Lebih jauh, Sujarwo menekankan bahwa PIHC memikul tanggung jawab pengendalian harga pasar melalui evaluasi periodik keseimbangan supply dan demand.
”Bersatunya fungsi PIHC sebagai supplier dengan kemampuan menjangkau retailer, serta perannya meningkatkan kapasitas kios sebagai pusat transfer pengetahuan teknologi digital ke petani, akan menjadi faktor kunci sustainabilitas ketahanan pangan nasional,” tambahnya.
Menurut Sujarwo, potensi Kios Pupuk Lengkap (KPL) sebagai agen mempercepat digitalisasi perdesaan adalah fungsi yang sangat strategis. Teknologi digital harus digunakan untuk transparansi informasi ketersediaan, kepastian harga, dan menghilangkan faktor ketidakpastian bagi petani.
”Interaksi ekonomi yang transparan akan membawa implikasi sosial berupa kepercayaan dan ketenangan dari rasa dicurangi. Karena data tersentral sampai ke pusat, petani nantinya bisa memantau ketersediaan jatah mereka sewaktu-waktu,” terangnya.
Namun, ia memberi catatan pada implementasi i-Pubers. Meskipun strategis, penetapan titik koordinat sawah (locus) memang penting, namun memaksakan langsung digitalisasi luasan lahan secara kaku dianggap kurang strategis karena rentan bias akurasi data. Ia menekankan pentingnya peran penyuluh dan kelompok tani agar bertransformasi menjadi lembaga lokal yang memberdayakan petani.
Sujarwo menyimpulkan bahwa kios adalah agen paling ujung untuk memastikan prinsip 6T (Tepat Jenis, Mutu, Jumlah, Waktu, Harga, dan Sasaran).
“Jika ini berfungsi baik, kendala pupuk teratasi dan petani lebih baik dalam memitigasi perubahan iklim hingga serangan hama. Dengan majunya pertanian, secara tidak langsung kemiskinan ekstrem di perdesaan akan tereduksi,” kata Sujarwo.
Melawan Mafia, Menjaga KedaulatanDi tingkat nasional, komitmen untuk menjaga petani ditegaskan oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. memahami bahwa distribusi pupuk adalah rantai yang rawan diselewengkan. Oleh karena itu, kanal pengaduan WhatsApp Lapor Pak Amran di nomor 082311109390 diluncurkan untuk memberikan perlindungan langsung kepada petani.
“Identitas pelapor kami jaga. Bila ada penyimpangan seperti pupuk palsu atau harga di atas HET, kami akan tindak tegas. Kita harus lindungi 160 juta petani Indonesia. Yang melapor adalah pahlawan pangan,” tegas Mentan Amran.
Langkah tegas ini telah membuahkan hasil dengan dicabutnya izin 190 kios pengecer dan distributor di seluruh Indonesia yang terbukti melakukan pelanggaran. Semangat perang terhadap mafia ini dirasakan hingga ke pelosok Situbondo, menciptakan rasa aman bagi kios jujur seperti Kios Dua Putra.
Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, juga menambahkan bahwa inovasi yang dilakukan Pupuk Indonesia telah memberikan kontribusi finansial yang signifikan melalui efisiensi. “Inovasi ini menghasilkan tambahan pendapatan Rp500 miliar dan efisiensi Rp130 miliar bagi negara. Namun yang lebih penting, inovasi ini memastikan petani tidak lagi mengeluh soal ketersediaan pupuk,” ujar Mas Dar, sapaan akrabnya.
Suara dari Ladang TamankursiKembali ke lereng Argopuro, suara petani adalah hakim yang paling jujur. Mohammad Sutep, Ketua Kelompok Tani Melati di Desa Tamankursi, adalah salah satu saksi hidup perjuangan Bu Da. Baginya, Kios Dua Putra bukan sekadar tempat transaksi, melainkan rumah kedua bagi aspirasi petani.
“Dulu, kami sering was-was. Apakah musim tanam kali ini ada pupuk? Tapi sejak Bu Da mengelola kios ini dengan sangat tertib, kekhawatiran itu hilang. Kios Dua Putra sangat kasihan pada petani. Kalau ada yang KTP-nya bermasalah atau datanya belum sinkron di e-RDKK, dia dibantu yang putri yang paling sibuk membantu mengurus ke dinas,” ujar Sutep.
Sutep bercerita tentang sulitnya menjadi petani di daerah terpencil. Hasil panen mereka terutama tembakau dan kopi adalah satu-satunya sumber penghasilan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Jika pupuk mahal atau langka, impian anak-anak lereng Argopuro untuk kuliah bisa kandas.
“Padi kami makan sendiri untuk bertahan hidup. Tapi jagung, kopi, dan tembakau itu untuk masa depan anak. Dengan harga pupuk yang turun 20 persen tahun ini, beban kami sangat berkurang. Kami berterima kasih kepada Pemerintah, dan tentu saja kepada Bu Da yang selalu menjaga stok di sini tetap ada (ksoon se rajeh, terimakasih yang besar.red),” tambahnya.
Sentimen positif juga datang dari Yayan, Ketua Kelompok Tani Mawar, dan Ripin, Ketua Kelompok Tani Edelweis. Mereka senada menyebut bahwa kehadiran aplikasi i-Pubers justru membuat mereka merasa lebih aman. Mereka tidak lagi takut jatah pupuk mereka dimainkan oleh oknum, karena setiap transaksi kini meninggalkan jejak digital yang tidak bisa dimanipulasi.
Menanam Kebaikan, Menuai Masa DepanMalam sudah telah larut, desa Tlogosari sunyi, menyisakan suara angin yang bersiut di antara pucuk-pucuk pohon trembesi. Bu Da duduk sejenak di kursi terasnya sebelum masuk ke dalam rumah. Ia menatap gudang pupuknya yang tersusun meski tak begitu rapi dengan penuh syukur.
Tahun 2025 ini penuh dengan lembaran baru. Dengan target serapan yang diprediksi mencapai 100 persen, ia yakin panen tahun depan akan melimpah. “Harapan saya cuma satu,” tutup Bu Da sembari tersenyum tulus. “Semoga sistem yang sudah baik ini terus dipertahankan. Biarlah kami di garda depan ini yang bekerja keras, asalkan petani tidak lagi merasa susah. Karena kalau petani sejahtera, bangsa ini pun akan kuat.”
Perjalanan sebutir pupuk dari pabrik hingga ke ladang di kaki Argopuro adalah sebuah narasi panjang tentang pengabdian, teknologi, dan cinta pada tanah air. Di tangan orang seperti Umi Kulsum, kedaulatan pangan bukan lagi sekadar jargon politik di layar televisi, melainkan sebuah kerja nyata yang dilakukan dengan hati, di setiap butir urea yang ditebar di atas tanah pertiwi.
Di bawah bayang-bayang Argopuro yang dingin, harapan itu terus tumbuh, menghijaukan ladang, dan menguatkan napas bangsa ini, setahap demi setahap, menuju swasembada yang berkelanjutan. (dan/ian)



