Stop Parenting Urat Leher: Mendidik Anak Tanpa Burnout

kumparan.com
12 jam lalu
Cover Berita

Pukul tujuh malam di banyak rumah sering kali menjadi waktu paling menegangkan. Jam yang seharusnya menjadi ruang transisi dari lelahnya aktivitas seharian justru berubah menjadi ajang tarik-menarik emosi. Orang tua mulai mengingatkan soal pekerjaan rumah, anak merespons dengan wajah masam atau keluhan panjang. Suasana mengeras. Malam ditutup dengan rasa tidak enak di hati—baik bagi anak maupun orang tua.

Situasi ini begitu jamak hingga nyaris dianggap wajar. Ada semacam anggapan tak tertulis bahwa mendidik anak memang harus melelahkan, bahkan menyakitkan. Nada suara meninggi, tubuh remuk di akhir hari, dan emosi yang terkuras sering dipersepsikan sebagai “harga” dari tanggung jawab orang tua.

Padahal, pola asuh yang bertumpu pada tekanan berlebihan justru menyisakan persoalan jangka panjang. Ia mungkin melahirkan kepatuhan sesaat, tetapi belum tentu menumbuhkan kesadaran dan kecintaan anak terhadap proses belajar. Di titik ini, kita patut bertanya: apakah yang sedang kita bangun adalah karakter, atau sekadar respons takut?

Antara Warisan Pola Asuh dan Luka Belajar

Banyak orang tua hari ini adalah hasil dari sistem pendidikan dan pengasuhan yang keras. Kita tumbuh dengan teriakan “ayo belajar” yang lebih sering terdengar sebagai ancaman ketimbang ajakan. Bukan materi pelajaran yang membuat enggan, melainkan suasana tegang yang menyertainya.

Psikologi perkembangan menunjukkan bahwa ketika anak berada dalam kondisi tertekan secara emosional, kemampuan otak untuk menyerap informasi justru menurun. Anak mungkin duduk diam dan mengerjakan tugas, tetapi proses belajarnya tidak optimal. Dalam jangka panjang, relasi yang dibangun di atas tekanan juga berisiko mengikis kedekatan emosional antara orang tua dan anak.

Di sisi lain, orang tua pun tidak luput dari dampaknya. Stres pengasuhan yang menumpuk dapat memicu kelelahan emosional (burnout), membuat peran mendidik terasa sebagai beban, bukan relasi yang bertumbuh bersama. Karena itu, pendekatan yang lebih berkelanjutan menjadi kebutuhan, bukan kemewahan.

Menggeser Peran: Dari Pengendali Menjadi Pendamping

Mendidik anak tidak selalu identik dengan kerja keras yang menguras energi. Justru, strategi yang tepat sering kali menghasilkan dampak yang lebih besar dengan upaya yang lebih terukur.

Salah satunya adalah memberi pilihan terbatas. Alih-alih pertanyaan terbuka yang memicu negosiasi tanpa akhir, orang tua dapat menawarkan dua opsi yang sama-sama mengarah pada tujuan. Cara ini memberi anak rasa memiliki kendali atas keputusan kecil, tanpa menghilangkan batasan yang dibutuhkan.

Selain itu, membangun sistem dan rutinitas jauh lebih efektif dibandingkan instruksi berulang. Jadwal visual atau kesepakatan bersama mengenai waktu belajar membantu anak memahami ekspektasi tanpa harus diingatkan dengan nada tinggi setiap hari.

Pendekatan lain yang kerap terlupakan adalah membalik peran sesekali: membiarkan anak menjelaskan kembali pelajaran yang dipelajarinya. Saat anak “mengajar”, ia tidak hanya mengulang materi, tetapi juga membangun kepercayaan diri dan pemahaman yang lebih dalam. Orang tua pun dapat hadir sebagai pendengar dan pemberi dukungan, bukan sumber tekanan.

Teknologi juga dapat dimanfaatkan secara bijak. Video pembelajaran atau aplikasi edukatif bukan pengganti peran orang tua, melainkan alat bantu. Dengan demikian, orang tua tidak harus memikul seluruh beban sebagai “guru serba tahu”, tetapi tetap hadir sebagai pendamping emosional.

Mendidik Tanpa Kehabisan Napas

Pengasuhan adalah perjalanan panjang. Jika seluruh energi dihabiskan dalam kemarahan dan kontrol berlebihan di masa awal, orang tua berisiko kehabisan daya saat anak memasuki fase remaja—fase yang justru menuntut dialog, kepercayaan, dan kedekatan emosional.

Koneksi seharusnya mendahului koreksi. Anak yang merasa aman dan dihargai cenderung lebih terbuka dan kooperatif. Dengan mengurangi konflik yang tidak perlu, orang tua menyisakan ruang untuk kehangatan, percakapan, dan kebersamaan yang bermakna.

Mungkin sudah waktunya kita mengakhiri romantisasi “parenting urat leher”. Orang tua yang efektif bukanlah mereka yang paling keras suaranya, melainkan yang paling tepat strateginya. Mendidik anak tidak harus selalu melelahkan, apalagi menyisakan luka emosional.

Perubahan bisa dimulai dari langkah kecil: menurunkan nada bicara, mengubah perintah menjadi pilihan, dan hadir dengan kesadaran penuh. Sebab pada akhirnya, anak mungkin lupa pada detail pelajaran yang diajarkan, tetapi mereka akan selalu mengingat bagaimana rasanya tumbuh bersama orang tua yang membuat mereka merasa aman.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pemprov Targetkan 350 Ribu Wisatawan Kunjungi Banten Saat Nataru
• 3 jam laludetik.com
thumb
Kenapa Banyak Orang Indonesia Merasa Kembung Setelah Minum Susu?
• 13 jam lalukumparan.com
thumb
Hujan Salju Langka Turun di Arab Saudi, Pertama Kali dalam 30 Tahun
• 4 jam laluidxchannel.com
thumb
Anggota Komisi V DPR RI Fraksi PAN Sebut Perlu Perlakuan Tegas untuk Pengguna Jalan di Masa Nataru
• 12 jam lalukompas.tv
thumb
Hukuman Penjara 1.000 Tahun Lamanya untuk Gangster El Salvador
• 17 jam laludetik.com
Berhasil disimpan.