EtIndonesia. Washington kembali membunyikan alarm yang sama—dan kali ini nadanya semakin tegas. Penilaian terbaru badan intelijen Amerika Serikat menyimpulkan bahwa tujuan Presiden Rusia, Vladimir Putin dalam melancarkan perang Rusia–Ukraina sejak awal hingga kini tidak pernah berubah.
Perang ini, menurut intelijen AS, bukan sekadar alat tawar-menawar diplomatik, dan juga bukan semata untuk mengamankan wilayah yang saat ini telah dikuasai Rusia. Sasaran strategis Kremlin dinilai jauh lebih besar: menguasai seluruh Ukraina, serta membuka kembali ruang pengaruh Rusia atas wilayah-wilayah Eropa yang pernah berada di bawah Uni Soviet.
Evaluasi Intelijen AS: 20% Wilayah Ukraina Bukan Tujuan Akhir
Laporan Reuters pada 19 Desember 2025 mengungkapkan bahwa kesimpulan tersebut berasal dari sebuah evaluasi intelijen komprehensif yang telah diselesaikan sejak September 2025.
Dalam penilaian itu, badan intelijen AS secara eksplisit menyatakan bahwa sekitar 20% wilayah Ukraina yang saat ini diduduki Rusia hanyalah pencapaian sementara, bukan tujuan akhir perang.
Kesimpulan ini segera mendapat perhatian serius di tingkat legislatif. Anggota Demokrat dari Komite Intelijen DPR AS, Mike Quigley, menegaskan bahwa informasi intelijen yang terus diterima Washington secara konsisten menunjukkan ambisi Putin jauh melampaui apa yang tampak di medan tempur saat ini.
Eropa Lebih Merasakan Ancaman Langsung
Kekhawatiran ini tidak hanya hidup di Washington. Para pemimpin Eropa justru merasakannya secara lebih konkret dan mendesak.
Polandia disebut sebagai negara yang paling yakin bahwa Rusia menyimpan ambisi ekspansionis jangka panjang. Negara-negara Baltik—Estonia, Latvia, dan Lituania—meski bersikap lebih tenang, secara realistis mengakui bahwa mereka berpotensi menjadi garis depan pertama jika konflik meluas.
Karena itu, meskipun di medan perang muncul fase tarik-ulur dan wacana perundingan semakin sering terdengar, kewaspadaan Barat terhadap Rusia sama sekali tidak mengendur.
“Pembebasan Historis”: Pernyataan Putin yang Mengubah Makna Konflik
Kecemasan Barat semakin diperkuat oleh pernyataan langsung dari Moskow. Pada 18 Desember 2025, kantor berita Sputnik melaporkan bahwa Putin, dalam rapat perluasan Dewan Keamanan Nasional Rusia, menyatakan bahwa jika pihak luar menolak dialog substantif, Rusia akan mencapai “pembebasan historis” melalui cara militer.
Istilah ini segera memicu tafsir luas. Dalam pembacaan konservatif, pernyataan tersebut menandakan perluasan target militer Rusia dari Donbas ke seluruh Ukraina. Namun, skenario yang lebih mengkhawatirkan adalah jika istilah itu digunakan untuk membenarkan pencaplokan paksa Ukraina secara penuh—sebuah negara berdaulat yang memiliki kursi resmi di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Jika logika ini diterima, maka preseden berbahaya akan tercipta: hari ini Ukraina, besok Asia Tengah, lalu Belarus, dan pada akhirnya negara-negara Baltik.
Inilah sebabnya, bagi Washington dan Eropa, pernyataan tersebut bukan sekadar retorika keras, melainkan sinyal strategis tingkat tinggi.
Perundingan Miami Dimulai di Tengah Nada Keras Moskow
Dalam konteks ini, putaran baru dialog dan konsultasi terkait perang Ukraina resmi dimulai pada akhir pekan 20–21 Desember 2025 di Miami, Amerika Serikat.
Utusan ekonomi Rusia, Dmitriev mengonfirmasi keberangkatannya ke Miami melalui platform X pada 20 Desember, hampir bersamaan dengan tibanya delegasi Ukraina dan perwakilan negara-negara Eropa.
Namun, tepat sehari sebelum perundingan, Putin lebih dulu “menentukan nada”. Pada 19 Desember 2025, dalam konferensi pers tahunan berdurasi berjam-jam yang disiarkan langsung, dia kembali menolak tanggung jawab atas perang, mengulang narasi lama bahwa konflik bukan dimulai oleh Rusia.
Putin tetap menyebut perang ini sebagai “operasi militer khusus”, memuji kemajuan pasukan Rusia, dan menyatakan keyakinannya bahwa Rusia akan meraih kemenangan baru sebelum akhir tahun.
Ketika ditanya langsung oleh jurnalis Amerika mengenai tanggung jawab atas korban jiwa yang sangat besar, Putin menegaskan bahwa Rusia tidak perlu memikul tanggung jawab tersebut, dan kembali menyalahkan Ukraina.
Dia bahkan menyampaikan syarat terselubung: jika Ukraina menggelar pemilihan presiden, Rusia akan menghentikan serangan terhadap target strategis pada hari pemungutan suara.
Bagi banyak pengamat, pernyataan ini menunjukkan bahwa rezim Putin tidak memberikan ruang kompromi, bahkan secara simbolis.
Sikap AS Lebih Realistis, Optimisme Diturunkan
Di sisi lain, sikap Amerika Serikat menunjukkan perubahan halus. Dalam konferensi pers akhir tahun pada 20 Desember 2025, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio menurunkan ekspektasi publik terhadap hasil perundingan.
Rubio menegaskan bahwa AS tidak akan memaksa Ukraina maupun Rusia untuk menerima perdamaian. Peran Washington, katanya, adalah memahami batas kompromi masing-masing pihak dan melihat apakah kesenjangan dapat dipersempit.
Pernyataan ini mencerminkan pendekatan yang lebih realistis: perundingan Miami lebih menyerupai uji coba diplomatik, bukan jalan pintas menuju akhir perang.
Perang Memasuki Hari ke-1.397, Medan Tempur Tetap Brutal
Per 21 Desember 2025, perang Rusia–Ukraina telah memasuki hari ke-1.397. Pertempuran masih berlangsung intens di berbagai sektor.
- Svatove–Kreminna: serangan Rusia gagal menembus pertahanan Ukraina
- Pokrovsk: medan paling brutal; Ukraina bertahan dan menekan balik, Rusia menanggung kerugian besar
- Kupiansk: Ukraina unggul secara taktis dan mempersempit lebar front Rusia
- Zaporizhzhia – Huliaipole: situasi kritis, namun Ukraina melancarkan serangan balik
- Chasiv Yar & Konstantynivka: Ukraina merebut kembali wilayah dengan dukungan tank
Pada 19 Desember, Ukraina melancarkan serangan besar terhadap Divisi Lintas Udara ke-76 Rusia di Pokrovsk, menghancurkan sekitar 20 kendaraan lapis baja dengan kombinasi drone, HIMARS, robot darat, dan rudal antitank.
Serangan drone jarak jauh Ukraina juga menghantam fasilitas minyak Rusia dan menghancurkan dua jet Su-27 di Pangkalan Udara Belbek, Krimea—menandai perubahan signifikan dalam wajah peperangan modern.
Eropa Menginstitusionalisasikan Ketakutan Keamanan
Setelah Rusia menolak tiga tuntutan utama Uni Eropa, sikap Brussel berubah drastis. Pada 17 Desember 2025, Uni Eropa meloloskan undang-undang yang mempercepat mobilisasi pasukan dan peralatan berat lintas negara.
Delapan negara Eropa garis depan NATO segera berkoordinasi di Finlandia untuk membahas peningkatan anggaran pertahanan dan ancaman non-konvensional Rusia, termasuk serangan siber dan operasi abu-abu.
Eropa kini tidak lagi menunggu perdamaian datang dengan sendirinya. Dari hukum hingga anggaran, dari koordinasi militer hingga kebijakan industri pertahanan, Eropa sedang bersiap menghadapi kemungkinan konflik besar di masa depan.
Ketidakpastian terbesar bukan lagi apakah Eropa siap menghadapi konfrontasi—melainkan kapan dan dalam bentuk apa ketegangan ini akan diuji oleh kenyataan.




