Pengadilan Kanton Zug, Swiss, untuk pertama kalinya menerima gugatan iklim terhadap perusahaan besar. Pengadilan mengabulkan seluruh permohonan dalam gugatan yang diajukan oleh empat nelayan Pulau Pari, Indonesia, terhadap perusahaan semen multinasional asal Swiss, Holcim.
Keputusan tersebut disampaikan pada 22 Desember 2025, menandai keberhasilan sementara bagi para penggugat dan upaya penegakan keadilan iklim. Para nelayan menuntut kompensasi dari Holcim atas dampak perubahan iklim yang dialami, dukungan pendanaan untuk perlindungan banjir, serta penurunan emisi CO2 secepatnya.
Gugatan iklim empat warga Pulau Pari, yakni Asmania, Arif, Edi, dan Bobby, diajukan pada akhir Januari 2023. Sidang pertama digelar sejak awal September 2024. Dalam putusannya kemarin, Pengadilan Kanton Zug menolak seluruh keberatan prosedural Holcim dan menyatakan gugatan tersebut dapat diterima secara penuh.
Pengadilan menilai para penggugat berhak memperoleh perlindungan hukum karena perubahan iklim berdampak langsung terhadap kehidupan dan mata pencaharian mereka.
“Kami sangat bersyukur. Keputusan ini memberi kami kekuatan untuk melanjutkan perjuangan. Ini kabar baik bagi kami dan keluarga kami,” kata Asmania, dalam keterangan resmi dikutip Selasa (23/12).
Pulau Pari, tempat tinggal keempat nelayan tersebut, dalam beberapa tahun terakhir sering dilanda banjir rob yang disebabkan oleh perubahan iklim. Holcim menjadi salah satu perusahaan yang telah berkontribusi signifikan terhadap krisis iklim global melalui emisi karbon dalam jumlah besar dan terus menerus.
Perkara “Iklim” Dinilai MendesakPengadilan Kanton Zug, Swiss menolak argumen Holcim yang menyatakan isu perlindungan iklim seharusnya diselesaikan melalui proses politik, bukan melalui pengadilan. Menurut majelis hakim, putusan pengadilan tidak menggantikan kebijakan iklim pemerintah, tapi justru melengkapinya.
Perkara ini dinilai bukan menyangkut kebijakan iklim Swiss secara umum, melainkan tuntutan konkret masyarakat Pulau Pari. Pengadilan menyatakan kepentingan para penggugat agar Holcim menurunkan emisinya bersifat “mendesak dan relevan.” Dengan demikian, keempat penggugat dinyatakan berhak untuk membawa perkara ini ke pengadilan.
Pengadilan juga menolak dalih bahwa Pulau Pari akan tenggelam apa pun yang terjadi. Majelis hakim menegaskan bahwa “setiap upaya pengurangan emisi tetap penting dalam menghadapi perubahan iklim.”
Argumen bahwa pengurangan emisi Holcim dapat digantikan oleh peningkatan emisi dari perusahaan lain juga tidak diterima. Pengadilan pun menegaskan bahwa “Perilaku yang merugikan tidak bisa dibenarkan hanya karena banyak pihak lain melakukan hal yang sama.”
Putusan ini membawa para penggugat lebih dekat pada tujuan mereka, yakni memperoleh perlindungan bagi masa depan pulau tempat tinggal dan keberlanjutan hidup mereka. Selain itu, ini menegaskan pentingnya mendorong pembagian beban perubahan iklim yang adil, di mana pihak-pihak yang bertanggung jawab atas krisis iklim harus menanggung biayanya, bukan memaksa masyarakat yang terdampak menerima dampaknya.
WALHI menilai putusan dismisal ini menjadi preseden penting bagi korban krisis iklim dan gerakan iklim global. Pengadilan Kanton Zug, Swiss, juga menegaskan setiap orang memiliki perlindungan hukum karena krisis iklim yang dialami oleh mereka, melalui gugatan.
“Putusan ini dalam konteks global menjadi preseden untuk menarik dan menuntut pertanggungajawaban korporasi besar yang berkontribusi terhadap krisis iklim.” tutur Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Boy Jerry Even, dalam pernyataan tertulis, Selasa (23/12).
Putusan baik ini datang di tengah situasi buruk bencana ekologis dan iklim yang menimpa Sumatra. Kata Boy, ini jadi preseden baru untuk membawa korporasi besar untuk bertanggung jawab atas krisis iklim dan bencana iklim yang terjadi.
Menguatkan Arah Perkembangan HukumMeski menjadi putusan pertama di Swiss yang menerima gugatan iklim terhadap perusahaan besar, keputusan Pengadilan Kanton Zug ini dinilai sejalan dengan perkembangan hukum internasional. Pengadilan di berbagai negara semakin mengakui perubahan iklim sebagai isu hukum, dan perusahaan besar penghasil emisi gas rumah kaca mulai dimintai pertanggungjawaban.
Putusan ini belum bersifat final dan masih dapat diajukan banding ke Pengadilan Kanton Zug, Swiss. Namun, keputusan ini memperkuat tren global dan mempersempit ruang bagi perusahaan besar untuk menghindari tanggung jawab iklim melalui celah prosedural.
Kasus ini didukung oleh WALHI, Swiss Church Aid (HEKS/EPER), European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR), yang mendorong prinsip bahwa pihak-pihak penyebab krisis iklim juga harus menanggung dampaknya.




