EtIndonesia. Ketegangan militer antara Thailand dan Kamboja kembali meningkat tajam hanya beberapa jam setelah berakhirnya Pertemuan Khusus Menteri Luar Negeri ASEAN yang digelar di Kuala Lumpur pada 22 Desember 2025. Kementerian Pertahanan Kamboja secara resmi menuduh Thailand telah melancarkan serangan udara terhadap wilayahnya dengan mengerahkan jet tempur F-16, menghantam sejumlah target strategis di Provinsi Siem Reap dan Preah Vihear.
Menurut pernyataan Phnom Penh, serangan tersebut menyebabkan hancurnya jembatan serta berbagai infrastruktur vital yang dinilai berperan penting bagi aktivitas sipil dan logistik di kawasan tersebut. Tuduhan ini segera memicu reaksi keras di kawasan Asia Tenggara, mengingat serangan itu terjadi tepat setelah forum diplomatik regional yang seharusnya meredakan ketegangan.
Klaim Korban Warga Tiongkok dan Sikap Diam Beijing
Kejaksaan Kamboja menyebut bahwa dalam serangan udara tersebut terdapat warga negara Tiongkok yang mengalami luka-luka. Namun hingga berita ini disusun, otoritas Beijing tidak memberikan pernyataan resmi atau klarifikasi terkait klaim tersebut. Sikap diam ini kemudian menimbulkan spekulasi luas, terutama mengingat besarnya kepentingan ekonomi dan politik Tiongkok di wilayah Kamboja.
Bantahan Thailand: Klaim Bela Diri yang Sah
Pemerintah Thailand dengan tegas membantah tuduhan agresi sepihak. Bangkok menyatakan bahwa serangan udara yang dilakukan Angkatan Udara Kerajaan Thailand merupakan tindakan bela diri yang sah, sebagai respons langsung atas tembakan artileri dan serangan drone yang lebih dulu dilancarkan oleh pihak Kamboja ke arah wilayah Thailand.
Menurut pernyataan militer Thailand, operasi udara tersebut ditujukan secara spesifik pada target yang dianggap mengancam keamanan nasional, dan bukan ditujukan kepada warga sipil.
Tuduhan Balik: Permukiman Sipil Jadi Sasaran
Di hari yang sama, 22 Desember 2025, Kementerian Dalam Negeri Kamboja mengeluarkan tuduhan lanjutan dengan menyatakan bahwa peluru artileri Thailand jatuh ke kawasan permukiman sipil di Provinsi Battambang. Insiden tersebut diklaim menghancurkan satu rumah warga hingga rata dengan tanah serta melukai seorang warga negara Tiongkok.
Thailand belum mengakui tuduhan ini, sementara verifikasi independen atas insiden tersebut masih belum tersedia.
Patung Dewa Hindu Dibongkar di Wilayah Sengketa
Masih pada tanggal yang sama, pasukan zeni Thailand dilaporkan membongkar sebuah patung dewa Hindu di wilayah Chong Ang Ma, kawasan yang menurut Bangkok telah direbut kembali dari kontrol Kamboja. Patung tersebut oleh Thailand dianggap sebagai simbol klaim kedaulatan ilegal Kamboja atas wilayah Thailand, sehingga pembongkarannya dipandang sebagai tindakan penegasan teritorial.
Diplomasi ASEAN dan Rencana Perundingan Militer
Pertemuan Khusus Menteri Luar Negeri ASEAN di Kuala Lumpur pada 22 Desember 2025 berakhir tanpa pengumuman gencatan senjata konkret. Namun, seusai pertemuan, Menteri Luar Negeri Thailand menyatakan bahwa Thailand dan Kamboja sepakat untuk menggelar perundingan militer melalui Komisi Perbatasan Bersama pada 24 Desember 2025.
Perundingan tersebut dirancang untuk membahas mekanisme teknis dan konkret guna memulihkan serta menjaga gencatan senjata yang berkelanjutan.
Thailand menegaskan bahwa kesepakatan gencatan senjata sebelumnya dibuat terlalu tergesa-gesa, tanpa detail operasional yang jelas, sehingga sulit diterapkan di lapangan. Sebaliknya, pihak Kamboja menyatakan kesiapan untuk gencatan senjata tanpa syarat, sebuah pernyataan yang oleh Thailand dinilai tidak menyentuh akar persoalan keamanan.
Pertemuan Bangkok–Beijing: Sikap Tegas Thailand
Pada 22 Desember 2025, Perdana Menteri Thailand, Anutin Charnvirakul bertemu di Bangkok dengan Deng Xijun, utusan khusus Tiongkok untuk urusan Asia.
Dalam pertemuan tersebut, Anutin menegaskan bahwa posisi Thailand tidak berubah dan tetap berpegang pada syarat perdamaian yang telah diajukan. Deng Xijun, menurut pernyataan resmi, hanya menyampaikan sikap prinsipil Beijing yang mengharapkan stabilitas dan perdamaian regional, tanpa meminta Thailand untuk mengalah atau menarik pasukan.
Menariknya, dalam pertemuan ini tidak ada pembahasan terbuka mengenai warga negara Tiongkok yang dilaporkan terluka, sebuah detail yang kembali memicu tanda tanya di kalangan pengamat.
Langkah Kamboja ke PBB: Pertarungan Opini Global
Tak lama berselang, Kamboja mengajukan laporan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, menuduh Thailand menggunakan taktik pengeras suara dan tekanan psikologis terhadap warga sipil. Meski kecil kemungkinan Dewan Keamanan PBB mengeluarkan putusan substantif, langkah ini dinilai sebagai strategi perang opini, bukan upaya hukum murni.
Tujuan utamanya adalah membangun posisi moral dan mengumpulkan modal diplomatik untuk perundingan lanjutan.
Kartu Moral Thailand: Perang Melawan Penipuan Daring
Thailand secara terbuka menyadari bahwa kekuatan utamanya di panggung internasional terletak pada isu pemberantasan penipuan telekomunikasi dan industri abu-abu. Dalam beberapa tahun terakhir, wilayah perbatasan Kamboja kerap dituding sebagai pusat penipuan daring, kasino ilegal, serta kejahatan lintas negara.
Investigasi informal yang beredar di media sosial bahkan menunjukkan bahwa sejumlah institusi di Kamboja memiliki papan nama berbahasa Mandarin, dengan struktur kepemilikan dan operasional yang didominasi warga negara Tiongkok.
Selama operasi militer Thailand dapat dikemas sebagai operasi anti-penipuan, opini internasional cenderung berpihak pada Bangkok. Namun, jika muncul korban sipil atau tuduhan kerja paksa, narasi tersebut berisiko runtuh dan berubah menjadi tudingan agresi lintas batas.
Reaksi Publik Tiongkok: Dukungan Mengalir ke Thailand
Menariknya, gelombang dukungan justru muncul dari warganet Tiongkok. Ribuan komentar membanjiri akun resmi Kedutaan Besar Thailand di Weibo. Salah satu komentar yang viral berbunyi: “Pakai kartu saya saja, hajar para penipu itu.”
Upaya media pemerintah Tiongkok untuk merilis video propaganda militer juga berbalik arah. Kolom komentar dipenuhi sindiran, dengan komentar paling populer berbunyi, “Siapa pun yang menyerang Tiongkok akan dibalas Thailand,” disertai sapaan sinis “Sawadikap, keponakan-keponakan.”
Gambaran Lapangan: Kendaraan Lapis Baja dan Sistem Santunan
Di media sosial, beredar video yang memperlihatkan Angkatan Darat Kerajaan Thailand menggunakan kendaraan lapis baja M113 buatan Amerika Serikat, yang dimodifikasi dengan lapisan bambu dan jaring pelindung tambahan sebagai perlindungan darurat di medan konflik.
Perbandingan sistem santunan militer juga menjadi sorotan. Santunan resmi bagi prajurit Thailand yang gugur dilaporkan mencapai sekitar 300.000 dolar AS, cukup untuk menjamin kehidupan keluarga jangka panjang. Di sisi lain, kompensasi yang diketahui di pihak Kamboja disebut jauh lebih kecil, umumnya berupa penghapusan cicilan rumah sekitar 20.000 dolar AS, ditambah bantuan beras dan hunian sementara berukuran sekitar 10 meter persegi, tanpa jaminan santunan besar yang berkelanjutan.
Pusat Penipuan dan Jejak Teknologi Pengawasan
Di dalam kawasan pusat penipuan, umumnya dipasang kamera pengawas, kawat berduri, serta penjaga bersenjata untuk mencegah korban melarikan diri dan memastikan praktik kerja paksa berjalan. Peralatan pengawasan yang digunakan dilaporkan sebagian besar berasal dari merek Tiongkok, seperti Hikvision dan Dahua.
Dengan dinamika militer, diplomasi, dan perang opini yang saling bertaut, konflik Thailand–Kamboja kini tidak lagi sekadar sengketa perbatasan, melainkan telah berkembang menjadi pertarungan narasi dan legitimasi di tingkat regional maupun global.





