Lamongan (beritajatim.com) – Pemerintah Kabupaten Lamongan mulai mematangkan arah kebijakan Upah Minimum Kabupaten (UMK) 2026.
Selama dua hari, tanggal 22 dan 23 Desember 2025, Dewan Pengupahan Kabupaten Lamongan membedah data ekonomi dan berbagai kepentingan untuk merumuskan besaran upah yang dinilai paling realistis bagi pekerja maupun dunia usaha.
Pembahasan ini menjadi krusial karena UMK tidak hanya menyangkut kenaikan pendapatan buruh, tetapi juga berpengaruh langsung terhadap iklim investasi dan keberlangsungan usaha, khususnya sektor padat karya dan UMKM yang mendominasi struktur ekonomi Lamongan.
Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Lamongan, M. Zamroni, menegaskan bahwa penetapan UMK bukan sekadar agenda tahunan, melainkan keputusan strategis yang dampaknya luas.
Menurut Zamroni, pemerintah daerah berupaya menyeimbangkan kepentingan pekerja dan pengusaha dengan tetap berpegang pada regulasi serta kondisi ekonomi terkini.
“Pemerintah daerah berupaya menjembatani berbagai kepentingan, dengan tetap mengacu pada regulasi yang berlaku serta kondisi ekonomi terkini. Dialog yang konstruktif antara pemerintah, pengusaha, pekerja, dan unsur akademisi menjadi kunci utama agar kebijakan yang dihasilkan dapat diterima secara luas dan diimplementasikan secara efektif,” kata Zamroni, Selasa (23/12/2025).
Dalam forum tersebut, Dewan Pengupahan mengkaji sejumlah indikator utama, mulai dari pertumbuhan ekonomi daerah, inflasi, hingga kemampuan dunia usaha dan kebutuhan hidup layak. Diskusi berlangsung dinamis, dengan perbedaan pandangan yang mencerminkan kepentingan masing-masing unsur.
Sementara itu, anggota Dewan Pengupahan dari unsur akademisi, Dr. Abid Muhtarom, menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lamongan berada di kisaran 4,8 persen, sementara inflasi Jawa Timur sekitar 2,5 persen. Dengan mempertimbangkan dua indikator utama tersebut, pendekatan koefisien alfa menjadi variabel penting dalam menentukan besaran kenaikan UMK.
“Koefisien alfa sebesar 0,7 merupakan pilihan paling rasional dan moderat, karena berada di titik tengah antara kepentingan pengusaha yang mengusulkan alfa 0,5 dan tuntutan serikat pekerja yang menginginkan alfa 0,9,” ujarnya.
Menurutnya, pendekatan moderat penting untuk mencegah lonjakan biaya produksi yang berpotensi menekan dunia usaha, memicu relokasi industri, atau bahkan mengurangi penyerapan tenaga kerja.
“Risiko ini nyata, mengingat banyak pelaku usaha di Lamongan masih berskala kecil dan menengah,” kata pria yang juga Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Lamongan (Unisla) itu.
Di sisi lain, kata Abid, kebijakan tersebut tetap membuka ruang peningkatan kesejahteraan pekerja. Dengan daya beli yang terjaga, konsumsi rumah tangga diharapkan tetap tumbuh dan memberikan efek berantai bagi perekonomian daerah.
“Kebijakan upah tidak bisa dilihat parsial, melainkan bagian dari ekosistem ekonomi daerah, dari konsumsi, produksi, hingga investasi,” tuturnya.
Sedangkan dari perspektif investasi, Abid menambahkan bahwa kepastian dan konsistensi kebijakan pengupahan menjadi sinyal penting bagi investor.
“Hubungan industrial yang stabil dinilai lebih menarik bagi investasi jangka menengah dan panjang,” ucapnya.
Dewan Pengupahan Kabupaten Lamongan selanjutnya akan menyampaikan rekomendasi usulan UMK tahun 2026 kepada Bupati Lamongan. (fak/kun)




