FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Pakar Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof. Amir Ilyas, menanggapi wacana pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait penempatan anggota Polri aktif di jabatan sipil.
Dikatakan Prof. Amir, wacana tersebut harus dikaji secara hati-hati dan berlandaskan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Prof. Amir menekankan pentingnya memahami terlebih dahulu norma dasar dalam Undang-Undang Kepolisian, khususnya Pasal 28 ayat (3) beserta penjelasannya.
“Kita harus tahu dulu bunyi Pasal 28 ayat 3 beserta penjelasannya. Bunyinya, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian,” ujar Prof. Amir kepada fajar.co.id, Selasa (23/12/2025).
Ia menjelaskan, dalam penjelasan pasal tersebut ditegaskan bahwa jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak memiliki keterkaitan dengan tugas-tugas kepolisian.
“Yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri,” sebutnya.
Namun demikian, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 telah membatalkan sebagian frasa dalam penjelasan pasal tersebut.
“Yang dibatalkan oleh MK melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 adalah frasa pada penjelasan yang berbunyi tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri,” tukasnya.
Dari putusan itu, Prof. Amir menegaskan bahwa secara prinsip anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan sipil yang tidak berkaitan dengan tugas kepolisian apabila telah mengundurkan diri atau pensiun.
“Artinya, kalau ada jabatan sipil yang mau ditempati oleh anggota Polri dan itu tidak berhubungan dengan tugas-tugas kepolisian, anggota Polri tersebut harus mundur atau sudah pensiun,” tegasnya.
Sebaliknya, anggota Polri masih dimungkinkan menduduki jabatan sipil tanpa harus mundur atau pensiun sepanjang jabatan tersebut memiliki keterkaitan langsung dengan fungsi kepolisian.
“Sekarang, bisa saja anggota Polri tidak mundur atau tidak pensiun sepanjang jabatan yang hendak diduduki itu ada sangkut-pautnya dengan tugas kepolisian,” imbuhnya.
Meski demikian, Prof. Amir mengatakan bahwa pengaturan mengenai jabatan sipil yang memiliki keterkaitan dengan tugas kepolisian tidak bisa dilakukan secara langsung melalui Peraturan Kapolri (Perkap) maupun PP.
“Dalam hemat saya jika penentuan jabatan sipil yang memiliki sangkut paut dengan tugas kepolisian diatur dengan Perkap atau PP secara langsung tidak tepat,” jelasnya.
Alasannya, ketentuan tersebut harus mengacu pada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), khususnya Pasal 19 ayat (3).
“Mengapa? Sebab Pasal 19 ayat 3 UU ASN mensyaratkan untuk penentuan jabatan sipil ada sangkut pautnya dengan kepolisian harus diatur melalui UU,” Prof. Amir menuturkan.
Ia kemudian mengutip secara langsung norma dalam UU ASN.
“Ini bunyi pasalnya, Pengisian jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik lndonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia,” tambahnya.
Kata Prof. Amir, mekanisme pengaturannya sudah jelas. Substansi jabatan harus diatur dalam undang-undang, sementara aspek teknisnya baru dapat diatur melalui PP.
“Harus diatur dulu dengan melalui UU, baru untuk soal tekhnis tata cara pengisian jabatannya diatur dengan melalui PP (Pasal 19 ayat 4 UU ASN),” ia menekankan.
Karena itu, ia menganggap bahwa langkah pemerintah jika langsung mengaturnya melalui PP adalah keliru.
“Jadi tidak tepat juga Prof. Yusril jika langsung mengaturnya dengan melalui PP,” terang dia.
Sebagai perbandingan, Prof. Amir mencontohkan pengaturan jabatan sipil yang dapat ditempati oleh prajurit TNI, yang telah diatur secara tegas melalui undang-undang.
“Kita bisa mengambil contoh, untuk jabatan-jabatan sipil yang dapat ditempati anggota TNI, sudah diatur dengan melalui UU, yaitu di dalam Pasal 47 UU No. 3/2025 tentang TNI,” bebernya.
“Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/ atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, pencarian dan pertolongan, narkotika nasional, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung,” sambung dia.
Menurut Prof. Amir, kondisi tersebut berbeda dengan Polri, karena penentuan jabatan sipil yang dapat ditempati anggota Polri justru diatur melalui Perkap.
“Nah beda ini dengan Polri, tiba-tiba langsung penentuan jabatan sipil yang dapat ditempati Polri diatur dengan melalui Perkap (Perkap No. 10/2025),” timpalnya.
Ia merujuk pada ketentuan Pasal 3 ayat (2) Perkap No. 10/2025. Terdapat pada Pasal 3 ayat 2 Perkap No. 10/2025, Pelaksanaan Tugas Anggota Polri pada kementerian/lembaga/badan/komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilaksanakan pada Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber Sandi Negara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dari seluruh uraian tersebut, Prof. Amir menyimpulkan bahwa penentuan jabatan sipil yang memiliki keterkaitan dengan tugas kepolisian harus dilakukan melalui revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Ia menambahkan, dalam revisi UU Polri ke depan, pemerintah perlu memberikan penjelasan rinci terkait jabatan-jabatan di kementerian dan lembaga lain yang dapat diisi anggota Polri.
“Saya kira dalam revisi UU Polri nanti, untuk jabatan-jabatan dimaksud di kementerian dan lembaga lain seperti OJK, PPATK, BNN, BNPT, BIN, dan seterusnya,” tegasnya.
“Harus ada penjelasannya untuk jabatan-jabatan yang disebutkan, apa bentuk konkrit dari jabatan tersebut sehingga memiliki sangkut paut dengan tugas kepolisian. Ini perlu agar tidak lagi memunculkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat,” sambung dia.
Sebagai contoh, ia mempertanyakan penempatan anggota Polri di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Misalnya di dalam Perkap 10/2025 tersebut polri bisa ditempatkan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, apa tugas yang akan dilaksanakan di kementerian ESDM, sehingga membutuhkan anggota Polri,” tandasnya.
Lebih lanjut, Prof. Amir juga menyinggung alasan penempatan Polri di kementerian yang kerap dikaitkan dengan penegakan hukum.
Baginya, argumentasi tersebut kurang tepat, mengingat sistem hukum pidana ke depan telah mengakomodasi keberadaan penyidik di luar Polri.
“Saya kira alasan demikian juga kurang tepat, sebab KUHP Baru yang akan berlaku pada 2 Januari 2026 nanti, semua perkara pidana yang berpotensi muncul di kementerian, di sana ada penyidik PPNS yang tetap harus berkoordinasi dengan Polri,” Prof. Amir menekankan kembali.
Karena itu, Prof. Amir bilang, pertanyaan mendasar tersebut harus dijawab secara tegas dalam revisi UU Polri mendatang.
“Pertanyaan ini juga harus dijawab dalam revisi UU Polri ke depannya. Apakah dengan adanya penyidik PPNS di kementerian tertentu, masih perlu ditempatkan anggota Polri di kementerian tersebut, tanpa perlu mundur atau pensiun,” kuncinya.
(Muhsin/fajar)




