JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia mengingatkan pelaku usaha agar tidak menolak pembayaran menggunakan uang tunai dalam setiap transaksi di wilayah Indonesia. Penolakan terhadap rupiah sebagai alat pembayaran berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan.
Dihubungi Selasa (23/12/2025), Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Ramdan Denny Prakoso menegaskan, rupiah merupakan alat pembayaran yang sah dan wajib diterima dalam setiap transaksi di wilayah Indonesia.
”Berdasarkan Pasal 33 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, setiap orang dilarang menolak menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban,” kata Denny dalam keterangan tertulis.
Denny menambahkan, berkembangnya metode pembayaran nontunai tidak menghapus kewajiban pelaku usaha untuk tetap menerima pembayaran tunai. Menurut dia, sistem pembayaran digital bersifat melengkapi, bukan menggantikan peran uang kartal.
Jika mengacu pada beleid soal mata uang, penolakan terhadap pembayaran tunai tidak hanya melanggar ketentuan administratif, tetapi dapat berimplikasi pidana. Pasal 33 Ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2011 mengatur bahwa pihak yang menolak menerima rupiah dapat dikenai pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.
Sementara itu, satu-satunya pengecualian yang dibenarkan undang-undang adalah apabila terdapat keraguan atas keaslian uang rupiah yang digunakan dalam transaksi. Di luar alasan tersebut, penolakan pembayaran menggunakan rupiah, termasuk uang tunai, tidak dibenarkan secara hukum.
Penjelasan BI tersebut diharapkan bisa mengakhiri salah kaprah di kalangan sejumlah pelaku usaha yang menolak pembayaran secara tunai. Persoalan ini sempat menjadi perdebatan di media sosial beberapa hari ini setelah sebuah gerai roti di Jakarta menolak pembayaran tunai yang dilakukan seorang nenek.
Perdebatan dipicu oleh sebuah video pendek yang diunggah di akun Tiktok @arlius_zebua pada Jumat (19/12/2025). Dalam unggahan tersebut, tampak seorang laki-laki memprotes kebijakan gerai Roti’O yang menolak pembayaran tunai seorang nenek yang ingin membeli roti.
”Makanya aku bilang, cash itu harus kalian terima, masa harus QRIS. Nenek-nenek itu, kan, enggak ada QRIS-nya, gimana?”
Peristiwa penolakan pembayaran tunai yang viral di jagat media sosial membuat Purwandari (63), warga Cimahi, Jawa Barat, khawatir kejadian yang sama terjadi pada dirinya saat melakukan perjalanan mudik ke Blora, Jawa Tengah, untuk merayakan Natal bersama keluarga.
Selama perjalanan, Purwandari memilih berhenti di beberapa tempat seperti toko dan rumah makan yang jelas-jelas menerima pembayaran secara tunai. Ia tidak mau ambil risiko jika pembayaran tunai yang ia lakukan nantinya malah ditolak.
”Saya sudah sepuh, tidak terbiasa dengan aplikasi-aplikasi pembayaran nontunai. Harapannya, toko-toko di kota yang kami lewati, termasuk di rest area, tetap mau menerima uang cash,” ujar Purwandari.
Bagi Purwandari yang sudah sepuh, uang tunai masih menjadi alat pembayaran yang paling mudah diakses. Ketergantungan pada pembayaran berbasis aplikasi justru menyulitkan dirinya dan kelompok sepuh lainnya karena mereka tidak akrab dengan teknologi digital.
Putri Purwandari, Anita (32), menambahkan, pembayaran nontunai memang memudahkan sebagian masyarakat, tetapi tidak semua orang berada di posisi yang sama. Menurut dia, kebijakan toko yang hanya menerima pembayaran digital berpotensi menyulitkan kelompok rentan.
”Orangtua saya tidak menggunakan e-wallet. Kalau semua serba nontunai, akhirnya mereka tidak mandiri dan harus selalu bergantung pada pendamping,” kata Anita.
Ia berharap pelaku usaha tetap menyediakan opsi pembayaran tunai agar layanan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk lansia, selama periode libur panjang ataupun di hari biasa.
Di sejumlah destinasi wisata terkenal, pembayaran nontunai memang mendominasi, terutama di gerai, kafe, atau rumah makan besar. Di Yogyakarta, misalnya, sebuah toko es krim terkenal bahkan tidak menerima pembayaran tunai sama sekali. Hal yang sama terjadi di banyak kedai kopi modern di Jakarta dan Bandung.
Akan tetapi, tetap lebih banyak tempat seperti itu yang menerima metode pembayaran tunai ataupun nontunai. Teguh Supriyadi, pemilik warung makan Bale Merapi di Sleman, DI Yogyakarta, misalnya, tetap menerapkan kebijakan menerima pembayaran tunai meski 60-70 persen pelanggannya membayar secara nontunai, baik lewat QRIS maupun transfer.
”Buat saya, sih, mengherankan kalau ada toko atau rumah makan yang hanya menerima transaksi nontunai. Pembayaran tunai, kan, sah, kenapa harus ditolak. Lagi pula menyediakan berbagai alternatif metode pembayaran buat saya adalah bagian dari pelayanan kepada konsumen,” ujar Teguh, Selasa (23/12/2025).
Teguh menambahkan, sebagai pemilik rumah makan, ia bahkan senang jika konsumen membayar tunai. Uangnya bisa langsung ia pakai lagi untuk berbelanja bahan makanan dan minuman di pasar tradisional, mulai ikan, sayur-mayur, hingga bumbu. Ia tidak perlu pergi ke ATM untuk menarik uang tunai sebelum pergi ke pasar.
”Pedagang di pasar tradisional di Yogya justru kebanyakan tidak menerima pembayaran nontunai. Kalaupun punya QRIS, justru mereka umpetin karena mereka ingin uang cash,” ujar Teguh.
Ia menyarankan para pelancong dari daerah lain yang datang ke Yogyakarta tetap membawa uang tunai, terutama jika ingin berbelanja di pasar tradisional. ”Paling tidak, bawa uang kecil untuk parkir sebab parkir di sini belum pakai QRIS,” tambahnya.





