JAKARTA, KOMPAS — Langkah pemisahan aset infrastruktur jaringan fiber optik kian menguat di industri telekomunikasi nasional. Setelah Telkom Indonesia memisahkan bisnis dan aset kabel fiber telekomunikasi ke InfraNexia, kini Indosat Ooredoo Hutchison melakukan hal serupa.
Indosat Ooredoo Hutchison menggandeng Arsari Group dan Northstar Group membentuk perusahaan patungan di bidang jaringan kabel fiber telekomunikasi senilai Rp 14,6 triliun. Lewat perusahaan patungan ini, Indosat memisahkan aset infrastruktur kabel fiber.
Arsari Group, perusahaan investasi yang didirikan oleh Hashim S Djojohadikusumo yang juga adik Presiden Prabowo Subianto, mengumumkan kemitraan dengan Northstar Group (firma ekuitas swasta) dan Indosat, Selasa (23/12/2025), di Jakarta. Melalui skema kemitraan bersama ini, Indosat akan memisahkan aset infrastruktur kabel fiber menjadi FiberCo.
FiberCo diharapkan menjadi bisnis infrastruktur kabel fiber yang mandiri dan terbuka untuk disewa-pakai oleh penyedia layanan telekomunikasi lain, institusi publik, dan perusahaan pengelola data berskala besar (hyperscaler). Nilai perusahaan FiberCo mencapai Rp 14,6 triliun.
FiberCo nantinya akan mengoperasikan jaringan kabel fiber yang komprehensif dan terintegrasi sepanjang lebih dari 86.000 kilometer, mencakup jaringan tulang punggung telekomunikasi, kabel laut domestik, serta infrastruktur kabel yang menghubungkan menara telekomunikasi dan kawasan bisnis. Sejauh ini, komposisi jaringan fiber optik tersebut 45 persen berada di Jawa dan 55 persen di luar Jawa.
Indosat akan mempertahankan kepemilikan saham di FiberCo lebih kurang 45 persen. Sementara 45 persen saham lainnya akan dimiliki oleh Arsari Group dan Northstar Group. Sisanya beredar bebas.
Citi bertindak sebagai penasihat keuangan eksklusif bagi Indosat, sedangkan Goldman Sachs menjadi penasihat bagi Northstar Group untuk transaksi ini.
Dalam konferensi pers, Presiden Direktur dan CEO Indosat Ooredoo Hutchison Vikram Sinha mengatakan, di era akal imitasi (artificial intelligence/AI), infrastruktur kabel fiber telekomunikasi menjadi ”jalan” bagi operasional AI. Dalam beberapa kali diskusi dengan pemain industri teknologi selalu ditekankan pentingnya konektivitas pita lebar, seperti kabel fiber, yang luas dan terjangkau.
“Saya selalu mengatakan, AI adalah mesin, tetapi kabel fiber telekomunikasi adalah jalannya. Inilah yang sedang kami dengan Arsari Group dan Northstar Group mulai bangun bersama hari ini,” ujar Vikram.
Deputy CEO dan Chief Operating Officer di Arsari Group, Aryo PS Djojohadikusumo, mengatakan, AI memiliki lima komponen utama yaitu energi/listrik, cip atau semikonduktor, infrastruktur digital seperti fiber optik dan pusat data, model AI seperti GPT atau Gemini, serta aplikasi di atasnya. Arsari Group mulai masuk ke ekosistem tersebut, seperti investasi di salah satu perusahaan stablecoin dan aset digital.
Bisnis FiberCo nantinya diposisikan sebagai penyedia infrastruktur kabel optik berkapasitas tinggi dengan latensi rendah yang siap mendukung kebutuhan inovasi AI.
“Hari ini, kami mengumumkan investasi pada infrastruktur kabel optik independen di Indonesia. Ini akan dipadukan dengan investasi kami di sektor energi bersih dan terbarukan di berbagai wilayah Indonesia,” kata Aryo.
Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Nezar Patria, yang hadir menyaksikan penandatangan kemitraan tersebut, menyampaikan, pemisahan bisnis infrastruktur jaringan dan servis telekomunikasi merupakan bagian dari praktik baik yang berlangsung di industri telekomunikasi global.
Kesepakatan kemitraan Arsari Group, Indosat Ooredoo Hutchison, dan Northstar Group yang terwujud dalam bisnis FiberCo mengikuti tren itu.
Langkah pemisahan aset infrastruktur jaringan fiber juga sudah dilakukan oleh beberapa operator telekomunikasi Indonesia lainnya. Salah satunya adalah Telkom Indonesia.
Pekan lalu, Telkom resmi menandatangani akta pemisahan sebagian bisnis dan aset wholesale fiber connectivity dari Telkom kepada PT Telkom Infrastruktur Indonesia (InfraNexia). Pemisahan bisnis dan aset ini telah memperoleh persetujuan pemegang saham independen Telkom melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB).
Setelah dilakukan pengalihan sebagian bisnis dan aset wholesale fiber connectivity, InfraNexia akan memiliki lebih dari 50 persen dari total aset infrastruktur jaringan fiber Telkom. Nilai transaksi pengalihan bisnis dan aset fase pertama mencapai Rp35,8 trilliun. Fase pengalihan kedua ditargetkan akan tuntas sepenuhnya pada 2026.
Setelah transaksi ini, kepemilikan saham efektif Telkom di InfraNexia meningkat menjadi sekitar 99 persen. Dengan demikian, Telkom menjadi pemegang saham pengendali di InfraNexia.
InfraNexia diposisikan sebagai perusahaan infrastruktur jaringan fiber yang netral. Artinya, InfraNexia bisa menyediakan layanan wholesale fiber connectivity kepada internal dan eksternal Telkom.
Direktur Utama Telkom, Dian Siswarini, menyampaikan, pemisahan aset dan bisnis wholesale fiber connectivity Telkom ke InfraNexia merupakan langkah strategis. Telkom ingin meningkatkan fokus bisnis, efisiensi operasional, dan nilai tambah dari aset infrastruktur jaringan fiber.
Menyikapi dinamika yang terjadi itu, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi berpendapat, peta persaingan di industri infrastruktur jaringan serat optik Indonesia telah berubah. Beberapa tahun lalu, pasar dikuasai oleh pemain besar seperti Telkom, tetapi sekarang model akses jaringan yang terbuka semakin marak.
Aksi tersebut membuka pintu bagi kolaborasi lintas operator telekomunikasi, mengurangi duplikasi infrastruktur, menekan biaya pembangunan, dan mendorong penetrasi jaringan fiber telekomunikasi menjadi lebih luas, terutama di daerah perdesaan yang sebelumnya kurang terjangkau.
“Latar belakang pelepasan aset dan bisnis infrastruktur jaringan fiber juga dipicu oleh persaingan inovasi layanan,” ujar Heru.
Menurut Heru, perusahaan telekomunikasi yang masuk ke bisnis penyedia infrastruktur jaringan fiber yang independen mempunyai peluang besar, seperti ekspansi pasar ke segmen rumah tangga dan bisnis digital yang haus koneksi cepat. Model independen memungkinkan diversifikasi pendapatan melalui wholesale ke operator lain, plus bermitra dengan investor.
Namun, Heru menyebut perusahaan telekomunikasi yang berbisnis infrastruktur jaringan fiber secara independen harus siap dengan investasi yang besar untuk membangun jaringan. Mereka juga harus siap dengan proses pengembalian investasi yang lambat.
Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sarwoto Atmosutarno memandang, industri telekomunikasi menghadapi tekanan berat karena operator telekomunikasi menjalankan dua fungsi sekaligus, yakni sebagai penyelenggara jaringan dan penyedia layanan (frontroom).
Lalu, rata-rata pendapatan yang dihasilkan dari setiap pengguna atau ARPU cenderung stagnan tetapi konsumsi data internet terus naik sehingga ongkos operasional mereka membengkak. Akibatnya, laba kotor mereka tertekan.
“Jika tren tekanan tersebut berlanjut, keberlanjutan bisnis telekomunikasi terancam,” ujar dia.
Tekanan lainnya, menurut Sarwoto, adalah keputusan operator telekomunikasi melakukan konvergensi layanan jaringan tetap telekomunikasi dan seluler. Sebab, keputusan ini mendorong beberapa perusahaan telekomunikasi membuka atau unlock aset infrastruktur jaringan melalui skema berbagi-pakai jaringan telekomunikasi.
Namun, jika semua operator telekomunikasi besar akhirnya melakukan hal serupa, persaingan di sisi jaringan dan layanan justru akan semakin kompleks. Apalagi, infrastruktur jaringan yang dibagi-pakaikan sebagian besar masih teknologi lama sehingga berisiko menjadi beban baru tanpa solusi hilir yang memadai.





