Bisnis.com, JAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berada di dalam jalur menuju target yang pernah disampaikan oleh Menteri KeuanganPurbaya Yudhi Sadewa di level 9.000.
Berdasarkan data RTI Infokom, pada pukul 16.00 WIB, IHSG ditutup pada posisi 8.584,78 atau turun 0,71%. Sepanjang perdagangan hari ini, IHSG bergerak pada rentang 8.566-8.667.
Tercatat, 275 saham menguat, 373 saham melemah, dan 157 saham bergerak di tempat. Kapitalisasi pasar terpantau naik ke posisi Rp15.717 triliun.
Sebelumnya, Menkeu Purbaya optimistis IHSG dapat menembus level 9.000 hingga akhir kuartal IV/2025. Dia mengatakan fundamental IHSG masih kuat untuk saat ini. Indeks komposit juga masih bertengger di rata-rata harga psikologis 8.000.
"Sekarang berarti 8.000, yang jelas gini, akhir tahun bisa 9.000. Enggak terlalu sulit itu," jelasnya beberapa waktu lalu.
Purbaya mengatakan fondasi ekonomi akan bergerak ke arah yang lebih baik sejalan dengan program-program ekonomi yang dijalankan dengan benar. Lewat kebijakan yang digulirkan, lanjut Purbaya, laju bisnis dan ekonomi RI akan terus ekspansi hingga 8 tahun ke depan.
Lebih lanjut, pasar menyisakan empat hari efektif sebelum berganti tahun. IHSG kembali rebound di awal pekan ini, usai pada pekan sebelumnya mengalami koreksi yang dibarengi merosotnya transaksi.
Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), David Kurniawan menilai peluang IHSG bisa ke level 9.000 masih terbuka. Menurutnya, meskipun terlihat ambisius target ini tetap terbuka selama didorong oleh saham-saham big-cap (perbankan dan infrastruktur) yang memiliki bobot besar terhadap indeks.
"Landasannya, asing tercatat net buy dari Rp1,7 triliun di pasar reguler, menunjukkan adanya akumulasi besar dari investor asing di akhir tahun, Desember 2025 ini," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (23/12/2025).
Menurutnya, jika tren akumulasi asing ini berlanjut dibarengi dengan fenomena window dressing, peluang menembus rekor all time high (ATH) baru di atas 8.777 sangat mungkin terjadi, sebelum menguji level psikologis 9.000.
Katalis pendorong optimisme tersebut adalah fenomena window dressing dan dividen emiten. David mencontohkan, rencana pembagian dividen interim jumbo dari emiten seperti BBRI Rp137 per saham dan ADRO senilai US$250 juta dengan tanggal cum dividend pada 29 Desember, menjadi magnet likuiditas yang sangat kuat.
Kedua, efek pemangkasan suku bunga The Fed sebesar 25 basis poin (bps) di bulan Desember 2025 juga memberikan sentimen positif bagi aliran modal ke pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Sementara itu, dari sisi risiko, David menyoroti adanya potensi profit taking. Setelah penguatan signifikan sepanjang tahun sebesar 22,56% year to date (YtD), menurutnya investor akan cenderung melakukan aksi ambil untung untuk mengamankan portofolio tahunan.
"Kedua adalah ketidakpastian global. Kekhawatiran terkait kesepakatan dagang Indonesia-AS dan kebijakan perdagangan AS masih menjadi risiko yang dipantau pasar," tandasnya.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.





