Jakarta: Komisi Yudisial (KY) memastikan proses seleksi calon Hakim Agung pada 2026 berjalan bebas dari intervensi. Baik dari kekuatan kelembagaan maupun individu.
Ketua Komisi Yudisial Abdul Chair Ramadhan, mengatakan upaya mencegah intervensi dalam seleksi Hakim Agung dilakukan melalui pengawasan berlapis, penguatan partisipasi publik, serta kolaborasi dengan berbagai lembaga untuk menjaga independensi, integritas, dan transparansi dalam setiap tahapan seleksi.
“Terkait pencegahan intervensi dalam seleksi Hakim Agung adalah (perkuat) pengawasan, baik secara internal maupun eksternal. Selain itu, kami membangun konsep bersama dengan berbagai pihak melalui perluasan partisipasi publik,” kata Abdul dikutip dari Media Indonesia, Selasa, 23 Desember 2025.
Abdul Chair menegaskan, KY juga menggandeng berbagai lembaga, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam proses seleksi Hakim Agung. Salah satunya melalui kewajiban pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
“Semua calon Hakim Agung wajib menyampaikan LHKPN. Jika ditemukan peningkatan harta kekayaan yang tidak wajar, itu bisa menjadi indikator adanya tindak pidana korupsi dan harus ditelusuri,” ungkap Abdul Chair.
Ia menilai mekanisme ini tidak hanya bersifat kuratif. Tetapi juga preventif dalam menjaga integritas hakim sejak awal proses seleksi.
“Ini bagian dari fungsi pencegahan untuk membangun harkat dan martabat hakim,” tambah Abdul.
Baca Juga :
Usai dilantik Presiden, Komisioner Pastikan KY Independen“Pengawasan kami sifatnya aktif. Kalau diperlukan, kami akan menurunkan tim pemantau. Selain itu, KY juga memiliki biro investigasi untuk melakukan pendalaman,” kata Abhan.
Abhan menekankan pentingnya peran media dan masyarakat dalam mencegah intervensi, termasuk praktik makelar kasus dan makelar jabatan. Ia menyebut, publikasi dan uji publik terhadap calon Hakim Agung juga akan menekan potensi intervensi.
“Begitu nama calon Hakim Agung diumumkan, kami pantau secara ketat. Profiling calon itu penting, baik sisi negatif maupun positifnya. Partisipasi publik dan media sangat dibutuhkan,” kata Abhan.
Gedung Komisi Yudisial (KY). Foto: Istimewa.
Menurut Abhan, intervensi tidak hanya berasal dari lembaga, tetapi juga dari individu, termasuk pihak-pihak yang bertindak sebagai makelar jabatan.
“Ini yang harus kita pantau bersama, bukan hanya intervensi kelembagaan, tapi juga individu-individu petualang jabatan,” katanya.
Pandangan senada disampaikan Komisioner KY Setyawan. Ia menilai instrumen seleksi calon Hakim Agung sudah berlapis dan cukup kuat untuk mencegah intervensi, selama dijalankan secara konsisten dan transparan.
“Seleksi calon Hakim Agung itu instrumennya sudah berlapis, mulai dari administrasi, kualitas, profil
assessment, hingga rekam jejak,” ujar Setyawan.
Menurutnya, kunci utama adalah transparansi dan akuntabilitas. Sehingga, publik percaya bahwa calon yang lolos memang memenuhi syarat secara objektif.
“Kalau publik atau media melihat rekam jejak calon tidak baik tapi bisa lolos, di situlah peran media untuk mengkritisi agar KY tetap objektif,” kata Setyawan.
Setyawan juga menegaskan, rekomendasi dari pihak manapun tidak bisa dianggap sebagai intervensi selama keputusan akhir tetap didasarkan pada instrumen seleksi yang berlaku.
“Rekomendasi boleh saja datang dari mana pun, tapi selama kami berpegang pada instrumen seleksi, itu bukan intervensi,” ujar Setyawan.

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5446812/original/032244600_1765942364-marcos.jpg)
