Pembubaran acara diskusi buku "#Reset Indonesia" di Kabupaten Madiun akhir pekan kemarin memunculkan tanda tanya. Publik mempertanyakan, apa yang sebenarnya ditakutkan oleh negara dan apa yang bisa dibaca dari peristiwa itu?
Acara diskusi buku #Reset Indonesia yang sedianya diadakan di Pasar Pundensari, Gunungsari, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Sabtu (20/12/2025), dibubarkan oleh aparat, dari camat, lurah, sekdes, Babinsa, dan polsek setempat. Pembubaran dilakukan sesaat sebelum acara dimulai.
”Saat seluruh persiapan telah selesai dan acara hendak dibuka, aparat pemerintah setempat, terdiri dari camat, lurah, sekretaris desa, Babinsa, serta pihak Polsek, datang ke lokasi dan meminta kegiatan dihentikan dengan alasan tidak memiliki izin,” kata Dandhy Laksono, salah satu penulis buku #Reset Indonesia dalam keterangan tertulis, Minggu (21/12/2025).
Acara diskusi buku di Madiun itu diinisiasi oleh sejumlah komunitas lokal dengan menghadirkan tim lengkap penulis buku #Reset Indonesia. Selain Dandhy, ada Farid Gaban, Yusuf Priambodo, dan Benaya Harobu.
Dhandy juga mengungkapkan, panitia penyelenggara telah menyampaikan surat pemberitahuan resmi kepada Polsek Madiun sebelum acara digelar. Namun, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, panitia memutuskan untuk membubarkan diskusi.
Tim penulis buku, lanjut Dhandy, menghormati keputusan panitia penyelenggara diskusi buku. ”Namun, pembubaran paksa terhadap diskusi buku menjadi refleksi serius bagi kondisi demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia,” tegasnya.
Selain itu, menurut Dhandy, diskusi buku #Reset Indonesia di Madiun bukanlah yang pertama digelar. Sejak diluncurkan pada Oktober 2025, buku itu telah didiskusikan di 45 lokasi.
Diskusi dilakukan di berbagai komunitas kampus, sekolah, petani, dan nelayan, mulai dari Jabodetabek, Serang, Sumedang, Bandung, Pangandaran, Purwokerto, Cirebon, Pekalongan, Brebes, Batang, Yogya, Solo, Temanggung, Wonosobo, Banjarnegara.
Pernyataan tertulis tim penulis buku #Reset Indonesia tersebut juga diunggah oleh sejumlah akun di media sosial. Salah satunya akun X @patjarmerah_id pada Senin (21/12/2025).
Sementara itu saat dikonfirmasi, Kepala Kepolisian Sektor Nglames Ajun Komisaris Gunawan mengklaim menerima pemberitahuan acara diskusi buku di Pasar Pundensari itu secara mendadak dan tidak melalui mekanisme resmi. Pemberitahuan melalui pesan singkat dalam bentuk PDF, waktunya mepet, sedangkan tanggal dalam dokumen tak sesuai.
Menurut Gunawan, penghentian kegiatan itu lebih merupakan kebijakan aparatur kecamatan yang menganggap perizinan tidak lengkap. "Dari sisi kami tidak ada pembubaran. Justru kami berkewajiban mengamankan karena ada kerumunan warga. Semua dilakukan secara koordinatif," kata Gunawan. (Kompas.id, 22/12/2025).
Pembubaran diskusi tersebut memantik kritik. Salah satunya datang dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang kini duduk sebagai Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie. Melalui akun X-nya, @JimlyAs, Jimly menyebut bahwa buku #Reset Indonesia merupakan buku yang baik untuk menggugah kesadaran mengenai pentingnya perubahan untuk Indonesia masa depan.
"Petugas lapangan yang melarang diskusi buku yang penting ini harus dikenai sanksi agar jadi pelajaran bagi kemajuan peradaban demokrasi & negara hukum kita yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945," demikian tulisnya.
Peristiwa pembubaran diskusi yang melibatkan aparat kepolisian itu seolah tidak sejalan dengan pernyataan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo dalam pernyataannya di depan dialog publik berjudul "Penyampaian Pendapat di Muka Umum Hak dan Kewajiban, Tindakan Anarkistis Menjadi Tanggung Jawab Hukum di PTIK, Jakarta, pada akhir September 2025 silam. Dalam pidatonya, Sigit meminta kepada jajaran Polri agar adaptif dalam menjaga dan mewujudkan ruang demokrasi yang menjadi hak warga negara.
Mengutip Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Dengan demikian, kehadiran Polri bukan untuk membatasi, melainkan untuk menjamin agar kegiatan tersebut dapat dijalankan secara aman, tertib, dan tidak mengganggu hak warga negara lainnya.
"Sehingga, suara kritis dapat terus disampaikan dalam rangka check and balances sebagai alat kontrol," ujarnya.
Menanggapi peristiwa pembubaran diskusi buku #Reset Indonesia di Kabupaten Madiun, anggota Komisi Kepolisian Nasional M Choirul Anam ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (23/12/2025), berpandangan, Kompolnas menaruh perhatian atas kasus pembubaran diskusi buku yang terjadi di Kabupaten Madiun. Pada prinsipnya, Kompolnas tidak setuju jika anggota kepolisian berperilaku berlebihan dalam menjaga keamanan.
"Iya, memang perlu dievaluasi. Kalau salah, ya, dikasih sanksi," ujarnya.
Terkait peristiwa di Kabupaten Madiun, Anam juga menyodorkan perspektif lain. Menurut dia, bisa jadi pimpinan wilayah seperti seperti lurah, camat, atau bupati bersikap dominan terhadap suatu isu tertentu. Bisa jadi pula para pimpinan wilayah tersebut yang berinisiatif untuk melarang dengan melibatkan kepolisian. Akibat dari hubungan semacam ini, polisi di wilayah tidak punya banyak pilihan selain menjalankan permintaan para pimpinan wilayah setempat.
Anam menegaskan, saat ini secara umum kepolisian sedang mengalami perubahan yang lebih baik. Salah satunya adalah kepolisian menjadi lebih terbuka terhadap berbagai pemikiran dan paradigma.
Polisi disebutnya telah semakin biasa menghadapi berbagai kritik yang disampaikan dalam berbagai diskusi di masyarakat. Bahkan, polisi mau mengundang berbagai kelompok untuk memberikan berbagai masukan.
"Berangkat dari pengalaman kejadian tersebut, ada baiknya memang seluruh wilayah, baik polda maupun polres, ketika ada diskusi, bedah buku, ya dibiarkan saja. Kalau perlu ya diberikan pelayanan, perlindungan. Bahkan kalau punya waktu, kalau itu ada di Polres, ya Polresnya lah ikut diskusi sehingga nambah wawasan, pemetaan, dan menambah ketajaman analisis," tutur Anam.
Di masa Reformasi, peristiwa pelarangan atau pembubaran diskusi sebagaimana terjadi di Madiun bukan pertama kali. Pelarangan acara serupa juga pernah terjadi sebelumnya. Namun, biasanya pelarangan atau pembubaran dilakukan untuk kegiatan-kegiatan yang mengangkat tema atau berkaitan dengan peristiwa 1965. Selain itu, kegiatan yang mengangkat tema terkait tokoh-tokoh yang dianggap berhaluan ”kiri”.
Semisal, pada 2014, acara bedah buku "Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia" yang diselenggarakan di Surabaya dibubarkan oleh sekelompok orang. Di Yogyakarta, masih pada 2014, diskusi film Senyap (The Look of Silence) yang dilangsungkan di beberapa tempat di Yogyakarta dibubarkan oleh sekelompok orang.
Pelarangan lainnya terjadi pada ajang Ubud Writers and Readers Festival 2015, khususnya pada sesi yang membahas peristiwa 1965. Masih pada 2015, acara pembacaan naskah drama dan diskusi “Album Keluarga: #50Tahun1965” di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta akhirnya dibatalkan atas permintaan Polda Metro Jaya. Kemudian pada 2016, acara pemutaran film "Buru Tanah Air Beta" di Goethe Institut Jakarta dibatalkan karena permintaan kepolisian berdasarkan penolakan ormas tertentu.
Pengajar sejarah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Margana, dari perspektif sejarawan, peristiwa pembubaran diskusi buku sebagaimana terjadi di Kabupaten Madiun itu seperti déjà vu atau pengulangan pola-pola kejadian lama di masa Orde Baru. Pada masa itu, negara memiliki kontrol yang ketat terhadap pemiliran-pemikiran alternatif.
"Ini gejala-gejala yang dapat diindentifikasi sebagai lahirnya kembali ototitarianisme. Negara melaui aparatnya melakukan teror terhadap kegiatan-kegiatan intelektual yang diselenggarakan masyarakat," kata Margana.
Menurut Margana, muncul fobia atau kekhawatiran berlebih terhadap pemikiran alternatif yang diformulasikan untuk perbaikan ke depan. Setiap kritik yang muncul pun dianggap sebagai oposisi, bukan sebagai kontribusi untuk mengoreksi langkah negara yang keliru.
Dalam konteks negara, hal itu disebut dengan state phobia. Kondisi itu memperlihatkan munculnya ketakutan dari aparatur negara yang ditimbulkan atas prasangka tanpa melihat, membaca, atau memahami konten atau isi buku yang diusung. Ketakutan atau fobia itu dibangun pada sosok atau siapa yang memproduksi konten, bukan isinya.
Menurut Margana, kontrol yang ketat melalui izin terhadap penyelenggaraan diskusi publik yang kritis merupakan ancaman kebebasan berpendapat dan berpikir. Hal itu bisa merupakan sebentuk demokrasi prosedural yang sebenarnya dapat dibaca sebagai otoritarianisme.
"State phobia ini muncul pada diri kekuasaan yang lemah legitimasinya atau sedang mengalami degradasi moral," ujarnya.




