JAKARTA, KOMPAS — Pengecualian tarif bea masuk Amerika Serikat terhadap sejumlah komoditas unggulan Indonesia dinilai belum cukup meredam dampak tarif resiprokal sebesar 19 persen yang masih dikenakan secara luas. Kebijakan ini dinilai pelaku usaha masih berpotensi menekan daya saing sektor manufaktur padat karya menjelang finalisasi perjanjian dagang bilateral kedua negara.
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menilai pengecualian tarif Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah komoditas unggulan Indonesia, seperti kelapa sawit, kopi, kakao, dan teh, belum cukup untuk menutup dampak tarif resiprokal sebesar 19 persen yang masih dikenakan terhadap produk Indonesia secara umum.
Sekretaris Jenderal Badan Pengurus Pusat Hipmi Anggawira mengatakan, kebijakan pengecualian tarif tersebut memang menjadi kabar baik, terutama bagi sektor agrokomoditas. Namun, manfaatnya bersifat terbatas karena hanya menyasar komoditas tertentu, sementara kerangka besar kesepakatan dagang tetap memuat tarif 19 persen untuk banyak sektor lainnya.
“Pengecualian ini meningkatkan daya saing di ceruk tertentu, terutama komoditas yang tidak atau sangat terbatas diproduksi di AS. Namun, ini tidak otomatis mengompensasi tekanan tarif pada sektor lain, khususnya manufaktur padat karya,” kata Anggawira, saat dihubungi Selasa (23/12/2025).
Menurut dia, sektor perkebunan dan agrokomoditas menjadi kelompok yang paling diuntungkan karena tetap memiliki akses pasar dan ruang margin di AS. Manfaat serupa juga berpotensi dirasakan pelaku industri hilir agro, sepanjang pengecualian tarif benar-benar mencakup produk turunan dan bukan hanya bahan mentah, sebagaimana tertuang dalam dokumen teknis kesepakatan.
Sebaliknya, Anggawira menilai sektor manufaktur berorientasi ekspor ke AS masih berada dalam tekanan. Industri tekstil dan garmen, alas kaki, furnitur, serta sejumlah produk manufaktur barang konsumsi dinilai paling rentan karena tarif 19 persen dapat menggerus margin usaha dan mendorong peralihan pesanan ke negara lain.
Selain itu, industri dengan rantai pasok panjang juga menghadapi tantangan dari penguatan ketentuan asal barang atau rules of origin. Pengetatan aturan ini berpotensi menyulitkan sektor yang masih bergantung pada bahan baku impor tertentu.
Hipmi juga menyoroti sektor mineral kritis yang masuk dalam pembahasan kerja sama Indonesia–AS. Anggawira mengingatkan agar akses pasar dan kerja sama komoditas mineral tidak dimaknai semata sebagai ekspor bahan mentah. Menurut dia, tanpa pengikatan yang jelas, Indonesia berisiko kehilangan momentum hilirisasi.
“Kerja sama mineral kritis harus diarahkan pada penciptaan nilai tambah di dalam negeri, mulai dari investasi pemrosesan, transfer teknologi, hingga pengembangan ekosistem industri,” ujarnya.
Anggawira menekankan, pemerintah dan pelaku usaha perlu memperlakukan pengecualian tarif tersebut sebagai penahan guncangan jangka pendek, bukan solusi final. Ia mendorong penguatan isi dokumen teknis kesepakatan agar mencakup produk turunan, disertai paket kebijakan untuk menopang industri padat karya.
Selain itu, Hipmi menilai diversifikasi pasar ekspor dan kesiapan instrumen pertahanan dagang perlu diperkuat guna mengantisipasi risiko sengketa, tuduhan penghindaran tarif, serta pengetatan aturan perdagangan di pasar AS.
Diberitakan sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan bahwa Indonesia memeroleh perlakuan tarif khusus untuk sejumlah produk ekspor unggulan ke pasar AS, seperti minyak kelapa, minyak sawit, kopi, kakao, dan sejumlah komoditas lainnya. Kebijakan ini dinilai memberi dampak signifikan bagi industri nasional.
Airlangga menjanjikan kesepakatan ini sebagai kabar baik bagi sektor industri dalam negeri, khususnya sektor padat karya yang selama ini terdampak kebijakan tarif. Kesepakatan ini merupakan kelanjutan dari kesepakatan kedua negara pada 22 Juli lalu. AS menurunkan "ancaman" tarif terhadap produk Indonesia dari sebelumnya 32 persen menjadi 19 persen.
”Sektor-sektor yang terkena tarif khusus tersebut merupakan sektor padat karya yang mempekerjakan sekitar 5 juta pekerja. Ini tentu sangat strategis bagi Indonesia,” katanya dalam konferensi pers virtual, Senin (22/12/2025) malam waktu Washington DC atau Selasa (23/12/2025) pagi waktu Jakarta.
Pemerintah Indonesia dan AS menargetkan penandatanganan kesepakatan perjanjian tarif resiprokal atau agreement on reciprocal tariff/ART pada akhir Januari 2026. Dokumen perjanjian tersebut direncanakan ditandatangani langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald Trump.
Seluruh substansi perjanjian dagang bilateral tersebut, lanjut Airlangga, pada prinsipnya telah disepakati kedua negara. Saat ini pembahasan tinggal memasuki tahap penyelarasan bahasa hukum dan penyelesaian teknis dokumen.
”Diharapkan sebelum akhir Januari 2026 dokumen sudah siap untuk ditandatangani secara resmi oleh Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden AS Donald Trump,” ujar Airlangga.
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur, mengatakan, HIMKI menyambut baik upaya Pemerintah RI yang akan menuntaskan negosiasi dengan AS pada akhir Januari 2026. Namun, HIMKI berharap agar Pemerintah RI dapat mengegolkan tarif nol persen bagi sejumlah produk unggulan ekspor Indonesia, termasuk mebel dan kerajinan.
Upaya itu penting mengingat Vietnam dan Malaysia sudah mendapatkan tarif nol persen dari AS untuk sejumlah produknya, termasuk mebel dan kerajinan. Jika tarif resiprokal AS untuk Indonesia masih sebesar 19 persen, maka mebel dan kerajinan Indonesia pasti akan kalah telak.
“Selama ini, kontribusi pasar AS sekitar 50-60 persen dari todal ekspor mebel dan kerajinan Indonesia. Jika Indonesia kehilangan pasar mebel dan kerajinan di AS, sebanyak 2,1 juta pekerja di industri mebel dan kerajinan bisa terkena imbasnya,” katanya.
Sobur menjelaskan, beberapa tahun terakhir ini, Indonesia membuat perjanjian dagang dengan beberapa negara dan kawasan untuk memperluas pasar ekspor Indonesia. Pasar-pasar alternatif itu memang potensial untuk meningkatkan ekspor mebel dan kerajinan Indonesia.
Namun, pasar-pasar alternatif tersebut tidak akan bisa menggantikan pasar mebel dan kerajinan di AS yang cukup besar kontribusinya. Apalagi, mebel dan kerajinan Indonesia saat ini tengah menghadapi tantangan Regulasi Produk Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR).
“Ini bakal menambah tantangan bagi kami. Tarif impor nol persen untuk mebel dan kerajinan Indonesia yang disepakati dalam I-EU CEPA (Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa) belum tentu berlaku karena ada regulasi yang lebih tinggi, yakni EUDR,” kata Sobur.
Bagi HIMKI, lanjut Sobur, mengamankan pasar AS adalah prioritas utama. Kemudian baru mengamankan pasar Uni Eropa. Untuk itu, HIMKI berharap Pemerintah RI bisa bernegosiasi dengan Pemerintah AS agar mendapatkan tarif nol persen untuk produk-produk ekspor unggulan Indonesia yang tidak dapat diproduksi di AS.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total ekspor nonmigas Indonesia ke AS pada Januari-Oktober 2025 senilai 25,56 miliar dollar AS atau 11,46 persen dari total nilai ekspor nonmigas Indonesia. Adapun total impor nonmigas Indonesia dari AS senilai 8,17 miliar dollar AS atau 4,76 persen dari total nilai impor nonmigas Indonesia.
Dengan demikian, pada periode tersebut, Indonesia membukukan surplus neraca perdagangan dengan AS sebesar 17,39 miliar dollar AS. Ekspor Indonesia ke AS didominasi mesin/perlengkapan elektrik, pakaian dan aksesorisnya (rajutan), serta alas kaki. Sementara impor Indonesia dari AS terutama berupa mesin/peralatan mekanis dan bagiannya, biji dan buah yang mendangung minyak nabati, serta mesin/perlengkapan elektrik.




