Kuru Sumange’ Ibu di Tanah Rencong

harianfajar
12 jam lalu
Cover Berita

(Refleksi Hari Ibu)

Oleh: Tutik Sutiawati
Pendidik dan Penggiat Literasi Sejarah “Kassikebo”

Ada peristiwa yang membuat kita terdiam lama. Bukan karena tak tahu bicara apa, tapi karena hati terlalu penuh untuk sekedar diungkapkan dengan kata- kata. Kisah seorang Ibu di tanah Rencong yang mengikat bayinya di dahan pohon sebelum dirinya diseret banjir bandang adalah salah satunya. Di tengah air bah setinggi sepuluh meter, di tengah kayu gelondongan dan lumpur yang menelan rumah- rumah, seorang ibu memilih menyerahkan nyawanya demi kehidupan anaknya.

Ia pergi, tapi cintanya tinggal. Tinggal didada bayi yang selamat. Tinggal di ingatan warga. Tapi juga di hati kita yang mendengar kisah ini dari kejauhan.
Tanggal 26- 27 November 2025, banjir bandang dan longsor melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ribuan nyawa melayang, ratusan ribu orang kehilangan rumah, kehilangan keluarga, kehilangan masa depan. Ini bukan cerita film. Ini bukan drama televisi. Ini Sumatera kita. Ini Indonesia.

Orang Bugis- Makassar punya ungkapan KURU SUMANGE’, jangan biarkan semangat runtuh. Tapi jujur saja, dihadapan angka angka yang terus bertambah, dihadapan lumpur yang telah mengeras, semangat diuji habis habisan. Karena yang kita hadapi bukan sekedar bencana alam, tapi juga bencana cara berpikir.

Putra Penulis, Ahmadanil Jundi, relawan Tim SAR Gabungan, baru bisa masuk ke Aceh Tamiang tujuh hari setelah bencana. Ia mengirim pesan singkat: “lumpur sudah kering, sudah jadi tanah, menggunung keras. Tidak mungkin lagi diatasi dengan tenaga manusia dan alat seadanya”. Harusnya alat berat sudah ada dimana mana.

Tapi realitas berkata lain. Rakyat yang sudah kehilangan segalanya, justru diminta membayar hingga 700 rb rupiah per jam untuk menyewa alat alat berat. Pemerintah sebelumnya menyatakan semua bisa diatasi, bantuan luar tak. perlu. Tapi di lapangan, warga bertahan di tenda buatan sendiri, dari terpal, beralaskan tanah, sampai hari ke -17 pasca bencana. Sampai hari ke- 23 , korban meninggal tercatat 1.067 jiwa. Ratusan ribu lainnya belum ditemukan. Sekitar 139 ribu rumah hancur.

Ini bukan sekadar angka statistik. Ini nyawa. Ini manusia. Kita harus jujur mengakui, ini adalah bencana ekologis paling parah yang kita alami. Hutan digunduli, baik legal, maupun ilegal. Sawit dan tambang dibiarkan membabat hutan tanpa kendali. Saat turun hujan, alam hanya mengembalikan apa yang kita rampas. Bukit runtuh, sungai meluap, rumah hanyut. Keuntungan dinikmati segelintir orang, sementara bencana ditanggung berjuta jiwa.

Lalu apa yang harus kita lakukan ? Pertama, penanganan awal disesuaikan saja dengan kondisi yang ada tapi tetap manusiawi. Dalam kondisi seperti ini, negara harus berani menunda program program yang tidak bersifat darurat. Stop dulu MBG (Makan Bergizi Gratis) selama satu bulan. Jangan salah paham. Program itu baik. Tapi hari ini ada kondisi luar biasa. Dan dalam situasi luar biasa, dibutuhkan keberanian mengambil keputusan luar biasa.

Dana satu bulan MBG bisa dialihkan untuk recovery pasca banjir. Gunakan untuk kebutuhan paling mendesak: tempat tinggal sementara yang layak. Kedua, bangun rumah susun darurat.Tidak perlu mewah. Tidak perlu cantik. Prinsipnya sederhana, 1 KK 1 bilik . Ada atap, ada dinding, aman dari hujan dan panas. Lansia tidak lagi tidur di tanah. Bayi tidak lagi menggigil di tenda bocor. Perempuan tidak lagi was- was setiap malam.

Percayalah, seluruh rakyat Indonesia akan legowo membantu. Orang Bugis bilang, ‘resopa temmangngingi namalomo naletei pammase Dewata’. Kerja keras dan niat baik akan selalu menemukan jalan. Yang penting negara hadir dengan kebijakan yang berpihak. Ketiga, setelah hunian darurat aman, lanjutkan pemulihan sektor ekonomi. Bangun pasar, buka pertokoan rakyat. Dan yang keempat, sektor pendidikan. Anak- anak korban bencana tidak boleh kehilangan masa depan hanya karena sekolah mereka hanyut. Sekolah darurat, ruang belajar sementara, dan dukungan psikososial harus segera disiapkan. Trauma anak- anak jauh lebih berbahaya daripada lumpur yang mengeras.

Semua ini tentu saja tidak bisa selesai dalam semalam. Tapi setidaknya ada arah. Ada prioritas. Ada empati. Di atas semua itu, kita harus belajar. Jangan lagi menjadikan lingkungan sebagai korban pembangunan. Jangan lagi memakai logika lama: ekonomi dulu, lingkungan belakangan. Karena faktanya, ketika lingkungan hancur, ekonomi ikut tenggelam. Rumah hanyut, sawit tak bisa dipanen, tambang lumpuh, pasar mati.

Untuk generasi muda Sulawesi, ini peringatan keras. Jagalah hutan kita dari penjarahan kayu. Kita adalah generasi penerus. Kita mempunyai tanggung jawab moral untuk menjaga yang masih tersisa. Hutan bukan hanya sekumpulan pohon. Ia benteng bencana, rumah satwa, sumber air, dan penghasil oksigen.

Untuk para ibu yang terdampak di wilayah Sumatera, jangan bersedih terlalu lama. Semangatlah ibu, Engkau adalah tiang dari sebuah bangunan. Rumah tak akan roboh jika tiangnya kuat.

Seperti ibu di tanah Rencong itu, yang mungkin raganya hilang tapi sumange’nya tetap hidup. Menjadi pelita, menjadi pengingat, bahwa cinta seorang ibu adalah kekuatan paling dahsyat di muka bumi.

Semoga kesedihan saudara saudara kami di Aceh segera berlalu. Dan semoga negeri ini segera belajar, sebelum ibu- ibu lain kembali harus membayar mahal atas kesalahan yang sama. Selamat Hari Ibu untuk Para Ibu yang ada di Aceh, Sumatera. KURU SUMANGE’.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Vantage Raih Dua Nominasi di Vietnam dan Inggris dalam Ajang Finance Magnates Awards 2025
• 22 jam laluantaranews.com
thumb
Prabowo Kumpulkan Menteri di Hambalang, Bahas Kampung Haji hingga Pasokan BBM di Wilayah Bencana
• 1 jam lalujpnn.com
thumb
PHR Resmi Injeksi CEOR Perdana, Cadangan Blok Rokan Bisa Naik 800 Juta Barel
• 14 jam lalukumparan.com
thumb
PSSI Gandeng Jepang untuk Tingkatkan Kualitas Wasit
• 2 jam lalumedcom.id
thumb
Wakil Kepala BP BUMN Cek Masa Angkutan Nataru di Stasiun Surabaya Gubeng
• 21 jam lalusuarasurabaya.net
Berhasil disimpan.