Oleh: Yusran, M.Pd.
Wakasek Kesiswaan & Keagamaan SMA Islam Athirah 1 Makassar
Seorang ibu adalah fondasi paling awal dalam kehidupan manusia. Ia bukan sekadar sosok yang melahirkan, tetapi jiwa yang menghidupkan nilai, menanamkan harapan, dan mengalirkan cinta tanpa syarat. Dalam diamnya, seorang ibu berjuang melalui pengorbanan-pengorbanan kecil yang sering luput dari perhatian, namun justru menjadi penopang utama tumbuhnya seorang anak. Dari rahim hingga pelukan, dari doa hingga air mata, ibu telah menunaikan tugas kemanusiaannya dengan ketulusan yang tak terhitung.
Perjuangan ibu dimulai jauh sebelum seorang anak mengenal dunia. Masa kehamilan, proses melahirkan, hingga hari-hari panjang merawat dan membesarkan anak adalah bukti pengorbanan fisik dan emosional yang luar biasa. Namun perjuangan itu tidak berhenti pada aspek biologis semata. Ibu adalah pendidik pertama madrasatul ula yang mengenalkan anak pada makna kasih sayang, kesabaran, kejujuran, dan iman. Melalui teladan sikap dan tutur kata, ibu membangun fondasi karakter yang kelak menentukan arah kehidupan anak.
Di sinilah pendidikan di sekolah mengambil peran penting sebagai kelanjutan dari perjuangan seorang ibu. Sekolah bukan pengganti ibu, melainkan mitra strategis dalam menyempurnakan pendidikan yang telah dimulai di rumah. Nilai-nilai yang ditanamkan ibu seperti disiplin, tanggung jawab, adab, dan semangat belajar perlu dirawat, dikembangkan, dan diperkokoh melalui sistem pendidikan yang terarah. Ketika sekolah gagal memahami peran ini, maka pendidikan akan terlepas dari akar kemanusiaannya. Akan tetapi ketika sekolah hadir sebagai ruang yang aman, mendidik, dan memanusiakan, di sanalah perjuangan ibu menemukan maknanya.
Pendidikan formal sejatinya adalah bentuk konkret dari harapan seorang ibu agar anaknya tumbuh menjadi pribadi yang berilmu, berakhlak, dan bermanfaat. Setiap langkah kaki anak menuju sekolah adalah perpanjangan doa ibu yang dipanjatkan di sepertiga malam. Setiap buku yang dibaca dan setiap nilai yang diperoleh bukan sekadar prestasi akademik, melainkan amanah dari pengorbanan panjang seorang ibu. Oleh karena itu, sekolah tidak boleh hanya berorientasi pada capaian kognitif, tetapi juga pada pembentukan karakter dan kepekaan sosial.
Teladan sejarah memberi kita pelajaran berharga, seperti kisah Hajar, ibu Nabi Ismail AS. Dalam keterbatasan dan ujian yang berat, Hajar mendidik anaknya dengan keteguhan iman, kesabaran, dan tawakal. Pendidikan yang berakar pada keteladanan inilah yang melahirkan generasi tangguh dan berperadaban. Nilai-nilai tersebut kini harus diterjemahkan oleh sekolah melalui pendidikan yang menyeimbangkan ilmu, iman, dan akhlak.
Keberhasilan seorang anak di bangku sekolah sejatinya adalah cerminan keberhasilan perjuangan ibunya di rumah. Menghormati ibu tidak cukup dengan kata-kata, tetapi dengan kesungguhan menuntut ilmu dan menjaga akhlak. Menjadi pelajar yang bertanggung jawab, beretika, dan berdaya guna adalah bentuk bakti paling nyata. Sebab di balik setiap keberhasilan pendidikan seorang anak, selalu ada ibu yang diam-diam berdoa dan berjuang tanpa pamrih. (*/)





