Menteri Agama Nasaruddin Umar menanggapi polemik yang tengah terjadi di tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Ia menegaskan, negara tidak boleh terlalu jauh mencampuri urusan internal organisasi keagamaan karena setiap organisasi memiliki mekanisme sendiri untuk menyelesaikan persoalannya.
Hal itu disampaikan Nasaruddin dalam Dialog Media Refleksi Kerja Kementerian Agama Tahun 2025 di Hotel Aryaduta Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (23/12).
“Saya sadar bahwa bangsa Indonesia ini sedang berada pada puncak pembengkakan kualitas. Risiko pembengkakan kualitas kader umat warga negara itu pasti akan banyak dinamika,” ujar Nasaruddin.
Ia memandang dinamika yang terjadi di PBNU saat ini sebagai hal yang wajar dan justru menunjukkan adanya proses peningkatan kualitas kader di internal organisasi.
“Nah, saya pandangannya seperti jadi di NU sekarang ini, PBNU bagi saya tidak ada kejutan luar biasa di situ. Itu satu cara pandang saya lain: ‘Wah, ini krisis terjadi di…’ Kalau saya melihat itu satu bukti bahwa NU sedang panen pembengkakan kualitas, maka satu sama lain berebutan untuk mencoba memperbaiki PBNU,” katanya.
Nasaruddin menegaskan, pemerintah tidak dalam posisi untuk ikut campur dalam persoalan internal NU. Menurutnya, organisasi keagamaan memiliki kemandirian dalam menyelesaikan masalahnya.
“Jadi kita harus melihat sisi-sisi yang lain. Jadi saya juga diminta bicara, ‘Pak Nasaruddin sebagai Menteri Agama apa?’ No, NU itu punya caranya sendiri menyelesaikan setiap persoalan,” ujarnya.
Ia mengibaratkan persoalan internal organisasi keagamaan seperti urusan rumah tangga yang tidak perlu dicampuri pihak luar.
“Seperti rumah tangga kan, jangan ada yang mencampuri urusan rumah tangganya orang. Pagi-pagi dia berkelahi suaminya istrinya, tapi nanti malam pengantin baru lagi. Jadi jangan mencampuri,” kata Nasaruddin.
Menurut Nasaruddin, jika negara terlalu kaku masuk ke urusan keagamaan, hal itu justru berbahaya bagi kehidupan demokrasi dan pemerintahan.
“Kalau negara terlalu masuk secara rigid kepada urusan keagamaan orang, itu artinya tidak terjadi independensi dalam dunia keagamaan dan itu sangat berbahaya untuk pemerintah juga,” ucapnya.
Ia menambahkan, campur tangan berlebihan dapat membuat agama kehilangan peran kritisnya terhadap kekuasaan.
“Agama nanti pada akhirnya akan kehilangan hak kritis, potensi kritis. Dan potensi kritis agama itu penting untuk terjadinya balancing di dalam kehidupan beragama,” katanya.
Meski demikian, Nasaruddin menegaskan tetap ada batasan peran negara dalam mengatur urusan keagamaan, terutama jika sudah menyentuh aspek hukum pidana.
“Jadi ada hak-hak negara untuk mengatur agama kalau sudah misalnya ada konflik yang menjurus kepada pidana, tapi juga ada haknya keagamaan itu mengoreksi pemerintahan kalau itu menyimpang daripada misalnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar ’45,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya menjaga jarak sosial yang seimbang antara pimpinan agama dan pimpinan negara.
“Jadi antara pimpinan agama dan pimpinan negara ini memang harus punya jarak sosial yang sangat balancing dan tidak bisa saling mencampuri,” katanya.
Nasaruddin pun mengingatkan agar tidak terjadi tumpang tindih peran antara tokoh agama dan negara.
“Jangan tokoh agama terlalu masuk ke wilayah birokrasi pemerintahan, tapi juga sebaliknya jangan negara terlalu masuk mengurusi urusan kepercayaan umatnya,” ucapnya.
Menurutnya, prinsip keseimbangan sosial inilah yang tengah dijalankan oleh Kementerian Agama.
“Nah, ini yang kita kerjakan di Kementerian Agama, social balancing ini. Dan itu saya kira bagus ya ada pembagian tugas,” tutup Nasaruddin.




