Menteri Agama Nasaruddin Umar mengungkap besarnya potensi dana umat yang selama ini belum tergarap optimal. Ia menyebut, jika seluruh pundi-pundi keagamaan dikelola secara serius dan terorganisasi, nilainya bisa mencapai Rp1.200 triliun per tahun.
Hal itu disampaikan Nasaruddin dalam Acara Dialog Media Refleksi Kerja Kementerian Agama Tahun 2025 di Hotel Aryaduta Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (23/12).
Menurutnya, Indonesia memiliki “raksasa tidur” berupa dana keumatan yang selama ini belum dibangunkan.
“Kami akan membangunkan macan tidur, kami akan menggali harta karun yang dahsyat di Indonesia ini. Apa itu? Yaitu pundi-pundi keagamaan,” ujarnya.
Nasaruddin menilai, pengelolaan dana umat di Indonesia kalah jauh dibanding sejumlah negara mayoritas Muslim. Ia mencontohkan Yordania, Kuwait, Mesir, hingga negara-negara Teluk seperti Qatar, Oman, dan Dubai.
“Yordania, Kuwait, Mesir, kemudian Dubai, Qatar, Oman. Yang bikin hebat itu adalah pundi-pundi umat itu,” ucapnya.
Ia menyoroti praktik beragama di Indonesia yang menurutnya terlalu menyederhanakan kewajiban finansial umat hanya pada zakat.
“Kita ini hanya zakat, alangkah miskinnya seorang umat Islam itu kalau pengeluarannya hanya zakat. Cuma 2,5% kan,” katanya.
Padahal, kata dia, potensi zakat dan infak sangat besar. Berdasarkan perhitungannya bersama tim, potensi infak umat Islam di Indonesia bisa mencapai Rp500 triliun per tahun, sementara potensi zakat mencapai Rp327 triliun per tahun.
“itu seharusnya zakat kita per tahun itu 327 triliun. Tapi yang baru dikumpulkan Baznas 41 triliun,” ujarnya.
Nasaruddin juga menyinggung persoalan “pembukuan ganda” antara pajak dan zakat yang membuat keduanya tidak optimal. Ia membandingkannya dengan Malaysia yang telah mengatur pembayaran pajak dan zakat secara tegas melalui undang-undang.
“Di Malaysia setelah merubah undang-undang, pembayar pajaknya 100%, pembayar zakatnya juga 100%,” katanya.
Ia berharap ke depan, dana pajak tak lagi digunakan untuk membiayai umat beragama. Menurutnya, umat seharusnya mampu membiayai dirinya sendiri dari dana keagamaan.
“Coba kalau nanti saya itu berharap betul dana yang kita peroleh melalui pajak tidak usah membiayai umat. Biar umat itu membiayai dirinya sendiri,” ujarnya.
Nasaruddin lalu memaparkan berbagai sumber dana keagamaan lain yang dinilai kerap dipandang remeh, mulai dari kurban, fidyah, kafarat, dam haji, hingga iwad perceraian. Ia menyebut, hanya dari kurban saja, potensi dana mencapai Rp34 triliun per tahun.
“Jangan memandang enteng kurban, berapa sapi dan berapa kambing yang mati setiap tahun, itu jumlahnya ternyata 34 triliun,” katanya.
Sementara fidyah, menurut perhitungannya, bisa mencapai lebih dari Rp3 triliun per tahun jika dikelola dengan baik. Bahkan, kafarat di bulan Ramadan disebut berpotensi mencapai Rp500 miliar hanya dalam satu bulan.
Ia juga menyinggung potensi dam haji jika penyembelihan dilakukan di dalam negeri.
“Bayangkan kalau 221.000 jemaah haji per tahun, kita belikan kambing di Indonesia, kambingnya Indonesia, dan kita potong di Indonesia, dagingnya dimakan oleh orang Indonesia. Nah, berapa dana yang dikumpulkan itu? Hitung aja 3,5 juta dikali 221.000 itu berapa triliun itu,” ujarnya.
Jika seluruh pundi-pundi tersebut digabungkan, Nasaruddin meyakini Indonesia tidak perlu bergantung pada pinjaman luar negeri.
“itu kalau kita kumpulkan teman-teman itu kita bisa meng-collect uang itu 1.200 triliun. 50%-nya saja yang 500 triliun, luar biasa itu tidak perlu pinjam ke luar negeri,” katanya.
Ia bahkan menilai persoalan kemiskinan ekstrem di Indonesia bisa diselesaikan. dengan dana umat.
“Kemiskinan kita tahun ini itu kan cuma 20 juta orang miskin mutlak di Indonesia. Data-data statistiknya orang miskin mutlak itu membutuhkan 600.000 per bulan. 600.000 per bulan dikali 20 juta kita butuhkan sekitar 20-an triliun. Separuhnya Baznas saja sudah menyelesaikan orang miskin mutlak, apalagi kalau dimutlakkan zakat itu menjadi 327 (triliun),” ujarnya
Belum lagi dana umat yang bisa dikumpulkan dari agama-agama lain di Indonesia.
“Nah, kalau dana umat Islam saja belum masuk teman-teman dari Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, itu lebih besar lagi ya. Maka itu jangan memandang enteng walaupun teman-teman kita minoritas, gerejanya kecil-kecil tapi saldonya itu jauh lebih banyak daripada masjid besar,” ujarnya
Untuk mewujudkan gagasan tersebut, Nasaruddin mengungkap rencana pembentukan Lembaga Pemberdayaan Dana Umat (LPDU) sebagai payung pengelolaan dana keagamaan. Ia juga mengusulkan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Syariah agar penyaluran dana lebih terkontrol.
“Nanti kalau ada OJK Syariah, harus diteliti semua itu enggak boleh kamu sudah dapat di tempat lain enggak lagi,” kata Nasaruddin.
Menurutnya, pengawasan ketat diperlukan agar dana umat benar-benar tepat sasaran. Ia pun menegaskan, potensi dana umat inilah yang ia sebut sebagai “raksasa tidur” dan “harta karun” Indonesia yang selama ini belum digarap maksimal.



