Kalimat itu beterbangan di kepalaku selama empat hari terakhir. Rasanya isi kepala begitu penuh, berisik, sesak, berteriak ingin segera ditumpahkan. Tapi hatiku berkata lain.
Bukan karena aku tak ingin bercerita, melainkan karena perasaan pelan-pelan mengingatkanku bahwa aku tidak punya tempat untuk pulang dengan ceritaku sendiri.
Jadi mungkin wajar kalau saat pikiran terasa penuh, kepala ikut pusing. Siapa tahu… otakku sedang terasa berat karena terlalu banyak yang kupendam.
Hahaha, mungkin karena nambah berat.
Pernah nggak sih ngerasain kayak gitu? Kepala berat, hati capek, air mata jatuh, tapi nggak punya tempat buat cerita.
Semua orang pasti pernah merasa seperti itu, bukan? Terutama laki-laki, yang sering kali tumbuh dengan kebiasaan memendam.
Bukan karena tidak ingin bercerita, melainkan karena tidak pernah benar-benar diajari ke mana luka harus dibawa. Banyak dari kami belajar untuk diam,menyimpan semuanya rapi di dalam kepala, hingga rasa sakit itu menua bersama napas tanpa pernah sempat diberi nama, tanpa pernah sempat didengar.
Kadang aku bertanya-tanya, berapa banyak luka yang tak pernah terlihat, hanya karena pemiliknya memilih bertahan sendirian. Namun Aku yakin ini masalah yang cukup universal yang bisa dimiliki baik suku, gender, agama, ras manapun.
Lalu terbesit di kepalaku satu pertanyaan sederhana,
namun terasa sulit dijawab:
Mengakui bahwa diri kita sedang tidak baik-baik saja.
Mengakui bahwa diri kita lelah berpura-pura kuat.
Mengakui bahwa ada luka.
yang tidak bisa sembuh hanya dengan diam. mungkin yang paling kutakuti bukanlah dukanya, melainkan keberanian untuk berkata jujur kepada orang lain, dan kepada diri sendiri.
Karena mungkin, selama ini kita tidak benar-benar kehabisan harapan
Dan di sisa-sisa kelelahan itu, kita belajar satu hal kecil. Selama kita masih punya sisa tenaga untuk bernapas, kita masih boleh berhenti sejenak, masih boleh jujur, masih boleh berharap walau kecil.
Tulisan kecil ini sebenarnya kutulis sebagai pengingat untuk diriku sendiri, namun jika ia sampai kepadamu, semoga bisa menemani di saat-saat bingung ketika kita merasa tidak punya rumah untuk berpulang. Ingat, mungkin hari ini kita belum sepenuhnya pulih, tapi kita masih bernapas, dan untuk sekarang, itu sudah cukup.
Mungkin memang luka tidak selalu bisa disembuhkan dengan tergesa-gesa ia butuh waktu, butuh keberanian untuk dilihat, dirawat, dan diakui bahwa luka ini ada.



